Mengelola Stres, Kunci Ketahanan Keluarga Masa Distraksi

Oleh :
Gandhung Fajar Panjalu
Pendidik Prodi Hukum Keluarga Islam UMSurabaya, Mahasiswa S3 UIN Walisongo Semarang).

Pandemi covid-19 memiliki dampak yang luas dan tidak hanya terbatas pada sektor kesehatan. Ia menjadi ujian dalam hal stabilitas politik, kekuatan ekonomi, ketaatan beragama, hingga ketahanan keluarga. Berbagai fenomena seputar kehidupan keluarga saat ini menunjukkan bahwa covid-19 benar-benar telah mendistraksi (memberikan gangguan) ketahanan keluarga.

Di antara dampak yang menarik adalah kemungkinan gelombang kelahiran dalam skala besar (baby boom). Apalagi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merilis terjadinya penurunan akseptor keluarga berencana (KB) selama pandemi. Selain itu, himbauan untuk di rumah saja membuat masyarakat memaksimalkan fungsi rekreasi dengan menjadikan keluarga sebagai tempat bersenang-senang, serta fungsi reproduksi untuk melahirkan keturunan sebagai “pembalasan” atas banyaknya kematian akibat pandemi.

Di sisi lain, potensi konflik dalam keluarga juga meningkat. Dilansir dari Radii China, antrian berkas perceraian menumpuk usai kantor pengadilan dibuka kembali pada 25 Februari silam. Sementara itu, badan PBB untuk dana kependudukan (UNFPA) juga merilis potensi kekerasan rumah tangga pada masa pandemi.

Kesemuanya adalah bentuk dari distraksi terhadap ketahanan keluarga. Distraksi tersebut dapat diantisipasi apabila anggota keluarga mampu melakukan pengelolaan terhadap berbagai tekanan.

Mengelola Stres Menuju Ketahanan Keluarga

Karney & Bradbury (1995) mengembangkan kajian untuk menilai stabilitas perkawinan. Kajian tersebut dikenal dengan nama VSA (Vulnerability-Stress-Adaptive).

Menurutnya, stabilitas perkawinan bisa diraih apabila perkawinan tersebut berkualitas. Kualitas perkawinan menurutnya ditentukan dari kemampuan adaptasi terhadap dua hal.

Pertama, terhadap Vulnerability atau bawaan laten antar pasangan. Sebagaimana kita pahami bahwa pernikahan dilakukan oleh dua orang dengan latarbelakang yang berbeda. Mungkin berbeda suku, bahasa, kecakapan hidup, kebiasaan, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Bawaan laten tersebut biasanya hanya terdiri dari beberapa hal, namun bersifat mengakar dalam diri seseorang. Karenanya, butuh waktu dan tekad yang kuat untuk melakukan adaptasi.

Kedua, terhadap stressfull events atau berbagai tekanan (stres) yang muncul. Adaptasi terhadap stres lebih sulit daripada adaptasi terhadap bawaan laten. Jika bawaan laten bersifat mengakar namun terbatas hanya dalam beberapa hal tertentu, sebaliknya dengan stres. Ia bisa terjadi dalam banyak hal, bahkan bisa jadi muncul berulang kali pada hal yang sama. Pada masa pandemi ini, tingkat kerentanan keluarga meningkat akibat stres yang semakin tinggi pula.

Sumber Stres pada Masa Pandemi

Dalam Islam, tekanan adalah sebuah keniscayaan. Allah berfirman yang artinya “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.” (QS AL-Baqarah ; 155).

Pada masa pandemi ini, hal-hal yang menyebabkan terjadinya stres dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok, yakni yang bersumber dari diri anggota keluarga, dari luar institusi keluarga, dan dari hubungan antar anggota keluarga.

Stres yang muncul dari diri anggota keluarga misalnya karena perubahan jam kerja, berkurangnya pemasukan finansial, ketidaksiapan melaksanakan aktifitas kerja di rumah, dan sebagainya. Stres dari luar institusi keluarga misalnya karena ada teman kerja yang diduga positif terpapar corona, ketidakstabilan harga bahan pokok, berita di media yang mencekam, dan sebagainya.

Stres yang muncul dari hubungan antar anggota keluarga misalnya ketidaksiapan mendampingi anak belajar. Hal ini biasa terjadi pada orangtua yang sepenuhnya menyerahkan proses pembelajaran anak kepada guru di sekolah. Contoh yang lain adalah adanya kebosanan ketika melakukan aktifitas sepanjang hari selama beberapa lama bersama anggota keluarga.

Salah satu hal penting dalam relasi antar individu adalah adanya kebersamaan (togetherness) dan keterpisahan (separateness). Kebersamaan sepanjang hari dengan keluarga tentu tidak akan memunculkan istilah kangen atau rindu, karena sepanjang hari terus bertemu. Mirip fenomena konflik pada pasangan yang baru pensiun, jika biasanya hari-harinya disibukkan untuk bekerja di luar rumah, selepas pensiun kian banyak waktu yang dihabiskan bersama keluarga.

Tingkat Stres pada Masa Pandemi

Untuk mengukur tingkat stres, kita bisa meminjam metode Holmes dan Rahe (1967) yang mengembangkan alat ukur stres. Beberapa item dalam alat ukur tersebut cukup relevan untuk digunakan pada masa pandemi ini, antara lain sakit parah (skor 53), dipecat (skor 47), perubahan kesehatan anggota keluarga (skor 44), penyesuaian bisnis secara besar-besaran (skor 39), kematian teman dekat (skor 37), mengambil pinjaman keuangan (skor 31), rekan berhenti bekerja (skor 26), perubahan kondisi kehidupan (skor 25), perubahan jam atau kondisi kerja (skor 20), dan sebagainya.

Selain itu, Holmes dan Rahul juga mengkategorikan tingkat stres dalam empat kelompok berdasarkan total skor yang didapat, yakni stres minor (skor kurang dari 150), stres ringan (skor 150-199), stres sedang (skor 200-299), dan stres berat (skor lebih dari 300). Meski belum dilakukan uji tingkat stres seseorang pada masa pandemi, namun dengan melihat beberapa item di atas patut diduga terjadi peningkatan tekanan akibat peristiwa yang hari-hari ini terjadi.

Mengelola Stres sebagai bentuk Adaptasi

Sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya, adaptasi terhadap tekanan menjadi cara untuk mengelola stress. Karena tekanan tersebut berawal dari masalah yang terjadi akibat pandemi, maka kita dapat menggunakan mekanisme koping berbasis masalah.

Ada tiga model pengelolaan yang bisa dilakukan, yakni konfrontasi, isolasi, dan kompromi.

Konfrontasi artinya secara agresif melakukan perlawanan untuk menyelesaikan masalah. Perlawanan bukan dilakukan terhadap pasangannya, namun kepada tekanan yang muncul. Misalnya masalah kejenuhan akibat kebersamaan (togetherness) secara terus-menerus dalam jangka panjang. Untuk mengatasinya, maka secara agresif melakukan perlawanan dengan menyusun jadwal aktifitas selama beberapa hari ke depan, bisa dengan berolahraga, membersihkan taman, berkebun dan sebagainya.

Isolasi bermakna menarik diri dari tekanan. Misal jika stres terjadi akibat obrolan keluarga tentang berita mencekam di media yang menimbulkan kekhawatiran. Untuk mengatasinya, maka keluarga tersebut bisa menarik diri dengan tidak lagi membahas berita yang dianggap mencekam tersebut, atau dengan memilih bacaan maupun tontonan yang lebih bernuansa edukatif dan menghibur.

Kompromi dilakukan dengan mengedepankan kreatifitas dan inovasi dalam hubungan keluarga. Dalam sebuah kajian daring, seorang pemateri mengisahkan fenomena munculnya ayam transformer sebagai bentuk kompromi dalam menghadapi stres. Hari pertama memasak ayam goreng. Karena tidak habis, pada hari kedua diolah menjadi ayam bakar. Belum habis pula maka akan disulap lagi menjadi ayam bumbu balado. Mungkin jika tidak habis lagi akan dijadikan ayam suwir-suwir. Hal tersebut merupakan inovasi yang diharapkan lebih baik daripada dalam bentuk ayam goreng terus-menerus.

Mengelola stres dapat dilakukan secara maksimal jika seluruh anggota keluarga punya keberanian untuk mengemukakan pendapat, kemauan berbesar hati menerima pendapat anggota keluarga yang lain, serta memahami sepenuhnya tujuan dan fungsi keluarga. Setiap stres harus dikelola dengan baik dan tidak dikurung rapat-rapat. Memendam stres laksana menyimpan bubuk mesiu yang suatu saat dalam kondisi tertentu dapat meledak dan menenggelamkan bahtera rumah tangga. Na’udzubillah.

———- *** ————

Tags: