Mengakhiri Politik “Semua Lawan Semua”

athoillahAthoillah
Komisioner KPU Kabupaten Jombang

Pemilu legislatif 2014 yang baru berlalu dinilai sejumlah pihak sebagai pemilu legislatif yang paling keras, bahkan brutal. Pertarungan dan persaingan merebut suara pemilih tidak hanya terjadi antar partai politik, tapi juga di internal partai politik. Masing-masing caleg “bertahan” sekaligus “menyerang”. Saking kerasnya, seorang politisi menyebut pemilu legislatif 2014 ini sebagai politik “semua lawan semua”.
Mumpung Pemilu legislatif dan keriuh-rendahan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden baru usai, akan sangat berguna jika upaya untuk mencari jalan keluar agar politik semua lawan semua ini segera dimulai. Hal ini penting untuk mulai dilakukan karena saat ini Kita masih mempunyai catatan yang baik tentang apa yang baru saja terjadi. Referensi faktual mengenai apa yang sebenarnya terjadi masih lengkap, sehingga upaya untuk mempetakan masalah akan semakin mudah. Selain itu, rentang waktu yang masih cukup panjang dengan Pemilu berikutnya di tahun 2019 akan memberi waktu yang memadai untuk formula yang tepat tanpa perlu diburu waktu.
Para pendukung demokrasi harus mampu mencatat dan mengurai dengan baik berbagai masalah yang muncul dalam Pemilu yang lalu. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pelajaran dan merumuskan strategi yang jitu untuk memastikan bahwa masalah yang sama tidak akan terulang dimasa yang akan datang.
Memulai dari Hulu
Penyelenggaraan pemilu tidak hanya berhubungan dengan KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara saja, namun juga terkait banyak pihak penting, setidaknya dengan pembuat Undang-Undang (DPR), peserta dan pemilih. Masing-masing dituntut untuk saling bekerjasama dan saling mendukung agar tercapai pemilu berkualitas.
Hulu dari Pemilu adalah Undang-Undang Pemilu. Disinilah para legislator sebagai pembuat Undang-Undang harus bekerja dengan baik untuk membuat UU Pemilu yang baik. Dari sisi proses pembentukan, UU yang baik mensyaratkan adanya keterlibatan dari seluas mungkin masyarakat. Partisipasi menjadi kunci. Oleh karena itu, meminta dan mendengar sebanyak mungkin masukan pemangku kepentingan menjadi mutlak untuk dilakukan. Para pembuat undang-undang juga dituntut untuk menutup beberapa lobang yang ada dalam peraturan Pemilu sebelumnya. Salah satunya adalah tindakan “pelanggaran” yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bukan peserta atau tim pemenangan resmi yang dalam UU Pemilu yang lalu tidak cukup tegas diatur. Dalam pemilu 2014, cukup banyak ditemukan pelanggaran yang tidak dilakukan oleh caleg, partai atau tim pemenangan/tim kampanye resmi, namun dilakukan oleh pendukung yang secara administratif tidak termasuk sebagai peserta. Pelanggaran seperti terentang panjang mulai dari pemasangan alat peraga kampanye hingga politik uang. Pengawas Pemilu akan dihadapkan pada kesulitan alternatif tindakan dan sanksi jika pelaku pelanggaran bukan peserta pemilu.
Hal lain yang juga penting adalah partai politik yang bekerja secara modern. Dalam Pemilu legislatif, partai politiklah pesertanya. Merekalah yang menawarkan program dan calon legislatif untuk dipilih oleh pemilih.
Partai politik yang bekerja secara modern adalah partai politik yang berhasil melembagakan demokrasi di internal partai politik, serta melakukan tugas sebagai partai politik secara baik. Demokrasi internal di partai politik berarti bahwa prinsip-prinsip demokrasi dapat berjalan didalam tubuh partai politik, baik dalam pengambilan keputusan, pengawasan serta evaluasi. Partai politik yang demokratis secara internal berbasis dari bawah (bottom up), bukan sebaliknya dikendalikan dari atas (top down).
Partai politik juga dituntut untuk dapat menjalankan tugas dengan baik, yakni tugas-tugas dalam melakukan rekruitmen politik, pendidikan politik serta merumuskan tawaran program. Jika rekruitmen dan pendidikan politik berhasil dijalankan oleh partai politik kepada kadernya, maka perilaku saling sikut dalam kontestasi politik seperti Pemilu akan sangat berkurang, minimal diinternal partai politik yang bersangkutan. Kader-kader partai politik yang ditawarkan kepada pemilih sebagai caleg akan saling paham dan mengerti bahwa proses politik yang berjalan tidak boleh berjalan dengan cara saling menjatuhkan satu dengan yang lain. Persaingan politik akan berjalan dengan saling menghormati dan didasarkan pada prinsip dan etika demokrasi yang tepat. Kader partai politik yang baik akan mengerti bahwa menjadi anggota parlemen bukanlah tujuan dalam berpolitik, namun hanya salah satu saluran dalam memperjuankan tujuan politiknya.
Yang juga penting agar Pemilu tidak berjalan “semua lawan semua” adalah penyelenggara yang bekerja secara benar dan profesional, baik KPU maupun Bawaslu. Saat ini, upaya pengawasan kepada KPU sebagai pelaksana teknis Pemilu nampaknya sudah cukup lengkap. Tidak hanya diawasi secara internal oleh KPU yang berada di jenjang diatasnya, KPU juga diawasi oleh pengawas Pemilu, sekaligus juga oleh peserta Pemilu dan Pemilih. Semakin beragamnya peserta Pemilu mau tidak mau akan membuat KPU semakin sungguh-sungguh dan imparsial dalam bekerja. Lebih jauh, siapapun yang menilai KPU melanggar kode etik dapat melaporkannya ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Konsolidasi Demokrasi
Pemilu adalah ruang pajang (showroom) demokrasi. Melalui Pemilu, derajat kematangan demokrasi dapat dinilai. Para pendukung demokrasi harus saling bekerjasama dan mengkonlidasikan diri untuk memperkuat demokrasi. Politik “demokrasi” masa lalu yang belum sempurna harus dijadikan pelajaran untuk menemukan solusi, dus pada saat yang sama, terus menerus saling mendidik agar para aktor demokrasi yang bertarung dapat saling berkontribusi terhadap semakin matangnya demokrasi. Harapannya, politik “semua lawan semua” tidak lagi terjadi dan berubah menjadi politik “semua untuk semua’. Bukan begitu?

                                                                     —————– *** ——————

Tags: