Mengelola Produktivitas Utang Pemerintah

Oleh :
Novi Puji Lestari
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang 

Akhir-akhir ini perdebatan mengenai utang pemerintah sepertinya semakin hari semakin memanas. Laju utang pemerintah seperti tak tertahankan. Angka utang terus menggelembung hingga menembus sebesar Rp 4.034,8 triliun per Februari lalu. Angka tersebut telah meningkat sekitar 13,46 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Melalui kenyataan itu, masih saja pemerintah melalui, melalui menteri keuangan, mengumumkan jumlah utang pemerintah meyakini melalui perkataannya besaran utang pemerintah tersebut dinilai masih berada dalam batasan aman.
Utang pemerintah
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, kebijakan utang dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) ditujukan untuk membantu membangun pendalaman pasar keuangan dan obligasi di dalam negeri. Menurutnya, utang tidak hanya sebagai alat menambal defisit belanja pemerintah, juga sebagai alternatif instrumen investasi bagi masyarakat Indonesia.
Wajar adanya, jika pada akhirnya pernyataan tersebut hingga akhirnya menimbulkan kegaduhan yang cukup menyita perhatian publik. Publik mulai merasa ragu apakah benar besaran utang pemerintah masih berada dalam batasan aman mengingat sumber pendapatan pemerintah saat ini sangat terbatas. Selama ini pendapatan pemerintah berasal dari tiga sumber, yaitu pendapatan pajak, penerimaan negara bukan pajak/PNBP (laba BUMN, pendapatan sektor sumber daya alam/SDA migas dan nonmigas, dan pendapatan badan layanan umum/BLU), dan utang baru semuanya.
Adapun rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) berada dilevel 29,24 persen. Dari total utang pemerintah yang kini dipertanyakan oleh sejumlah kalangan sebagian besar berdenominasi rupiah sebesar Rp 2.365,25 triliun atau sekitar 59 persen, dan selebihnya 41 persen dalam denominasi valuta asing (Valas) sebesar Rp 1.669,54 triliun.
Sedangkan utang dalam denominasi rupiah berbentuk surat berharga negara (SBN), sedang denominasi Valas terbagi dua, yakni dalam bentuk SBN sebesar Rp897,78 triliun, dan pinjaman luar negeri sebesar Rp771,76 triliun. Setiap kali jumlah utang yang nilainya nyaris dua kali lipat dari nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 dikritisi masyarakat, pemerintah selalu mencoba menenangkan bahwa utang saat ini masih wajar dan tak perlu dicemaskan.
Melalui pinjaman luar negeri yang tercatat sebesar Rp 771,6 triliun bersumber dari pinjaman multilateral sebesar Rp 396,02 triliun, pinjaman bilateral sekitar Rp 331,24 triliun, dan pinjaman komersial sebanyak Rp 43,32 trliun, serta pinjaman suppliers sebesar Rp 1,17 triliun. Pinjaman luar negeri, baik yang berbentuk bilateral maupun multilateral, pada umumnya memiliki jangka waktu yang panjang dengan tingkat bunga yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan pinjaman komersial.
Melihat kenyataan yang demikian, pertanyaannya adalah masih amankah dengan jumlah utang yang terus mengelembung itu? Seperti kita ketahui bersama kalau dari suara pemerintah sudah pasti jawabannya aman. Hal itu bisa disimak penjelasan dari Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan, Kementerian Keuangan, Scenaider Siahaan, yang meminta masyarakat tak perlu khawatir meski utang pemerintah sudah bertengger di atas Rp 4.000 triliun. Alasannya, besaran cicilan utang pemerintah masih tergolong kecil dibandingkan dengan penerimaan negara setiap tahun. Masa jatuh tempo total utang pemerintah sekitar sembilan tahun.
Adapun realisasi penerimaan negara berdasarkan data Kementerian Keuangan pada 2017 tercatat sebesar Rp 1.659,9 triliun atau 95,6 persen dari target APBN Perubahan 2017. Artinya, besaran cicilan utang pemerintah yang mencapai Rp 450 triliun per tahun hanya sekitar 27,11 persen terhadap penerimaan negara dari pajak dan non pajak. Karena itu, pemerintah meyakini besaran cicilan utang itu masih dalam kategori aman.
Memproduktivitaskan utang
Dilihat dari sisi rasio utang terhadap PDB yang kini tercatat sekitar 29,24 persen, pemerintah masih penuh percaya diri bahwa utang masih dalam batas aman. Bandingkan sejumlah negara Asia Tenggara lainnya, seperti rasio utang Vietnam sekitar 63,4 persen, Malaysia mencapai 52,7 persen dan Thailand sebesar 41,8 persen. Menurut hemat saya sebagai penulis, supaya mengantisipasi kemungkinan terpuruk bagi kondisi keuangan dalam negeri terkait utang ini, berikut kiranya langkah-langkah yang bisa dilakukan agar Indonesia tidak terjebak utang yang tidak produktif.
Pertama, pemerintah masih terus perlu mengembangkan terus pendalaman pasar dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembelian obligasi negara maupun korporasi. Pasar keuangan yang dalam dan tebal akan menjadi salah satu pilar menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Ini juga untuk menjawab mereka yang merasa khawatir dengan proporsi asing dalam pembelian obligasi (SBN) kita.
Kedua, pemerintah perlu terus melakukan diversifikasi instrumen utang, agar partisipasi masyarakat luas dapat terus meningkat. Dia menyatakan, mereka yang menganjurkan agar pemerintah berhati-hati dalam menggunakan instrumen utang, maka anjuran itu sudah sangat sejalan dengan yang dilakukan pemerintah.
Ketiga, pemerintah perlu melakukan secara intensif pengelolaan APBN dan penyesuaian memang dilakukan secara bertahap dan hati-hati, agar perekonomian tidak mengalami kejutan (shock) dan mesin ekonomi menjadi melambat.
Keempat, pemerintah harus mencari proyek pembangunan infrastruktur yang payback period-nya relatif rendah/cepat sehingga nilai ROI-nya menjadi tinggi. Setidaknya ada dua proyek pembangunan infrastruktur di era pemerintahan Jokowi-JK yang bisa menghasilkan ROI yang tinggi dengan payback period yang cepat, yaitu pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK) dan pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt (Mw).
Melalui keempat pilihan-pilihan kebijakan ini sekiranya bisa dievaluasi secara cermat oleh pemerintah, karena ekonomi Indonesia harus dikelola dengan hati-hati dan seimbang, mengingat tujuan-tujuan yang hendak dicapai sangat beragam. Seperti misalnya, pengurangan kemiskinan, pengurangan kesenjangan, penciptaan kesempatan kerja, perbaikan program pendidikan dan kesehatan, membantu infrastruktur dasar, meningkatkan penelitian dan pengembangan, membangun alutsista, memperbaiki kesejahteraan prajurit, polisi, dan pensiunan.
Oleh sebab itu, langkah konsisten dan hati-hati dari pemerintah sangat dibutuhkan. Semua itu demi menghasilkan kepercayaan yang makin kuat terhadap APBN dan perekonomian Indonesia. Apalagi Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang memiliki undang-undang yang menjaga disiplin APBN (fiscal responsibility rules) dan konsisten menjalankannya. Disiplin fiskal pemerintah Indonesia ditunjukkan dengan kepatuhan terhadap besaran defisit dan rasio utang terhadap PDB. Kondisi tersebut, jika konsisten bisa diwujudkan, utang pemerintah yang sudah besar ini masih masuk ke kategori aman.
———- *** ———-

Tags: