Mengejawantahkan Wejangan ‘Eling lan Waspada’

Eling lan WaspadaJudul     : Eling lan Waspada
Penulis    : Gesta Bayuadhy
Penerbit  : Saufa
Cetakan   : I, 2015
Tebal    : 244 Halaman
ISBN     : 978-602-255-881-1
Peresensi    : Anton Prasetyo
Alumnus UIN Yogyakarta

Eling lan waspada merupakan falsafah yang dipegang teguh oleh masyarakat Jawa. Falsafah tersebut mengajarkan manusia untuk selalu ingat dan hati-hati dalam menjalani hidup. Falsafah Jawa ini mencul dan mulai dikenal setelah tercantum dalam karya Rangga Warsita dalam salah satu bait tembang sinom Serat Kalatida.
Secara khusus, dua baris terakhir tembang tersebut, yakni begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling klawan waspada, seberuntung-beruntungnya orang yang lalai, lebih beruntung orang yang tetap ingat dan waspada (halaman 9-10). Warisan wejangan Jawa ini menunjukkan bahwa orang-orang Jawa memiliki kepercayaan bahwa apa pun yang terjadi di dalam hidup merupakan sebuah keberuntungan.
Ketika seseorang sedang ditimpa musibah hingga sakit parah, bahkan sampai salah satu bagian tubuhnya mengalami cacat seumur hidup, orang Jawa akan berkata, “Masih beruntung hanya menerima cobaan seperti ini, hanya sakit cacat, tidak sampai meninggal dunia.” Sebaliknya, ketika terdapat seseorang mengalami kecelakaan hingga meninggal dunia, orang Jawa akan mengatakan, “Beruntung langsung meninggal dunia, daripada harus hidup tapi harus menanggung cacat seumur hidup.”
Orang yang lali (lupa) pun bisa begja (beruntung). Hanya saja, keberuntungan orang yang lupa merupakan sebuah kabegjan (kebetulan bernasib baik). Keberuntungan ini sifatnya hanyalah sementara. Berbeda dengan orang yang ingat, maka ia akan mendapatkan keberuntungan yang hakiki. Dengan begitu, wejangan leluhur Jawa ini menunjukkan bahwa meskipun orang yang lupa bisa merasakan keberuntungan, namun akan lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada.
Sebagaimana paparan buku ini, eling lan waspada dapat diwujudkan dengan beberapa bentuk, di antaranya adalah Eling marang Gusti (selalu dekat kepada Tuhan). Sikap eling seperti mencakup eling sangkan paraning dumadi, eling sing ngenekake, eling sing nyirnaake, eling sing matekke, eling sing nguripke, dan eling sing peparing.
Wujud lain adalah Eling mring sesama (peduli kepada sesama manusia). Di dunia, manusia tidak hidup sendiri. Manusia ada bersama sesamanya. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya manusia peduli dengan sesamanya. Hal itu sejalan dengan falsafah eling mring sesami. Maka dari eling mring sesame bukan sekadar ingat, tetapi lebih mendalam, yakni peduli terhadap sesama manusia. Eling mring sesami dapat diwujudkan melalui berbagai tindakan-tindakan sebagai berikut.
Pertama, sesama manusia harus saling menghormati. Salah atu keinginan dasar manusia adalah dihormati. Tidak ada seorang pun yang tak ingin dihormati, bahkan manusia berkepribadian buruk atau suka berperilaku nista sekalipun. Ia tetap ingin dihormati karena pada dasarnya manusia secara hakiki adalah sama. Setiap manusia sama-sama berada di dalam kandungan ibunya selama sembilan bulan sepuluh hari, tidak berpakaian saat dilahirkan, dan ketika mati tidak membawa apa pun kea lam baka selain amal perbuatannya.
Kedua, sesama manusia harus saling menolong. Ajaran eling lan waspada bertujuan untuk mendorong manusia saling menolong sesamanya. Telah menjadi naluri manusia sejak lahir bahwa mereka akan saling menolong. Ketika masih anak-anak, seseorang menolong adiknya atau teman sebaya yang terjatuh. Adapun ketika beranjak remaja, ia menolong temannya yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Saat sudah dewasa, ia memberikan pinjaman kepada sahabatnya tanpa meminta imbalan apa pun. Dan seterusnya sampai akan mati pun manusia masih punya naluri untuk menolong sesama.
Ketiga, sesama manusia harus saling mengingatkan. Di dalam diri orang Jawa telah tertanam sifat dan sikap saling mengingatkan dalambentuk pesan, harapan ataupun nasihat kepada keluarga atau orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, ketika seorang anak berpamitan untuk bepergian, maka orang tua selalu berkata, “Sing ngati-ati!” atau “Berhati-hatilah!” Peringatan itu bukan sekadar patut-patute (basa-basi), tetapi ada makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Orang tua tersebut mengingatkan sang anak untuk berhati-hati lair lan batine (secara lahir dan batin) agar selamat dalam perjalanan. Keselamatan yang dimaksud mencakup saat dalam perjalanan, sewaktu berada di tempat tujuan, serta ketika kembali ke rumah (halaman 18-21).
Sementara, kewaspadaan dapat diwujudkan dengan waspada ing lair (kewaspadaan terhadap bahaya yang tampak nyata), waspada ing batin (kewaspadaan yang hakiki), waspada saka panggada (menangkal godaan yang menjerumuskan), waspada tan kena lena (lengah sejejap bisa lenyap), dan waspada tan kena keblinger (mewaspadai jebakan yang menyesatkan).
Dalam menggapai kebahagiaan sejati, bab terakhir buku ini juga membahas Laku utama anggayuh memanising pati (menggapai akhir hidup yang indah). Memanising pati bisa dimaknai kembali dalam keadaan baik dan indah. Kematian itu terjadi pada saat seseorang tengah melakukan sesuatu kebaikan sebagaimana biasa dilakukannya. Artinya, dalam kehidupan sehari-hari, orang itu senantiasa berbuat baik. Laku utama menjadi pedoman dalam segala tindakannya (hal: 242). Jika ditarik dalam pembahasan agama, orang seperti ini bisa disebut dengan julukann khusnul khatimah (happy ending). Siapakah yang tidak menginginkannya. Selamat membaca !

                                                                                                    ——————- *** ——————–

Tags: