Mengantar Prestasi Asian Games 18 Sampai Olympiade

(Menata “Keringat” Prestasi Sebelum Kering) 

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Sosial Politik

“Berikan (bonus atlet) sebelum keringat mereka kering,” begitu perintah Presiden Jokowi. Walau dipahami terdapat urusan administrasi ke-birokrasi-an yang harus ditempuh. Seperti lazimnya pencairan anggaran yang berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Seluruh medali (emas, perak, dan perunggu) memiliki “harga” yang pantas. Karena selama ini atlet telah berkorban, meng-abaikan masa remaja dengan disiplin berlatih.
Prestasi yang dicapai atlet, bukan sekadar hasil pembinaan pelatnas (pemerintah pusat dan daerah). Melainkan pembinaan orangtua atlet, dalam waktu lama. Bertahun-tahun, sejak atlet berusia anak-anak. Tak jarang, orangtua harus menjual aset keluarga, untuk membiayai latihan, dan ongkos setiap pertandingan. Jika dikalkulasi selama belasan tahun, bisa melebihi bonus yang diberikan pemerintah. Itu terbukti dari koleksi (puluhan) piala yang dijajar di rumah. Seluruhnya butuh biaya!
Bonus atlet, merupakan cara pembinaan prestasi ke-olahraga-an. Sebenarnya merupakan mandatory (kewajiban) berdasar UU Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Juga terdapat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 tahun 2007 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Keolahragaan. Bonus sejak sebelum penyelenggaraan Asian Games, telah dijanjikan. Bukan hanya oleh Menteri Kepemudaan dan Keolahragaan (Kemenpora). Melainkan juga oleh presiden Jokowi.
Segenap atlet, dan pelatih, yakin benar dengan janji bonus. Juga bukan keyakinan (kepercayaan) kosong. Tetapi dibuktikan dengan realisasi anggaran lain. Yakni, pemberian tunjangan harian sebesar Rp 1 juta tiap hari per-atlet. Tunjangan harian telah diberikan di muka, sebelum memulai laga. Maka seluruh atlet terpicu semangat meraih prestasi terbaik. Janji bonus, nyata-nyata terbukti menambah spirit prestasi.
Asian Games 18, mempertandingkan sebanyak 40 cabang olahraga, yang terdiri dari 32 cabor Olimpiade (4 cabor baru), dan 8 cabang olahraga non-Olimpiade. Terdapat 463 nomor tanding, masing-masing memiliki medali. Seluruh venue (dan lapangan) serta peralatan cabor telah berstandar dunia. Seyogianya bisa dimanfaatkan seluruh atlet Indonesia untuk berlatih meningkatkan prestasi.
Hasilnya, terjadi lompatan prestasi pada hampir seluruh cabang olahraga (cabor). Beberapa cabor gagal memperoleh medali, tetapi berhasil memperbaiki rekor nasional. Beberapa cabor memerlukan peningkatan prestasi. Antaralain, cabor Layar, dan atletik, basket dan sepakbola. Juga cabor renang, dan berkuda (equestrian kuda tunggang, maupun kuda pacu). Konon, kuda milik atlet Indonesia tidak memiliki “nasab” trah juara.
Bukan Puncak Prestasi
Cabor Layar, dan Akuatik. Renang, Loncat Indah, dan Renang Indah, (termasuk Polo Air), gagal memperoleh medali. Maka perlu digenjot, karena Indonesia tergolong negara bahari. Niscaya banyak potensi yang belum tergali. Diperlukan Kejurda (kejuaraan daerah, dan Kejurnas) sampai men-jajal lomba tingkat kawasan dan regional (internasional) untuk cabor Layar, serta Akuatik.
Begitu pula atletik, memiliki martabat tertinggi keolahragaan, karena dianggap sebagai “induk” olahraga. Serta sepakbola, sebagai olahraga tanding paling populer di dunia. Pada kelompok remaja (U-14, dan U-16), Indonesia memiliki cukup prestasi tingkat Asia. Bahkan U-12, berhasil menembus kejuaraan dunia, memperebutkan Ghotia Cup,di Finlandia. Ironisnya, berbagai prestasi level internasional seolah-olah hilang ketika beranjak usia 20 tahun!
Prestasi paling spektakuler diraih cabor Pencak Silat. Kontingen merah-putih, meraih 14 medali emas (dari 16 nomor tanding). Meski telah dimainkan di empat benua (Asia, Australia, Amerika, dan Eropa), tetapi belum pernah masuk Asian Games. Baru pada Asian Games ke-18, presiden Jokowi meminta pencak silat dimasukkan sebagai konsesi tuan rumah. Perolehan medali cabor Pencak Silat, mengukuhkan Indonesia pada peringkat ke-4 Asian Games.
Kontingen Indonesia telah sukses mengukir prestasi jumlah medali sepanjang zaman pada Asian Games ke-18. Sampai penutupan, telah diraih sebanyak 98 keping medali. Terdiri dari 31 emas, 24 perak, dan 43 perunggu. Melebihi perolehan medali pada Asian Games ke-4 (tahun 1962). Cukup sulit diraih pada Asia Games mendatang, walau tidak mustahil. Diperlukan kerja keras, dan pola pembinaan sistemik Pelatnas, terutama program kesejahteraan atlet. Serta “ke-bersatu-an” KONI dan KOI.
Seyogianya, sukses perolehan medali Asian Games ke-18 (yang jauh melebihi target), bukan sebagai puncak prestasi. Karena medali terbanyak diperoleh dari cabor Pencak Silat, bagai “baru masuk” arena. Boleh jadi, pada Asian Games mendatang dicoret lagi oleh tuan rumah. Walau hampir seluruh negara telah memiliki pendekar Pencak Silat (terutama kawasan Asia Tenggara, ASEAN). Tetapi Kejurnas di berbagai negara belum memadai. Juga tidak dikenal dalam tataran Olympiade.
Asian Games ke-19 (tahun 2022) akan diselenggarakan di Huangzhou (RRC), dan Asian Games ke-20 (tahun 2026) di Nagoya (Jepang). Dua negara yang tidak memiliki pendekar silat. Lebih lagi, Presiden Federasi Pencak Silat Asia, menyatakan “masygul” terhadap pertandingan Pencak Silat pada Asian Games ke-18. Namun, andai tanpa perolehan medali cabor Pencak Silat (14 emas, dan 1 perunggu), kontingen merah-putih, masih tetap pada prestasi terbaik.
Walau peringkat turun pada posisi ke-6 Asian Games (17 emas, 24 perak, dan 42 perunggu). Melebihi rata-rata (selama ini) pada peringkat ke-8. Masih tertinggi diantara negara Asia Tenggara (ASEAN). Negara ASEAN di bawah Indonesia, adalah Thailand (11 emas, 16 perak, 46 perunggu). Serta Malaysia (7 emas, 13 perak, 16 perunggu). Terdapat pesaing terdekat, datang dari Uzbekistan (kini peringkat ke-5), Iran (ke-6), dan China Taipei peringkat ke-7 (dengan 17 emas, 19 perak, dan 31 perunggu).
Pendapatan Prestasi
Bonus (uang Rp 1,5 milyar) peraih medali Asian Games ke-18, bagai menjadi titik-tolak pola pembinaan berbasis kesejahteraan atlet. Tak peduli nominal, bonus yang berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), tetap akan digelontor. Sebagai bandingan, Icuk Sugiarto, peraih medali emas (Ganda Putra) Asian Games tahun 1982 (di New Delhi). Konon, hanya memperoleh ucapan terimakasih.
Banyak atlet berprestasi kelas dunia menjalani masa tua dengan tingkat kesejahteraan sangat nelangsa. Misalnya, nasib Leni Haini, atlet dayung, kini berprofesi buruh cuci. Walau berijazah SD (Sekolah Dasar), Leni, bisa meraih emas pada kejuaraan dunia perahu naga (1996, di Hongkong). Leni juga menyumbang medali emas pada SEA Games 1997 dan 1999, plus Kejuaraan Asia di Taiwan 1998. Pada Asian Games ke-18 saat ini, atlet (putri) perahu naga kontingen Indonesia meraih 1 perak dan 1 perunggu. Andai masih ada Leni Haini!
Menjadi nomor satu di dunia pada bidang olahraga, sebenarnya bukan hal asing. Bahkan sudah sering lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang pada multy-even pesta olahraga paling bergengsi di dunia, Olympiade. Juga kejuaraan dunia single even (satu cabor). Total medali yang diperoleh Indonesia dari Olympiade sebanyak 30 keping. Tujuh diantaranya, menempatkan bendera merah-putih pada podium tertinggi. Lainnya 16 perak, dan 7 perunggu.
Prestasi men-dunia, bisa diperoleh manakala jerih payah atlet memiliki “harga” memadai. Bisa menjadi ladang nafkah seperti profesi lain (yang memiliki sertifikasi). Misalnya, pembalap Formula-1. Atau dihargai pe-golf profesional kelas dunia. Sama-sama berlomba keolahragaan, tetapi beda pendapatan. Lebih ironis, INASGOC maupun OCA, tidak memberikan hadiah berupa uang. Sedangkan FIFA memberikan uang sebesar Rp 111 milyar untuk peringkat ke-32.
Atlet peraih medali pada Asian Games, maupun Olympiade, tidak memperoleh uang dari panitia penyelenggara. Hadiah (bonus) uang merupakan kebijakan masing-masing negara peserta. Pada Asian Games ke-18, hadiah uang terbesar dijanjikan oleh pemerintah Hongkong (Rp 3,5 milyar). Juga pemerintah Philipina memberi hadiah Rp 1,61 milyar untuk atletnya yang meraih emas.
Bonus, bisa memicu kelanjutan prestasi. Zaman kini, harus berubah. Pembinaan dan penghargaan kepada atlet berprestasi, bisa disetarakan dengan sertifikasi akademis. Seluruh atlet berprestasi patut memperoleh tunjangan hari tua, sebagai jaminan pada masa pasca prestasi. Sekaligus menjadi cita-cita calon atlet masa mendatang. Bisa kaya menjadi atlet!
———— *** ————

Tags: