Mengembalikan Budaya yang Tertukar

Oleh :
Retno Susilowati
Kolumnis; pemerhati pendidikan dan peneliti Public Sphere Center (Puspec), Surabaya

Budaya global terus menerus menerobos dan menerjang masuk ke negeri ini, lantas menyelinap ke sudut-sudut kampung. Implikasinya, banyak sudut sudut kampung yang karakter dan budayanya sudah serasa berbeda. Berbagai tradisi dan budaya sebagai ekspresi kearifan lokal mulai terasing dan tergusur. Bahkan dengan difasilitasi teknologi smartphone budaya budaya asing masuk ke otak dan pikiran anak-anak kita.
Masifnya serbuan budaya asing dengan balutan modernitas ke tengah masyarakat membawa dampak, tradisi dan budaya bangsa yang tidak memiliki akar kuat akan tercerabut tergusur terbang dibawa angin. Bisa jadi serpihan serpihan budaya itu kini tumbuh dan bersemi di belahan dunia lain. Dan anak cucu kita, suatu saat akan mengagumi budaya-budaya yang tumbuh subur di negeri orang tersebut.
Kekhawatiran ini tentu bukan isapan jempol belaka. Terbukti banyak akar tradisi dan seni budaya milik bangsa ini tumbuh dan berkembang di negeri -negeri orang. Sebut saja seni tarian, karawitan, kini digandrungi di negeri orang. Ironisnya, seni dan budaya tersebut di tanah air bukan lagi semakin digemari, tetapi semakin terasing dan tergusur dari kehidupan masyarakat. Wajah tradisi, seni dan budaya yang dulu merupakan bagian dari geliat kehidupan masyarakat, kini tak lebih hanya sekadar tampil di panggung panggung seremonial dan formalitas semata.
Budaya dan Kearifan Lokal
Indonesia adalah negara multietnis, agama, ras dan golongan. Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pancasila sebagai ideologi negara telah mengakomodasi kearifan lokal yang hidup di Nusantara seperti gotong royong, adat-istiadat, silaturahmi, dan lain-lain. Pancasila sebagai ideologi yang bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia juga sudah terbukti mampu menyatukan dan mendamaikan berbagai kemajemukan itu di Bumi Pertiwi. Dengan kekuatan kearifan lokal itu, Pancasila mampu menyelamatkan bangsa Indonesia dari berbagai gangguan dan ancaman perpecahan. NKRI ini tetap berlangsung dan berjalan harmonis karena kekuatan dari nilai-nilai Pancasila itu. Maka pemahaman nilai Pancasila itu harus terus digalakkan, terutama kepada para generasi muda. Selain itu, pelestarian budaya, adat-istiadat dan kearifan lokal lainnya oleh berbagai pihak, pemerintah, dan masyarakat, yang didukung pula oleh ideologi negara, Pancasila dan Undang-undang 1945 sangat dibutuhkan saat ini dan pada masa yang akan datang.
Pancasila merupakan dasar dan falsafah bangsa yang sudah terbukti kesaktiannya dalam mempersatukan seluruh komponen bangsa dari Sabang sampai Merauke. Dalam perjalanan bangsa sejak kemerdekaan, Pancasila terbukti ampuh menjadi ideologi kunci dalam menjalankan roda kehidupan masyarakat Indonesia sampai saat ini. Tanpa Pancasila, bukan hal yang mustahil bangsa ini tidak bisa utuh seperti sekarang ini. Tanpa Pancasila, mungkin kita sudah tercerai-berai. Karena keragaman Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa, agama, hingga bahasa, sangat rentan pecah bila tidak ada pemersatu yang diyakini secara bersama. Belum lagi negara kita yang berbentuk kepulauan, tentu memiliki potensi yang tinggi untuk terpisah satu sama lain.
Bukan tidak mungkin nilai nilai Pancasila akan tergerus seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi. Maka itu, para generasi penerus bangsa wajib dibekali dengan nilai-nilai Pancasila sejak dini. Sekolah-sekolah perlu lagi memberikan pelajaran yang cukup tentang Pancasila. Sekolah juga harus menjadi tempat yang efektif untuk membangkitkan kembali kearifan lokal di wilayahnya masing-masing. Kalau sekolah sudah tidak mengenalkan lagi, lantas kepada siapa kita berharap anak anak kita mengenal budaya dan kearifan lokal nenek moyangnya.
Kearifan lokal dan ideologi Pancasila sungguh akan menjadi kolaborasi terbaik untuk membentengi bangsa dari “serangan” ideologi transnasional yang membawa paham-paham kekerasan. Kearifan lokal di Indonesia diakui sebagai alat pemersatu bangsa kita yang majemuk.
Budaya yang Tertukar
Indonesia mempunyai sejarah sebagai bangsa yang disegani dan dikagumi oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Nilai-nilai luhur rakyatnya dan kearifan lokal masyarakatnya mampu menyatukan keanekaragaman budaya, tradisi, dan adat-istiadat dalam ikatan kebersamaan yang saling menghormati dan menghargai. Tak heran jika ada dua kerajaan besar yang pernah memiliki wilayah seluruh Asia Tenggara, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Lantas, apakah modal demografi bangsa Indonesia tersebut? Nilai asli Indonesia terbukti mampu mengakomodir semua kepentingan kelompok menjadi perpaduan yang serasi dan harmonis. Nilai-nilai kearifan lokal yang dapat membawa Indonesia ke puncak kejayaan, di antaranya semangat gotong royong, tolong-menolong, kemajemukan, dan budi pekerti.
Semangat gotong royong merupakan kearifan lokal bangsa Indonesia yang ada sejak nenek moyang kita. Sebagai contoh, apabila di suatu masyarakat di daerah pegunungan terjadi kerawan tanah longsor atau banjir, maka seluruh warga akan bekerja bersama-sama membuat terasering untuk menanggulangi bencana tersebut tanpa berharap upah atau imbalan. Semangat tolong-menolong dimunculkan ketika salah satu warga yang memiliki hajat. Seluruh warga tanpa dikomandoi akan menyumbangkan tenaga dan material guna menyelesaikan hajat orang tersebut. Jiwa kemajemukan sangat terlihat dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika dihadapkan pada pekerjaan bersama, tak seorang pun warga akan memandang latar belakang, suku, agama, ras atau golongan. Mereka meleburkan diri untuk memelihara keharmonisan umum. Sedangkan budi pekerti merupakan ajaran hidup yang diturunkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia agar selalu menghormati dan menghargai orang lain, serta memperlakukan orang lain seperti diri sendiri.
Nilai-nilai kearifan lokal merupakan sifat asli bangsa kita, namun telah diracuni dan dikaburkan oleh kekuatan asing. Budaya kebersamaan luntur oleh budaya pragmatis transaksional. Kerja bakti lingkungan yang dimaksudkan sebagai media komunikasi antar warga dan menimbulkan rasa ikut memiliki fasum/fasos, dianggap sebagai kegiatan formalitas yang dapat ditinggalkan dengan cara membayar sejumlah uang. Ruang publik sebagai tempat berkumpulnya warga tidak dijadikan prioritas dalam program pembangunan. Saling sapa antar warga menjadi hal yang aneh, bahkan antar tetangga pun tidak kenal satu dengan lainnya. Semangat kebersamaan luntur menjadi sikap individualistis dan apatis. Inilah budaya bangsa kita yang telah tertukar.
Maka agenda besar kita berikutnya adalah mengbalikan budaya-budaya bangsa yang didalamnya terkandung kearifan lokal. Bangsa ini harus menyadari betapa akar-akar budaya kita mulai lemah dan meranggas, Dengan demikian, agenda besar kita bersama adalah menghidupkan kembali pesan-pesan kearifan lokal yang biasanya tersaji dalam tradisi hidup sehari-hari, dalam mitologi, dalam sastra yang indah, dalam bentuk ritual ritual penghormatan leluhur atau upacara ada, dalam wujud nilai-nilai simbolik bentuk rumah, dalam bahasa dan seni budaya untuk selanjutnya dimanisfetasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kita sungguh percaya, ketika sumber-sumber kearifan lokal tersebut bisa hidup berkembang lagi, maka budaya dan karakter bangsa ini sebagai bangsa yang kuat dan tangguh akan kembali terlihat. Tercerabutnya nilai-nilai kearifan lokal di kalangan generasi muda yang terjadi hari ini sesungguhnya harus membuka mata kita akan pentingnya dihidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang ada di masyarakat. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut bisa dijadikan pegangan, tali pengikat, sebagai filter, di tengah ancaman kebersamaan, ancaman intoleransi, korupsi serta derasnya arus modernitas yang membawa anak muda kita ke dalam pilihan pragmatis, hedon dan profan.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: