Mengapa Hoaks Selalu Ada?

Oleh:
Moh Mahrus Hasan
Penulis adalah pengurus PP. Nurul Ma’rifah Poncogati Bondowoso dan pembina ekstrakurikuler literasi “Sabha Pena” MAN Bondowoso.

Selain bencana alam, masyarakat juga harus mewaspadai bencana yang lebih dahsyat, yakni maraknya berita bohong dan informasi palsu yang menyasar dari segala penjuru. Penyebabnya dapat kita cermati melalui beberapa fenomena berikut ini:
Pertama, disadari atau tidak, hampir semua pengguna gawai berlomba-lomba untuk menjadi “citizen journalist” dan “wartawan dadakan”. Mereka kerapkali memposting-termasuk mengirim ulang postingan orang lain-peristiwa apapun, kapan pun dan di mana pun, untuk kemudian secepatnya diunggah ke jejaring sosialnnya. Sehingga ada penilaian bahwa masyarakat kita terlalu cerewet dan iseng di dunia maya.
Tentu sah-sah saja mereka melakukannya. Persoalannya adalah keinginan untuk menjadi yang tercepat dalam penyebaran informasi itu mengabaikan ketepatan informasi dan kecermatan pengunggahnya. Lebih-lebih, jika postingan itu memang sengaja dimaksudkan untuk memunculkan kontroversi dan sengaja “digoreng” untuk memanaskan suasana, khususnya di tahun politik sekarang ini dan tahun depan.
Sebenarnya, undang-undang dan aturan berkaitan dengan penggunaan media informasi berbasis internet sudah diberlakukan, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No. 11 Tahun 2008 yang revisinya berlaku mulai 28 Nopember 2016. Demikian pula dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial yang sangat relevan dengan kondisi masyarakat kita akhir-akhir ini.
Namun ironisnya, sebagian besar masyarakat kita tidak mengetahui undang-undang dan fatwa tersebut. Akibatnya, banyak di antara mereka yang harus berurusan dengan hukum. Oleh karena itu-mendukung anjuran Kapolres Bondowoso Taufik Herdiansyah Zeinardi-kita harus menjaga jari-jari kita, utamanya ibu jari, karena “jarimu harimaumu” di samping “mulutmu harimaumu”, saring sebelum sharing, dan up date yang penting, jangan yang penting up date.
Kedua, menjamurnya media online nonpers dan medsos. Data mutakhir Dewan Pers mencatat bahwa saat ini terdapat 43.400 media online nonpers. Sayangnya, yang memenuhi syarat undang-undang pers hanya 234 media saja. Sedangkan media pers cetak dan online yang sudah terverifikasi sedikitnya berjumlah 74 dan masih akan terus dilakukan verifikasi. (Jawa Pos, 6/2/2017).
Dengan verifikasi tersebut, kita akan mengetahui mana media informasi yang sesungguhnya dan yang abal-abal. Terlebih saat ini, dengan ribuan media informasi, kita disuguhi melubernya berita dan informasi yang benar atau tidaknya sulit terdeteksi. Verifikasi tersebut juga salah satu ikhtiar pihak yang berwajib untuk meminimalisasi maraknya hoaks di jagad pemberitaan.
Dan ketiga, penyalahgunaan fungsi media informasi melalui medsos dan media online nonpers. Harus diakui bahwa medsos dan media online nonpers memiliki manfaat. Tetapi, kita harus tahu juga bahwa keduanya sangat rentan disusupi hoaks dan digunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
Kedua jenis media informasi digital berbasis internet ini telah beralih fungsi dari sarana informasi (edukasi), penampung aspirasi, dan hiburan, menjadi pemantik kebencian dan penyebar informasi palsu, fitnah, dan adu domba antar warganet. Karena itu, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo, meminta publik untuk tidak menelan mentah-mentah informasi di medsos karena kebenaran beritanya tidak bisa dipertanggungjawabkan, tidak memiliki kaidah jurnalistik, dan tidak ada unsur cover both side-nya.
Pernahkah Anda membaca postingan di medsos mengenai Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang menangis karena pembakaran “bendera tauhid” di Garut baru-baru ini? Atau yang terbaru, seorang jamaah istighotsah kubro di Sidoarjo yang terlihat membentang bendera hitam bertuliskan kalimat la ilaha illallah Muhammadur rasulullah di tengah-tengah jamaah yang lain? Kedua postingan itu-meski akhirnya diketahui hoaks dan hasil rekayasa digital-adalah contoh bagaimana simbol agama justru dijadikan alat untuk memfitnah, mengadu domba, dan menyulut kemarahan antar sesama muslim.
Kita pasti prihatin terhadap konten medsos kita akhir-akhir ini yang berisi caci maki, fitnah, saling ejek, saling hujat, provokasi, dan adu domba. Semuanya itu tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman dan kebangsaan sama sekali. Padahal bangsa kita punya akhlakul karimah yang merupakan alasan utama diutusnya Rasulullah, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Masyarakat tentu berharap media mainstream, seperti Harian Bhirawa, menjadi penyaring dan pembersih (clearing and cleaning) informasi yang berseliweran di jagad pemberitaan. Dengan demikian, insan pers telah-dan semoga terus-mengambil langkah nyata dalam rangka menangkal berita bohong dan informasi palsu (turn back hoax) yang terlanjur viral di medsos. Saya yakin masyarakat lebih percaya berita dan ulasan di media mainstream dibandingkan dengan postingan warganet. Dan pastinya, media mainstream tidak akan mengorbankan kepercayaan pembacanya dengan menyajikan informasi yang abu-abu apalagi palsu, karena sebuah kepercayaan tidak bisa dibeli atau ditukar dengan apapun.
Selanjutnya, kita harus sadar bahwa medsos itu ibarat pharmacon (obat sekaligus racun). Medsos menjadi obat saat digunakan oleh pihak berwajib dan simpul-simpul masyarakat, seperti Sutopo Purwo Nugroho yang getol meluruskan hoaks kebencanaan yang viral di medsos, sehingga ia layak dianugerahi sebagai tokoh teladan anti hoax Indonesia dari Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), atau medsos justru menjadi penyebar hoaks, fitnah, dan meracuni pikiran sehat dan perilaku baik masyarakat. Di tangan kitalah medsos berfungsi sebagai media bersosial atau malah menjadi media sok sial. Semoga berkah!

——– *** ———–

Rate this article!
Mengapa Hoaks Selalu Ada?,5 / 5 ( 1votes )
Tags: