Mengatasi Kekerasan Agama dengan Kerukunan Antarumat

Buku Dinamika Kerukunan Antarumat BeragamaJudul Buku  : Dinamika Kerukunan Antarumat Beragama
Penulis  : Prof. Dr. Faisal Ismail, M.A.
Penerbit  : Remaja Rosdakarya, Bandung
Cetakan I  : Oktober 2014
Tebal    : 186 halaman
ISBN    : 976-975-592-571-1
Harga    : 46,000/-
Peresensi  : Ahmad Fatoni
Pengajar FAI Universitas Muhammadiyah Malang

Berbicara mengenai agama bagaikan berbicara tentang suatu paradoks. Di satu pihak, agama dialami sebagai jalan dan penjamin keselamatan, cinta, dan perdamaian. Di lain pihak, sejarah membuktikan, agama justru menjadi sumber penyebab dan alasan bagi kehancuran umat manusia. Karena agama, orang  bisa saling mencinta. Tetapi atas nama agama pula, orang bisa saling membunuh dan menghancurkan.
Lumayan bila paradoks tersebut masih bisa berjalan dengan seimbang. Namun rasanya keseimbangan itu kini makin sulit terjadi. Tragedi penyerangan kantor majalah Charlie Hebdo di Paris, Prancis, yang menewaskan 12 awak redakturnya, 7 Januari 2015 lalu, seakan datang sebagai pesan bahwa agama bakal membawa permusuhan dan kekerasan atas nama agama.
Kekhawatiran itulah yang menjadi konteks Faisal Ismail dalam menulis buku Dinamika Kerukunan Antarumat Beragama ini. Titik tolak buku setebal 186 ini berangkat dari sejarah konflik dan kekerasan di kalangan umat beragama sejak perang Perang Salib (1095-1291) hingga yang terjadi belakangan. Penulis menunjukkan betapa agama dalam pengalaman pemeluknya memiliki potensi untuk menjadi alat perusak dan bencana bagi kehidupan.
Sudah seharusnya, kaum beragama, mengambil butir-butir mutiara pelajaran dari peristiwa-peritiwa peperangan yang beradarah-darah pada masa lalu dengan harapan tragedi yang menelan korban kemanusiaan tersebut tidak terulang kembali. Berbagai pihak hendaknya lebih arif dan lebih bisa bekerjasama dalam membangun kehidupan bersama dalam rangka merajut persaudaraan hakiki dan perdamaian dunia sejati.
Dalam buku hasil akumulasi pembacaan sebagai Guru Besar dan pejabat tinggi negara, Faisal Ismail mengungkap secara konseptual kekerasan bernuansa agama dengan pendekatan sosiologis serta kiat membangun kerukunan antarumat beragama. Mantan Duta Besar di Kuwait dan Bahrain ini juga mencoba menjelaskan bagaimana seharusnya seseorang mengekspresikan keberagamaannya di hadapan penganut agama lain, tanpa ada benturan.
Sebab selama ini, agama selalu diasosiasikan sebagai ajaran penuh kedamaian dan keselamatan. Wajah sejuk agama dinilai sangat tidak mungkin berkelindan dengan praktik kekerasan. Kenyataannya, aneka wajah kekerasan atas nama agama kerap diterjemahkan sebagai legal doctrine yang wajib diamalkan.
Kekerasan atas nama agama lalu tidak saja mengambil bentuk secara fisik, tapi adakalanya melibatkan tekanan non fisik yang mengandung muatan politis, sosiologis, dan antropologis. Persoalannya, mengapa agama akhir-akhir ini kian identik dengan konflik dan kekerasan?
Buku ini mengisyaratkan, relasi norma agama dalam motif kekerasan mempunyai dua wajah yang saling berseberangan. Satu wajah memandang dogma agama sebagai subjek kekerasan. Sedang wajah yang lain melihat agama sebagai korban kekerasan. Pada posisi pertama, agama ditengarai menjadi faktor penting penyebab kekerasan. Faktor ini biasanya muncul dari institusi, doktrin, misi maupun kepemimpinan agama. Sementara posisi yang menempatkan agama sebagai korban kekerasan adalah penyalahgunaan agama oleh pelaku kekerasan.
Tak pelak, wajah agama tidak seramah nilai normatifnya yang mengampanyekan perdamaian, kebersamaan sekaligus menebar misi kemaslahatan bagi lingkungan sekitar. Kita lihat, misalnya, wajah agama di Indonesia yang senyatanya menguar kesejukan dan kedamaian, tidak jarang masih terlihat bopeng dengan berkembangnya radikalisme dan terorisme, baik berwujud gerakan fundamentalisme keagamaan-sektarian maupun fundamentalisme globalisasi-ekstrem.
Padahal spektrum terluas dari dampak tindakan radikal benuansa agama, berpotensi mengoyak agregasi sosial yang sudah mapan. Sebab, agresivitas massa berpeluang menyeret berbagai elemen masyarakat untuk membela agamanya.
Maka, kekerasan yang beraroma agama sebenarnya bukan kesalahan ajaran agama itu sendiri, tapi lebih disebabkan human error, yakni sikap sebagian pemeluknya yang terkadang menafsirkan ajaran teologis-normatif secara serampangan. Bisa juga karena kepentingan-politik atau ekonomi-yang terlalu berlebihan sehingga mengalahkan kepentingan agama.
Melalui kajian akademis dengan ragam rumusan teoretis dan panduan praktis, buku ini mengajak semua pihak untuk menyelesaikan segala kompleksitas keberagamaan secara dewasa, dengan pikiran jernih, hati yang tulus, penuh kearifan dan kebijaksanaan.
Buku ini sangat pas dibaca oleh para mahasiswa, akademisi, peneliti, tokoh agama, birokrat, dan pejabat pemerintah pengambil kebijakan di bidang hubungan antarumat beragama demi terpeliharanya sikap saling pengertian, toleransi, harmoni, dan kerukunan antarumat beragama dalam bingkai kebangsaan, keindonesiaan, dan kemanusiaan.

                                                  ———————– *** ————————-

Tags: