Mengedukasi Perbankan Menuju ‘Green Financing’

wahyu kuncoroOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Ketahanan pangan dan energi (food and energy security) menjadi isu menarik dalam memperbincangkan masa depan bangsa Indonesia bahkan dunia internasional. Dalam konteks perekonomian nasional, dua sektor ini juga memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian terutama karena nilai impor yang cukup besar, fluktuasi harga komoditas yang berpengaruh pada inflasi dan tekanan pada nilai tukar, hingga defisit Neraca Pembayaran Indonesia. Lantaran itu, dukungan perbankan untuk membiayai ke dua sektor tersebut menjadi sangat penting.
Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengharuskan semua aktivitas ekonomi untuk patuh mendorong kelestarian lingkungan. Perbankan sebagai bagian dari entitas bisnis tentunya tidak terlepas dari keharusan ini. Pengabaian terhadap ketentuan tersebut tentunya akan berpotensi meningkatkan risiko kredit, risiko hukum dan risiko reputasi bagi perbankan. Untuk itu perbankan perlu memahami dan menguasai lebih baik mengenai manajemen risiko lingkungan hidup ini.
Pembiayaan di sektor energi dan pertanian yang ramah lingkungan (green financing) diharapkan tidak hanya menghasilkan swa-sembada energi dan pangan namun turut berkontribusi terhadap permasalahan green economy lainnya seperti penurunan gas rumah kaca yang telah menjadi komitmen Indonesia kepada dunia internasional.
Mengedukasi Perbankan
Prinsip dasar dari green financing untuk perbankan adalah upaya memperkuat kemampuan manajemen risiko bank khususnya terkait dengan lingkungan hidup dan mendorong perbankan untuk meningkatkan portofolio pembiayaan ramah lingkungan hidup seperti energi terbarukan, efisiensi energi, pertanian organik, eco-tourism, transportasi ramah lingkungan, dan berbagai eco-label products. Ini merupakan bentuk kesadaran bank terhadap risiko kemungkinan terjadinya masalah lingkungan pada proyek yang dibiayainya yang mungkin berdampak negatif berupa penurunan kualitas kredit dan reputasi bank yang bersangkutan.
Dalam kerangka yang lebih makro dan bersifat jangka panjang, green financing ini akan memberikan kontribusi positif pada upaya penguatan kebijakan fiskal dan moneter yang antara lain tercermin dari menurunnya beban impor minyak dan produk pertanian karena terjadi peningkatan pasokan energi domestik dari sumber-sumber energi terbarukan, peningkatan efisiensi penggunaan energi oleh industri, dan peningkatan produk pertanian organik yang didukung oleh perbankan nasional.  Pada sisi lain, langkah ini menjadi kontribusi perbankan dalam mendukung komitmen pemerintah memperbaiki posisi Indonesia sebagai paru-paru dunia dengan menurunkan emisi gas rumah kaca.
Green Financing atau pembiayaan kepada sektor riil yang mendorong perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, cepat atau lambat perlu diperhatikan perbankan karena adanya ancaman krisis energi dan kerusakan lingkungan. Akan tetapi harus diakui hingga saat ini belum sepenuhnya perbankan di Indonesia siap dalam green financing karena kurangnya pemahaman terkait hal ini dan adanya anggapan tingginya resiko sektor ini.
Lantaran itu, upaya peningkatan capacity building kepada pihak perbankan terkait dengan green financing harus terus dilakukan. Pemberian pemahaman kepada pihak perbankan ini lebih perlu dikedepankan dibanding membuat kebijakan ketika perbankannya belum siap seperti saat ini. Kalau banknya tidak siap dalam sisi pengetahuan, mereka akan enggan masuk ke sana. Tapi kalau mereka sudah siap, penulis optimis perbankan akan dengan sendirinya masuk ke green financing ini.
Sebagai contoh misalnya ke depannya yaitu terkait persoalan pemenuhan kebutuhan listrik yang akan sulit dipenuhi pemerintah jika tak ada peran swasta dan dukungan dari perbankan. Dengan demikian, kalau bank tidak siap, lantas siapa yang membiayai. Ke depan bisnis ini prospektif karena nanti misalnya minyak akan turun dan harus ganti. Walau pembiayaan ini bagi perbankan masih dianggap dunia baru dan beresiko tinggi karena masih belum menjadi mature industry. Beberapa bank sudah mulai mendukung dalam pengembangan teknologi pembangkit listrik alternative, misalnya pembiayaan proyek mini hidro. Akan tetapi, green financing masih luas tidak hanya terbatas pada hydro, misalnya perdagangan karbon. Dengan demikian banyak hal yang bisa dikembangkan lembaga keuangan Indonesia. Pengembangan green financing tidaklah sulit asal para pihak terkait rajin berdialog dan berkolaborasi. Sudah banyak inisiatif berjalan, baik di tingkat nasionaal maupun lembaga keuangan non pemerintahan. Tinggal tunggu waktu. Yang menjadi kunci pengembangan green financing adalah bagaimana cara bank mengelola risiko.
Berbagai pihak terutama pemerintah daerah perlu berperan nyata dalam menunjang green financing mengingat bank harus tetap hati-hati melihat dari sisi prospeknya, kapasitasnya, dan kemampuan membayarnya. Butuh data pelengkap untuk memudahkan bank untuk menganalisis. Ini wilayah pemda dan kementerian. Pengusahanya pun dalam membuat proposal perlu dilengkapi data-data yang lengkap.
Mendorong Peran OJK
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengawasi industri jasa keuangan oleh UU No. 21 Tahun 2011, memiliki peluang besar untuk mewujudkan green financing. Hal ini dapat diwujudkan OJK dengan membentuk regulasi terkait pemenuhan standar lingkungan dalam pembiyaan atau kredit bank atau lembaga keuangan lainnya.
Langkah OJK bersama Kementerian Lingkungan Hidup membuat kesepakatan terkait financial sustainability sesungguhnya merupakan tahapan awal bagi OJK untuk memainkan peran tersebut. Peran regulator sekaligus supervisor yang dimiliki OJK terhadap industri jasa keuangan harus dimanfaatkan dengan maksimal. Apalagi OJK tidak hanya mewadahi industri perbankan semata, tapi OJK juga menaungi industri jasa keuangan lainnya seperti pasar modal, asuransi, dan lembaga pembiayaan.
Upaya yang harus segera dilakukan oleh OJK untuk merealisasikan kesepakatan dengan Kementerian Lingkungan Hidup tersebut, dengan membentuk regulasi yang memuat standar atau indikator lingkungan yang harus dipenuhi oleh perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Bentuk pelaksanaan penilaian tersebut bisa seperti tahapan due dilligent terhadap nasabah atau calon nasabah perbankan. Kalau biasanya hanya sebatas melihat apakah ada indikasi pencucian uang atau tidak, ke depan due dilligent bisa dilakukan untuk menilai apakah perusahaan (debitur), telah memenuhi standar lingkungan atau tidak. Sehingga tak sekedar mengacu pada dokumen AMDAL semata.
Konsep green financing atau pengucuran modal dengan menggunakan prinsip ramah lingkungan bisa menjadi solusi dari sektor finansial untuk mengatasi dampak perubahan iklim global. Ada dua ancaman serius, yaitu masalah penggunaan energi dan lingkungan hidup yang bisa diatasi dengan green financing. Namun, untuk menerapkan konsep green financing secara nyata dibutuhkan tekad dari badan finansial, baik swasta maupun pemerintah, untuk mengeluarkan investasi dalam jumlah yang besar. Selain itu, penerapan green financingmembutuhkan kemajuan teknologi yang dapat mengurangi dampak perubahan iklim.
Sebagai contoh, sejumlah nelayan di Jepang beberapa tahun lalu memutuskan untuk menggunakan teknologi LED (light emitting diode) akibat mahalnya harga bahan bakar yang biasa dipakai untuk melaut. Pada awalnya memang dibutuhkan biaya yang besar untuk membeli dan melengkapi kapal penangkap ikan dengan LED, tetapi setelah digunakan mereka dapat menghemat biaya operasional. Para nelayan meminjam uang dari bank. Untuk itu, pembiayaan dan dorongan untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan merupakan kunci yang dibutuhkan dalam penerapan green financing. Sesungguhnya terdapat banyak peluang bisnis atau finansial yang dapat dikembangkan akibat perubahan iklim, termasuk salah satunya green financing. Apalagi, Indonesia sebenarnya bukanlah merupakan penyumbang emisi terbesar tetapi perubahan iklim telah mengakibatkan sejumlah masalah seperti kenaikan suhu dan naiknya permukaan air laut.
Krisis energi kenaikan harga minyak di dunia seharusnya juga bisa menjadikan salah satu aspek untuk mendorong penerapan green financing. Skema pendanaan green financing dengan memasukkan aspek perubahan iklim sesungguhnya bisa menjadi salah satu solusi penting dalam membangun Indonesia secara berkelanjutan.
Wallahu’alam bhis-shawwab

                                                                                                                   ———– *** ————

Tags: