Mengantisipasi Ketimpangan Pendidikan

Asri Kusuma DewantiOleh :
Asri Kusuma Dewanti
Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Dunia terus berubah. Perkembangan teknologi yang sedemikian pesat, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah mengubah berbagai bidang kehidupan, termasuk interaksi antarmanusia, pola kerja, dan ragam pekerjaan. Transaksi perbankan ataupun jual beli, misalnya, cukup dilakukan dengan sentuhan jari pada gawai. Tak pelak lagi, perkembangan teknologi telah menuntut dunia pendidikan untuk berubah dan beradaptasi agar tidak menjadi usang dan tertinggal.
Namun, sampai saat ini, persoalan kesenjangan pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah dihampir semua bangsa-bangsa di dunia. Mengurai kesenjangan pendidikan melalui pemerataan pendidikan, khususnya di negara berkembang bukanlah perkara yang mudah. Sampai-sampai badan pendidikan PBB Unicef (2015), menyebutkan hampir setengah dari anggaran pendidikan di negara-negara berpenghasilan rendah, termasuk Indonesia, hanya dinikmati sekitar 10 persen penduduknya.
Padahal, “satu-satunya yang dapat mengubah nasib suatu bangsa hanyalah pendidikan.” Demikianlah kata Tokoh Pendiri nasional yakni Ir. Soekarno dan Ki Hajar Dewantara. Begitupun menurut UNESCO, badan PBB yang menangani bidang pendidikan menyerukan kepada seluruh bangsa-bangsa di dunia bahwa, jika ingin membangun dan berusaha memperbaiki keadaan seluruh bangsa, maka haruslah dari pendidikan, sebab pendidikan adalah kunci menuju perbaikan terhadap peradaban.
Hal itu berarti kesempatan mengakses pendidikan bagi anak-anak miskin di negara-negara itu semakin sedikit.  Hasil temuan Unicef juga sampai pada kesimpulan bahwa anggaran pendidikan akan lebih banyak dinikmati golongan menengah ke atas. Sekitar 20 persen murid yang kaya bisa menerima sumber daya umum yang 18 kali lebih banyak jika dibandingkan dengan 20 persen murid yang miskin.
Temuan Unicef tersebut semakin diperkuat dengan data yang dirilis Bank Dunia di penghujung 2015. Bank Dunia mencatat ketimpangan pendidikan di Indonesia itu dipicu rendahnya angka partisipasi pendidikan masyarakat dan tingkat pendidikan. Ketimpangan pendidikan di Indonesia, menurut Bank Dunia, bahkan setara dengan Uganda, Etiopia, dan beberapa negera miskin di Eropa lainnya.
Minimnya akses pendidikan
Minimnya akses pendidikan bagi orang miskin merupakan problem serius yang belum terselesaikan hingga kini. Keterbatasan akses itu tidak hanya di tingkat dasar, tetapi juga di jenjang yang lebih tinggi. Merujuk dari Data Badan Pusat Statistik dan Pusat Data Statistik Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2015) menyebutkan ada 4,9 juta anak yang tidak tercakup pendidikan. Bagaimanapun juga fakta ini membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah. Mengingat aksi pendidikkan sangat penting adanya.
Pendidikan, kata Mochtar Buchori (1994:54), merupakan pilar peradaban bangsa. Jika berharap bangsa ini bermartabat, pendidikan harus menjadi garda depan serta prioritas utama. Penghalang orang miskin mengenyam bangku pendidikan selain komersialisasi ialah keterbatasan akses. Padahal, jauh hari Ki Hajar Dewantara sudah memberikan contoh bagaimana agar pendidikan bisa diakses orang miskin. Melalui pawiyatan yang ia beri nama Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara berharap pendidikan bisa dinikmati seluruh rakyat tanpa pandang bulu.
Sayangnya, teladan Ki Hadjar itu tidak diikuti pemerintah. Akses pendidikan bagi orang miskin masih sangat terbatas. Benar banyak gedung sekolah, sarana, dan fasilitas pendidikan modern dibangun. Namun, kenyataannya, berbagai fasilitas pendidikan itu hanya dapat diakses kaum menengah ke atas. Rakyat miskin, apalagi mereka yang tinggal di kawasan terpencil/perbatasan, hanya mampu mendengar tanpa dapat mengaksesnya.
Karena diskriminasi dan ketidakmerataan akses pendidikan, tidak mengherankan jika peringkat Indonesia dalam human development index (HDI) setahun lalu masih berada di urutan ke-124. Posisi Indonesia itu masih jauh di bawah negara tetangga dalam satu kawasan Asia Tenggara seperti Brunei Darussalam (33), Malaysia (61), Thailand (103), dan Filipina (112). Indonesia hanya beberapa tingkat lebih baik ketimbang Vietnam (128), Laos (138), Kamboja (139), dan Myanmar (149).
Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, menurut Achmadi (1993:1), menyangkut tiga aspek, yaitu persamaan kesempatan, aksesibilitas, dan keadilan atau kewajaran. Persamaan kesempatan mengandung maksud setiap anak bangsa memiliki peluang yang sama mengakses pendidikan sebagaimana diatur dalam UU No 2 /1989; UUD Pasal 30/1945. Kesempatan memperoleh pendidikan bisa melalui pendidikan formal ataupun nonformal. Pada posisi pendidikan nonformal, tugas pendidikan luar sekolah (PLS) menjadi sangat penting guna memberikan pencera han agar anak bangsa bisa merespons perubahan-per ubahan sosial-budaya dan berpartisipasi dalam ke giatan politik, kultural, dan sosial.
Aksesibilitas memberikan kesempatan semua anak bangsa memilih akses pendidikan yang sama, pada semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan. Mereka yang berasal dari desa memiliki akses pendidikan yang sama dengan yang tinggal di perkotaan. Demikian halnya dengan mereka yang tinggal di kawasan terpencil.
Selama ini, disparitas struktur ekonomi sosial menyebabkan aksesibilitas tidak sama. Masyarakat daerah perkotaan bisa lebih mudah mengakses pendidikan ketimbang mereka yang berada di desa; lebih-lebih daerah kepulauan dan terpencil. Selanjutnya, prinsip keadilan atau kesewajaran dalam pendidikan bisa mendorong mereka yang tidak terjangkau menjadi terjangkau.
Keadilan itu mengandung implikasi adanya perlakuan pendidikan yang proporsional sesuai dengan potensi individu. Anak bangsa yang memiliki prestasi menonjol diberikan pelakuan yang berbeda dengan anak bangsa yang lamban; demikian sebaliknya. Anak bangsa yang memiliki kelainan fisik dan mental juga diberikan kesempatan memperoleh pendidikan sesuai dengan kemampuannya.
Kesamaan akses pendidikan
Kesamaan untuk bisa menerima akses pendidikan sebenarnya bisa ditempuh dengan menghadirkan strategi pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan merupakan solusi tepat agar orang miskin bisa sekolah. Pemerataan pendidikan juga memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for all (Agus Wibowo, 2012).
Berdasarkan data Kantor Staf Presiden (KSP, 2016), PIP telah disalurkan kepada lebih 13 juta siswa (SD-SLTA, usia 6-21 tahun) dari keluarga kurang mampu, dan membantu siswa untuk meneruskan pendidikan ke jenjang berikutnya. Pemerintah juga telah menyalurkan dana BOS (bantuan operasional sekolah) ke lebih dari 45 juta siswa.
Di samping itu, pembangunan sekolah baru, pembangunan ruang kelas baru, rehabilitasi kelas, dan pembangunan laboratorium serta perpustakaan terus dilakukan. Untuk itu, sinergitas pendataan di daerah mutlak dilakukan, seperti dinas sosial, dinas kesehatan, dan dinas pendidikan dan kebudayan. Sementara itu, DPRD bisa melakukan pengawasan atas implementasi pendataan, maupun validitas data yang dihasilkan. Dengan demikian, kehadiran DPRD bisa dirasakan masyarakat, bukan hanya memanfaatkannya ketika hajatan demokrasi lima tahun.
Akhirnya, akses pendidikan bagi orang miskin harus dibuka seluas-luasnya. Ketika semakin banyak orang miskin mengenyam pendidikan, itu artinya pemerataan pendidikan efektif dilaksanakan. Itu menjadi penting mengingat dalam hitungan tahun, bonus demogra? akan segera dipanen bangsa ini. Apa jadinya di saat kita menuai bonus demogra?, ketimpangan pendidikan kita masih menganga lebar? Jelas kita hanya akan memanen bonus demogra? yang tidak berkualitas, tidak kompeten, bahkan hanya akan menjadi penyebab masalah.
Ketimpangan tidak akan terjadi jika akses pendidikan dibuka seluas-luasnya bagi semua anak bangsa, saat pemerintah bersama stakeholder pendidikan senantiasa konsisten dalam mengeluarkan kebijakan. Dengan begitu, negara tidak akan melanggar tugas konstitusi sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945.

                                                                                            ————- *** —————

Rate this article!
Tags: