Mengawal Nasib Petani dalam UU Ciptaker

Oleh :
Harun Rasyid
Dosen FPP Universitas Muhmammadiyah Malang

Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang terbesar di dunia karena luasnya wilayah dan sumber daya alamnya yang beraneka ragam. Hal itulah yang membuat pertanian mempunyai peranan penting di Indonesia. Fakta tersebut membuat pertanian atau segala sesuatu yang berhubungan dengan sektor pangan mempunyai peranan penting untuk Indonesia. Berangkat dari kenyataan itu pula, bisa dibilang bahwa selama ini petani yang menjadi tulang punggung pembangunan pertanian di Indonesia.

Terancamnya petani domestik

Peran petani sangatlah besar selain dalam memenuhi kebutuhan pokok manusia juga dapat memenuhi ketahanan pangan Indonesia. Namun, seiring dengan berjalannya waktu peran petani mengalami berbagai persoalan. Mulai dari permodalan yang terbatas, harga produk tidak stabil, penguasaan lahan sempit, kelangkaan sarana produksi (Saprodi) pertanian.

Serasa persoalan tersebut belum tuntas, kini adanya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) justru menambah persoalan bagi petani kecil di negeri ini. Pasalnya, sejumlah pasal dalam UU Ciptaker mengubah sejumlah pasal dalam UU (sebelumnya) terutama terkait dengan pangan, pertanian, serta perlindungan petani. Salah satunya terlihat pada Pasal 64 yang menjadikan impor sebagai sumber pangan setara dengan dua sumber lainnya, yaitu produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional.

Selanjutnya, isi Pasal 64 UU Ciptaker menyebutkan sumber penyediaan pangan dalam negeri dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan petani, nelayan, pembudidaya ikan, dan pelaku usaha pangan mikro dan kecil melalui pengaturan tarif dan nontarif. Secara teoritis, tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintas-batas territorial. Hambatan tarif dapat meningkatkan harga barang di negara pengimpor, sehingga konsumen di negara pengimpor relatif merugi, sedangkan para produsen di negara pengimpor memperoleh keuntungan. Jadi, tarif cenderung menaikkan harga, menurunkan jumlah yang dikonsumsi dan di impor, serta menaikkan produksi domestik (Salvatore, 1997:270).

Sedangkan nontarif (kuota impor) merupakan suatu batasan atas jumlah keseluruhan barang yang diizinkan masuk ke dalam suatu negara setiap tahunnya, yaitu dengan cara pemerintah yang bersangkutan memberikan sejumlah lisensi terbatas untuk mengimpor secara legal barang-barang yang dibutuhkan negara itu dan melarang setiap barang yang diimpor tampa disertai lisensi (Samuelson, 1992:489).

Persoalannya, berangkat dari pengaturan tarif dan nontarif jika tercermati dalam Pasal 64 UU Ciptaker memperlihatkan, pasal-pasal tersebut dibuat untuk kepentingan perdagangan internasional. UU Ciptaker malah mempermudah impor pangan. Padahal UU sebelumnya yakni; UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan, sumber pangan berasal dari produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional dan mengutamakan produksi pangan dalam negeri.

Perlindungan bagi petani

Disyahkannya UU Ciptaker, menjadikan pasar Indonesia berpeluang dibanjiri produk pertanian impor. Semua itu, terindikasikan dari hilangnya perlindungan kepada petani, peternak hingga pengusaha kecil dan mikro. Semestinya, UU Ciptaker perlu tetap memberikan perlindungan kepada petani. Mengingat UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani khususnya pasal 7 bersifat tetap. Kemudian, UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan beberapa aturan lainnya.

Itulah, sekiranya beberapa perlindungan yang telah diberikan oleh pemerintah sebelum disyahkannya UU Ciptaker, yang kini justru berlaku sebaliknya nasib petani semakin terancam. Pasalnya, ada beberapa indikasi yang tidak menguntungkan dari beberapa pasal yang ada di UU Ciptaker.

Pertama, UU Ciptaker condong menyetarakan produk impor dengan produksi dalam negeri sebagai sumber pangan nasional. Melalui dihapusnya beberapa ketentuan dalam UU yang sudah lebih dulu ada berpihak kepada petani kecil. Seperti, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) No.19 Tahun 2013 Pasal 15 ayat (2) dalam UU Perlintan dihapus. Sehingga tidak ada lagi ketentuan yang mewajibkan mengutamakan produksi pertanian dalam negeri; Pasal 30 UU Perlintan diubah sehingga tidak ada ketentuan yang melarang impor komoditas pertanian pada saat ketersediaan pangan dalam negeri sudah mencukupi; Pasal 101 UU Perlintan dihapus sehingga tidak ada sanksi bagi orang/pihak yang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan pangan dalam negeri sudah mencukupi.

Kedua, memperparah konflik agraria, memperbesar ketimpangan kepemilikan lahan dan praktik penggusuran demi investasi. Artinya, dengan dihapuskannya ketentuan yang ada dalam RUU Ciptaker Pasal 122 angka 1 dan Pasal 44 ayat (3) UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, maka dapat mempercepat alih fungsi tanah pertanian .

Ketiga, tertindasnya nasib petani dengan tanaman hortikultura. UU No.13 Tahun 2020 tentang Hortikultura dihapus UU Ciptaker sehingga tidak lagi diatur pemasukan dan pengeluaran benih ke dan dari wilayah Republik Indonesia. Hal ini berarti benih komersial dari luar bebas masuk dan beredar di wilayah RI. Pasal 92 UU Hortikultura diubah dengan memasukkan frasa ‘asal impor’ dalam pasal tersebut. Akibatnya ketentuan yang mengikat penyelenggara pasar dan tempat lain untuk mengutamakan penjualan produk hortikultura lokal tidak berlaku lagi.

Berangkat dari ketiga indikator itulah, sejatinya tidak ada alasan jika kita tidak menaruh simpati pada petani domestik akibat terancamnya nasib mereka karena pengesahan UU Ciptaker. Jadi, tanpa bermaksud menampik niatan baik dari tujuan UU Ciptaker yang bertujuan mendorong investasi dan meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas. Namun, untuk meyakini UU Ciptaker ini adalah baik dan dibuat dengan niat dan tujuan baik, kita juga perlu memastikan UU ini dibuat dengan cara baik agar pada akhirnya UU ini memberi hasil yang juga baik bagi mayoritas rakyat.

Oleh karena itu, apabila UU Ciptaker resmi berlaku, kita harus memiliki peraturan pelaksanaan yang sungguh menjamin ketersediaan pangan serta memastikan petani dan nelayan kita tidak terlempar dari lahannya karena terdesak produk impor dan agrobisnis yang menguntungkan segelintir orang dan kelompok.

———– *** ———–

Tags: