Mengawal Transformasi UMKM Hijau

Oleh :
Wahyu Kuncoro
Dosen pengampu mata kuliah Sistem Ekonomi Indonesia di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag), Surabaya

Jargon ‘Build Back Better’ (IMF, 2020) yang kemudian diadopsi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menjadi ‘Build Forward Better’ (2021) menggambarkan kuatnya komitmen di tataran global dan nasional untuk menata perekonomian pascakrisis pandemi Covid-19 melalui ekonomi berwawasan lingkungan.
Penanganan isu perubahan iklim semakin menemukan relevansinya dengan melihat Indonesia mengalami penurunan peringkat Climate Change Performance Index. Lantaran itu, akselerasi pembangunan ekosistem ekonomi hijau memiliki urgensi yang tinggi, karena diharapkan melalui konsep ini akan mengantarkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif menjadi tujuan realistis, bukan sekadar retorika.

Urgensi Ekonomi Hijau
Himpitan masa pandemi Covid-19 telah membuat banyak negara menata ulang sistem perekonomian ke depan. Tak heran jika kemudian banyak bank sentral di negara maju maupun negara berkembang kini memformulasikan kembali instrumen kebijakannya.

Sebagai contoh, Bank of England mengeluarkan regulasi Corporate Bonds Purchase Scheme (CBPS), di mana bank sentral memprioritaskan pembelian obligasi hijau korporasi di sektor ramah lingkungan atau yang memiliki komitmen kuat terhadap isu perubahan iklim. Sementara itu, bank sentral Tiongkok, People’s Bank of China berkolaborasi dengan Kementerian Perlindungan Lingkungan China menyusun basis data nasional untuk pengungkapan informasi kepatuhan korporasi non keuangan terhadap regulasi lingkungan. Lembaga perbankan diwajibkan untuk membatasi pemberian pinjaman kepada perusahaan yang melanggar ketentuan ini.

Di negara berkembang, Bangladesh Bank mewajibkan bank dan non bank untuk mengalokasikan 5% dari portofolio kreditnya bagi sektor hijau. Selain itu, pelaku industri jasa keuangan diharuskan menyalurkan 10% dari anggaran tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) bagi dana perubahan iklim.

Di Indonesia, Bank Indonesia (BI) juga telah mengeluarkan inisiatif keuangan hijau sejak tahun 2010. Pada 2012, BI juga tercatat sebagai pendiri Sustainable Banking Network dan menerbitkan Green Lending Model.

Saat ini BI juga tengah mengembangkan kerangka Kebijakan Keuangan Hijau dengan pilar Penguatan Kebijakan Makroprudensial Hijau, Pendalaman Pasar Keuangan Hijau dan Pasar Karbon, serta Pengembangan UMKM Hijau yang memiliki tujuan untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan.

Terdapat keterkaitan antara makroprudensial dengan isu kenaikan suhu bumi yang menyebabkan perubahan iklim. Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim dapat menimbulkan risiko fisik dan risiko transisi yang berimplikasi pada stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan.

Ketika terjadi gangguan fisik, maka akan ada gangguan produksi. Terjadinya banjir, gelombang tinggi, badai, dan kekeringan ini tentu saja akan berdampak pada inflasi. Selain itu, risiko transisi dari perubahan iklim memiliki biaya transisi yang cukup besar dalam bentuk hilangnya kesempatan investasi, hambatan ekspor, keharusan impor produk hijau, dan keterbatasan akses keuangan global, serta sudah mulai terjadi sekarang.

Contohnya adalah investasi hijau beralih ke negara lain, akses keuangan global terbatas atau mahal, dan ekspor tidak kompetitif. Kalau kita tidak beralih pada green, maka ekspor kita dapat hambatan. Contohnya batu bara, sawit, dan sebagainya. Terdapat ratifikasi Paris Agreement dimana semua negara berkomitmen untuk menurunkan karbon. National Determined Contribution (NDC) Indonesia berkomitmen menurunkan karbon pada 2030 sebesar 41% dan pada 2060 mencapai carbon neutral.

Kebijakan Makroprudensial Hijau
Ada 3 pilar kerangka kebijakan makroprudensial hijau Bank Indonesia untuk menjadikan ekonomi berkelanjutan dengan sistem keuangan yang stabil, tumbuh, inklusif, dan hijau, yaitu; penguatan kebijakan makroprudensial hijau; pendalaman pasar keuangan hijau, dan pengembangan UMKM hijau.

Khusus pilar Makroprudensial Hijau, implementasinya terlihat dari pengaturan rasio Loan/Financing to Value untuk properti berwawasan lingkungan (KPR hijau) dan uang muka pemberian kredit/pembiayaan kendaraan bermotor berwawasan lingkungan (KKB hijau). Per September 2021, kedua jenis kredit menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi, masing-masing sebesar 28,93% dan 29,39%.

Tidak hanya itu, BI juga melakukan transformasi kelembagaan BI Hijau yang memastikan semua aktivitas operasionalnya ramah lingkungan. Ke depan, masih terdapat pekerjaan besar untuk menyusun konsensus taksonomi ekonomi hijau, yang dapat menjadi jembatan antara sektor riil dan sektor keuangan.

Dari perspektif makroekonomi, sistem keuangan sejatinya memiliki peranan yang sangat penting dalam transisi menuju ekonomi hijau. Oleh karena itu, kebijakan pembiayaan hijau oleh Bank Indonesia akan diarahkan untuk mendorong transisi aset perbankan ke portofolio yang lebih hijau. Tidak hanya itu, penyesuaian suku bunga kredit juga didorong agar lebih terjangkau bagi perusahaan atau proyek hijau.

Transformasi UMKM Hijau
Dalam menjawab tantangan perubahan iklim ke depan, Bank Indonesia berupaya untuk mempersiapkan UMKM dalam bertransformasi menuju UMKM hijau. Pengembangan UMKM Hijau merupakan salah satu inisiatif dalam framework Kebijakan Ekonomi dan Keuangan Hijau Bank Indonesia. Upaya dan proses transformasi hijau Bank Indonesia diterapkan baik dari sisi kebijakan dan kelembagaan.

Dari sisi kebijakan, Bank Indonesia mendorong terciptanya pembiayaan berwawasan lingkungan (green financing) melalui penerbitan peraturan rasio Green Loan to Value (LTV)/Financing to Value (FTV), Green Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM), serta mengembangkan instrumen pasar uang hijau. Dari sisi kelembagaan, Bank Indonesia berupaya dan berproses untuk melanjutkan transformasi dari aspek tata kelola, manajemen risiko, strategi serta performance indikator hijau.

Hal ini menunjukkan komitmen Bank Indonesia untuk mengawal transformasi hijau dari semua aspek sehingga dapat pula menjadi best practice kelembagaan sekaligus bank sentral hijau. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat terjalin sinergi dan kolaborasi yang lebih kuat antar berbagai pihak sehingga terdapat upaya yang masif dalam mendiseminasikan dan mereplikasi model bisnis UMKM hijau.

Pembangunan ekosistem ekonomi hijau sesungguhnya merupakan tanggung jawab semua pihak. Bank Indonesia sentral juga termasuk di dalamnya. Isu perubahan iklim dan Bank Indonesia memiliki sebuah keterkaitan. Perubahan iklim berkorelasi positif terhadap tingkat inflasi yang menjadi tujuan dari Bank Indonesia sebagai Bank Sentral.

Argumen logis yang melatarbelakanginya ialah perubahan iklim membawa dua risiko besar.

Pertama, risiko fisik yang berasal dari adanya kerusakan lingkungan akibat pengaruh cuaca dan penurunan produktivitas lahan pertanian. Implikasinya, jumlah penawaran komoditas pangan berkurang sehingga terjadi lonjakan harga pangan. Situasi ini sering dikenal sebagai inflasi volatile food.

Kedua, risiko transisi akibat perubahan struktural yang signifikan terhadap perekonomian. Misalnya, penutupan industri pertambangan seiring dengan pergeseran dari penggunaan energi fosil ke energi terbarukan. Tanpa perencanaan yang terukur, kebijakan ini akan berdampak pada melambungnya harga energi yang pada akhirnya akan dibebankan ke harga jual produk. Kondisi ini lantas menimbulkan inflasi cost push (dorongan biaya).

Di atas itu semua, konfigurasi risiko ini berpotensi mengguncang stabilitas sistem keuangan. Penurunan harga aset dan ketidakpastian pasokan yang berujung pada gagal bayar alias kredit macet sebagai taruhannya.

——— *** ———-

Rate this article!
Tags: