Mengantisipasi Dampak Bencana Kekeringan

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Fenomena kekeringan kian meluas disejumlah wilayah di hampir di seluruh Indonesia, bahkan diantara sudah dikatagorikan siaga darurat kekeringan. Diprediksi Bulan Agustus hingga September merupakan puncak (peak) musim kemarau di wilayah Indonesia. Kondisi tersebut seakan telah menjadi rutinitas tahunan akibat berbagai sebab antara lain karakteristik geografis, penggunaan air tanah secara berlebihan, kerusakan hidrologis, fenomena global warming dan minimnya resapan air. Dahulu sudah menjadi “pakem” bahwa di Indonesia terjadinya musim kemarau mulai Bulan April hingga Oktober, dan sebaliknya adalah musim hujan. Namun saat ini pola prediksi tersebut agak bergeser seiring dengan berbagai gangguan alam dan dampak lingkungan. Kondisi tersebut diperparah dengan terjadinya efek rumah kaca dan peristiwa alam lain seperti La Nina, El Nino hingga Equinox terus menambah tingkat keparahan terhadap suhu bumi. Faktor eksternalitas yang sebenarnya merupakan konstribusi dari ulah manusia yang mengabaikan determinasi lingkungan.
Menjamurnya pemukiman-pemukiman baru yang kian tak terbendung, alih fungsi lahan, penebangan hutan yang masif tanpa diiringi dengan upaya reboisasi dan penghijauan pasti akan berdampak pada siklus alam secara keseluruhan. Kondisi tersebut diperparah dengan maraknya invasi industrialisasi air kemasan ke sumber-sumber mata air sehingga debit sumber air tentu kian menurun, sedangkan permintaan masyarakat atas air melalui PDAM terus meningkat sehingga kebutuhan masyarakat terhadap ketersediaan air minum kian tinggi. Secara sederhana dengan minimnya air bersih di masyarakat maka dapat diprediksi bahwa asupan pangan, sanitasi dan lingkungan akan berpotensi terjadi problem kesehatan masyarakat terutama munculnya berbagai penyakit. Dalam masyarakat dampak kekeringan yang paling terasa antara lain minimnya sumber air baik sumur, sungai, kolam air hingga waduk bahkan diantaranya telah mengering sehingga masyarakat kian kesulitan memperoleh pasokan air bersih. Resiko munculnya problem sosial sebab air bersih merupakan kebutuhan mutlak keseharian warga masyarakat.
Krisis pangan akan terjadi, penyakit terus mengintai bahkan tak menutup kemungkinan akan terjadi tindakan kriminalitas di masyarakat. Resiko lain dampak kekeringan adalah kian rentan terjadinya kebakaran. Suhu tinggi merupakan kondisi yang paling mudah terjadinya bahaya kebakaran (hutan, rumah, gudang maupun industri lain). Musim kemarau yang panjang akan menyebabkan kekeringan karena cadangan air tanah akan habis akibat mengalami penguapan (evaporasi), transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia. Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan suatu wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian dan ekosistem yang ditimbulkannya. Singkatnya kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi, lingkungan dan kebutuhan lainnya.
Picu Gangguan Kesehatan
Beberapa penyakit yang harus diwaspadai sebagai akibat dari kemarau atau cuaca panas adalah diare, kolera dan penyakit kulit. Makanan yang tercemar dan kualitas air yang tidak bersih bisa memicu penyakit saluran pencernaan. Berdasarkan perspektif anatomi-fisiologis bahwa lebih dari 80 persen komposisi tubuh kita adalah cairan (air) baik dalam bentuk darah, enzim, maupun senyawa lain sehingga asupan air menjadi kebutuhan esensial manusia. Kelangkaan air bersih dapat menjadi pemicu muncul problem kesehatan masyarakat seperti akibat kurangnya pasokan bahan pangan. Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga merupakan awal dari proses terjadinya penurunan derajat kesehatan masyarakat yang dalam jangka panjang akan mempengaruhi secara langsung tingkat pemenuhan kebutuhan gizi. Yang paling nyata adalah dampak sengatan panas karena kenaikan suhu udara. Dehidrasi karena kekurangan asupan oksigen dari air dan udara bersih merupakan ancaman langsung yang serius. Biasanya dehidrasi acapkali diabaikan oleh masyarakat termasuk diri kita. Terkadang dalam beraktivitas seperti bekerja, sehari-hari tak disadari bahwa kita lalai dalam memenuhi kebutuhan dasar tubuh dengan minum minimal 8 gelas sehari sehingga sirkulasi metabolisme tubuh terganggu, jika kondisi ini terus berlanjut maka dipastikan akan terjadi kekurangan cairan tubuh.
Dalam kondisi ekstrim bahkan bukan hanya konsumsi air namun disertai semprotan “spray” seperti di tanah suci. Kehilangan cairan tubuh dapat mengakibatkan hilangnya elektrolit termasuk natrium, kalium, kalsium, dan magnesium yang diperlukan tubuh, jika kondisi ini terus berlanjut apalagi disertai demam, diare, muntah maka akan terjadi mudah sekali mengalami kelelahan, munculnya penyakit kulit, asma, kolesterol, hipertensi hingga ganguan fungsi ginjal. Salah satu cara yang paling mudah dan sederhana untuk mengetahuinya yaitu dengan melakukan tes urin. Ketika urin berwarna bening atau kuning, kemungkinan tubuh sudah mendapatkan cukup air. Sedangkan jika urin berwarna gelap atau kuning pekat, maka perlu ditingkatkan jumlah asupan cairan sehat untuk tubuh. Efek dehidrasi dapat mengakibatkan penyusutan volumen otak manusia. Aspek kecukupan cairan memang mempengaruhi kecukupan pasokan zat-zat penting yang dibutuhkan sel otak untuk bekerja oleh karena itu jika cairan yang dibutuhkan kurang, maka kebutuhan pasokan zat penting itu juga pasti bermasalah.

———– *** ————–

Tags: