Mengelola Interaksi Anak di Sekolah

Oleh :
Ach. Nurcholis Majid
Dosen di Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan

Tampaknya semakin jelas. Krisis yang mendesak untuk dipikirkan pemerintah dan pihak sekolah, adalah pengelolaan hubungan sosial anak di lingkungan sekolah. Kenyataan perundungan (bullying), tawuran, dan tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah merupakan indikator yang sangat jelas. Bahkan, bukan hanya antara peserta didik, juga antara peserta didik dengan guru.
Kenyataan ini diperkuat oleh indeks kriminalitas yang dirilis oleh LSM Plan Internatioanal dan International Center for Research on Women  (ICRW) bahwa terdapat 84% kekerasan anak terjadi di sekolah. Jika ini terus terjadi, maka sekolah hanya mempertajam hayalan meraih cita-cita luhur pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sedangkan di sisi lain, orang tua peserta didik meyakini lingkungan sekolah merupakan lingkungan terbaik untuk menyiapkan anak-anak dalam menghadapi lingkungan sebenarnya di masa dewasanya nanti.
Mempengaruhi bukan Menguasai
Keyakinan itu tidak hanya menempelk kuat dalam pikiran orang tua sebagai wali murid. Guru secara sadar juga meyakini bahwa sekolah adalah lingkungan peradaban. Walaupun seringkali yang terjadi adalah kesalahan dalam mengeksekusi lingkungan peradaban itu. Salah satu kesalahan itu misalnya adalah kesalahan membedakan antara mempengaruhi dan menguasai peserta didik agar menjadi manusia yang beradab.
Interaksi di sekolah seringkali menggunakan kekuasaan untuk dapat melemahkan dan memonitor “kenakalan” atau dalam membentuk moral. Guru lebih suka memberikan hukuman (punishment) kepada peserta didik yang melanggar daripada melakukan pembiasaan menggunakan pengaruh keteladanan.
Sangat nampak sekali misalnya pada bahasa yang digunakan guru di lingkungan sekolah. Guru selalu memilih kalimat perintah yang tidak beropsi. Padahal, kekuatan hanya terbatas pada pengaturan. Anak hanya dapat teratur atau patuh terhadap perintah yang didesain guru, hanya jika guru masih memiliki otoritas. Maka, bukan sesuatu yang perlu dicengangkan, jika seorang anak dapat sopan di lingkungan sekolah, tetapi di luar sekolah kemudian menjadi pribadi yang berbeda.
Karenanya perlu ada perubahan mindset dalam berinteraksi dengan peserta didik yang notabene disebut sebagai anak-anak. Bahwa bahasa perintah dengan dasar kekuasaan harus dirubah menjadi pengaruh. Misalnya dengan pemberian contoh, penghargaan, dan kedekatan. Sebab seorang guru yang selalu terlihat minum duduk akan lebih berpengaruh bagi perilaku peserta didik, daripada guru yang menyuruh tanpa tindakan yang dapat dicontoh.
Mengarahkan
Dalam interaksi sosial, seorang anak dapat melakukan tindakan asosiatif atau disosiatif. Mereka dapat melakukan kerjasama (cooperate), tetapi juga dapat bersaing (compete), dapat mengakomodir (accommodate), dapat juga bertentangan (conflict). Empat hal itu, adalah suatu kenyataan yang ada di dalam lingkungan sekolah. Keempat-empatnya memiliki nilai positif dan negatif bahkan pada laku kerjasama. Berdasarkan kenyataan itu, maka pihak sekolah perlu memikirkan cara mengelola interaksi sosial yang baik.
Selama ini, sekolah menggunakan tindakan pertentangan dalam bentuk persaingan saling mengungguli, bukan untuk memperbaiki hubungan sosial, tetapi mempertajam permusuhan. Interaksi conflict dibuat dengan cara menegaskan bahwa seseorang yang unggul disebut berprestasi walaupun abai dalam bekerjasama. Tidak heran jika ada beberapa anak yang memiliki otak cerdas lebih pelit dalam berbagi pemahaman kepada teman lainnya, karena takut prestasinya diungguli orang lain.
Jika ini terus berlangsung lama, mereka yang merasa putus asa, menggunakan interaksi konflik dengan cara bullyng, ancaman dan bahkan persekusi untuk menekan posisi ketertinggalannya.
Sedangkan dalam bentuk kerjasama. Peserta didik perlu juga diarahkan untuk bekerjasama seacara baik, misalnya dalam beberapa kegiatan konservasi taman, menghias kelas. Sehingga mereka terhindar dari kerjasama yang mengarah pada tauran, bolos bersama, dan tindakan kriminal lainnya.
Lingkungan Sosial yang Baik
Dalam Problem Behavior Theory, Jessor meyakini bahwa terbentuknya perilaku menyimpang dipengaruhi oleh tiga aspek yang berkaitan. Dua diantaranya adalah aspek sistem lingkungan sosial yang diterima oleh remaja, dan sistem perilaku yang dipilihnya.
Dengan demikian, pihak pelaksana pendidikan harus dengan cerdas menciptakan lingkungan sosial yang kondusif, hubungan sosial yang harmonis, agar peserta didik dapat memilih sistem perilaku yang baik dalam kehidupannya. Guru yang dapat memberikan teladan baik, menciptakan lingkungan yang bersahabat, dan menghilangkan tindakan kekerasan emosional, dapat menghasilkan peserta didik yang juga bersahabat.
Tetapi sebaliknya, peserta didik akan menjadi agresif dan brutal, jika sistem sosial yang ditampakkan oleh guru adalah lingkungan yang disharmonis. Guru yang selalu berteriak marah dan memerintah, akan melahirkan sistem perilaku yang buruk. Karena sistem lingkungan seringkali melahirkan sistem perilaku.
Sekali lagi, perlu penulis katakan bahwa jika hubungan sosial di lingkungan sekolah masih tidak dipikirkan dengan baik, upaya yang selama ini diperdebatkan dan dilaksanakan, hanya mempertegas kesalahan.

                                                                                                               ———– *** ————

Rate this article!
Tags: