Mengampanyekan Kepesertaan BPJS Kesehatan

wahyu kuncoroOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Sejak resmi beroperasi 1 Januari 2014 lalu, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan harus diakui masih saja menuai banyak protes. Bukan saja protes dari masyarakat, namun juga para dokter yang memiliki peran sentral dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan lembaga hasil transformasi PT Askes itu juga sempat ikut berteriak. Untungnya pemerintah cukup sigap untuk merespon berbagai protes dan keluhan, sehingga perlahan-lahan protes dan ketidakpuasan akan peran dan layanan BPJS Kesehatan pun mulai menurun tensinya.
Iya, BPJS Kesehatan masih berumur delapan bulan, umur yang relatif masih  muda. Tentunya masih ada kekurangan dan kelemahan yang terjadi dalam praktiknya. Namun, jangan sampai kelemahan dan kekurangan itu dijadikan sebagai alat untuk mementahkan kembali program kesehatan ini. Jika ada kritik dan saran, lakukanlah yang bersifat konstruktif. Bagaimanapun BPJS merupakan ikhtiar untuk menjamin kesehatan masyarakat semuanya.
Lantaran itu, sosialisasi BPJS Kesehatan harus terus dilakukan. Faktanya, masih banyak warga belum mengenal BPJS Kesehatan, apalagi cara mendaftarkan diri menjadi peserta, besarnya iuran yang dibayar, serta manfaatnya. Fakta itu membuktikan lemahnya sosialisasi kehadiran BPJS Kesehatan yang menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kita yakin rakyat akan berbondong-bondong mendaftarkan diri apabila mereka mendapat informasi yang jelas dan lengkap. Sosialisasi lewat media massa tetap dilakukan, tetapi yang tak boleh dilupakan adalah keterlibatan birokrasi, khususnya di tingkat kelurahan, serta perangkat desa hingga tingkat rukun warga (RW) dan rukun tetangga (RT). Selain itu, bisa dimanfaatkan jalur puskesmas dan pos pelayanan terpadu (posyandu).
Hal terpenting yang harus disampaikan adalah JKN merupakan konsep pembiayaan pengobatan dengan sistem gotong-royong. Bagi yang punya penghasilan diwajibkan membayar iuran sesuai kemampuan, yakni setiap bulan per orang Rp 25.500 untuk pelayanan kelas III, Rp 42.500 buat kelas II, dan kelas I Rp 59.500. Bagi kaum miskin, pemerintah yang membayar iuran mereka melalui APBN dan disebut sebagai penerima bantuan iuran (PBI).
Para pembayar iuran hendaknya tak berpikir bisa mengambil kembali uangnya, apabila tidak sakit dan berobat dalam jangka waktu tertentu. Hendaknya ditanamkan pemahaman bahwa lebih baik selalu sehat dan tetap membayar iuran, tetapi apabila sakit si pasien dan keluarga tak perlu lagi mengeluarkan uang. Seluruh biaya pengobatan ditanggung BPJS Kesehatan, mulai dari penyakit ringan, seperti flu dan batuk, hingga yang berat, seperti cuci darah dan bypass jantung, termasuk biaya melahirkan.
Prinsip itulah yang harus disosialisasikan agar seluruh rakyat betul-betul mengetahui manfaat BPJS Kesehatan serta sukarela mendaftarkan diri dan membayar iuran. Bila semua berjalan lancar, tak perlu waktu lima tahun agar seluruh rakyat dilayani BPJS Kesehatan. Bahkan, dengan metode sosialisasi yang tepat, disertai upaya jemput bola dari aparat kelurahan dan perangkat desa, serta RT/RW, pada akhir tahun ini, seluruh rakyat Indonesia bisa menikmati JKN.
Berikan penjelasan yang utuh pada masyarakat. Sosialisasikan tentang mekanisme berobat hingga rujukan, serta iuran kesehatan. Jangan sampai pasien menumpuk di rumah sakit, padahal penyakitnya bisa ditangani di tingkat pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), bahkan puskesmas pembantu. Di samping itu, dinas kesehatan kota utamanya pemerintah daerah wajib memastikan seluruh pusat layanan kesehatan, mulai dari puskesmas, klinik, rumah sakit pemerintah, hingga rumah sakit swasta ikut menyukseskan BPJS Kesehatan. Ketika kesehatan masyarakat sudah baik, bangsa ini pun akan baik.  Kita tidak mau lagi mendengar ada masyarakat khususnya yang miskin ditolak saat berobat atau terpaksa dipulangkan  karena tidak punya biaya untuk mengobati penyakitnya.
Tak dapat dimungkiri, biaya berobat bagi yang sakit belakangan ini semakin mahal. Bahkan bagi kelompok masyarakat yang hampir miskin (near poor), biaya berobat anggota keluarganya, bisa menurunkan status mereka menjadi keluarga miskin. Dalam beberapa kasus, keluarga kelas menengah pun bisa jatuh miskin karena menanggung biaya berobat yang sangat besar.
Disadari, kesehatan merupakan pondasi utama dalam kelangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa. Ketika kesehatan telah menjadi prioritas utama, tentunya diharapkan akan berdampak besar terhadap pembangunan masyarakat dan negara di kemudian hari. Terlepas dari berbagai kepentingan politik yang ada, kita sangat mendorong agar program BPJS ini bisa berjalan dengan baik.
Seluruh elemen diharapkan dapat memainkan perannya masing-masing. Semua pihak harus mendukung, mulai dari administrasi hingga penangangan medis di rumah-rumah sakit. BPJS adalah sebuah instrumen bagaimana kualitas kesehatan masyarakat Indonesia bisa lebih meningkat.
Ketimpangan Layanan Kesehatan
Bahwa memberikan layanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia secara layak jelas bukan persoalan mudah. Hingga saat ini pemerintah pusat dan daerah belum mampu mengatasi ketimpangan pelayanan kesehatan di Jawa dan luar Jawa, di daerah perkotaan dan perdesaan. Ketimpangan itu, antara lain menyangkut ketersediaan tempat tidur di puskesmas dan rumah sakit, serta tenaga dokter dan paramedis. Belum lagi persoalan obat-obatan.
Persoalan tersebut memang tidak mudah diatasi, seperti membalikkan telapak tangan, karena selama ini pemerintah cenderung mengabaikannya. Untuk itu, kita mendesak Kementerian Kesehatan secepatnya menjalankan kebijakan redistribusi tenaga dokter dan paramedis dari Pulau Jawa dan wilayah perkotaan ke luar Jawa dan daerah-daerah perdesaan. Tentu saja kebijakan redistribusi ini diikuti dengan pemberian insentif yang memadai. Semua itu hanya bisa dilakukan apabila anggaran Kementerian Kesehatan bertambah signifikan, setidaknya sesuai amanat UU Kesehatan, yakni minimal lima persen dari APBN.
Bahwa dengan beroperasinya BPJS Kesehatan, sejumlah pakar memprediksi terjadi lonjakan jumlah penduduk yang berobat ke fasilitas kesehatan, mulai dari puskesmas pembantu hingga rumah sakit. Lonjakannya mencapai 100 persen, bahkan lebih. Kita khawatir bila fasilitas kesehatan yang ada tak mampu memberi pelayanan kesehatan memadai bagi rakyat, muncul gejolak sosial. Jawaban atas semua persoalan itu ada pada realokasi APBN dan APBD. Pemerintah pusat dan daerah seharusnya lebih peduli pada pembangunan kesehatan masyarakat. Penduduk yang sehat dan pintar merupakan aset berharga bagi negara.
Kita bisa belajar dari Presiden AS, Barack Obama yang teguh menjalankan “Obama Care” meski sempat mengguncang perekonomian negara. Sesungguhnya masih banyak mata anggaran dalam APBN dan APBD yang bisa dipangkas dan dialihkan ke anggaran kesehatan, apabila para elite memiliki political will dan memihak rakyat!
Bagi kita, BPJS Kesehatan merupakan jawaban atas masalah pembiayaan kesehatan yang selama ini mahal. BPJS Kesehatan dengan program JKN bukan program di awang-awang, sehingga harus dibumikan agar betul-betul bermanfaat bagi rakyat.
Ibarat perjalanan, pastilah akan ditemukan banyak kerikil yang mengadang laju BPJS Kesehatan. Kerikil dan batu sandungan bukanlah halangan untuk tetap melangkah, tetapi justru menjadi ujian agar BPJS Kesehatan kian kuat dan tangguh dalam menghadapi persoalan. Tugas direksi dan pemerintah menyingkirkan kerikil dan batu sandungan tersebut tersebut agar BPJS Kesehatan menjadi lembaga yang menjalankan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Wallahu’alam Bhis-shawwab.

                                                            ——————– *** ———————

Tags: