Mengembalikan Fitrah dan Hak Anak

Oleh:
Teguh Wibowo
Anggota Forum Lingkar Pena Jawa Timur 

Anak adalah amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Untuk bisa merawat dan mendidik secara optimal, diperlukan kesiapan fisik, mental, ilmu, dan materi. Kata John Fitzgerald Kennedy (1917-1963), Presiden AS ke-35, “Anak adalah sumber daya paling bernilai di dunia dan dia adalah harapan terbaik untuk masa depan.”
Setiap anak punya hak dasar, yakni hak untuk hidup, hak tumbuh dan berkembang, hak perlindungan, dan hak partisipasi. Namun, masih banyak anak belum terpenuhi haknya, tergerus oleh berbagai problematika. Tidak setiap anak lahir dan tumbuh dalam kondisi terbaik. Ada yang hidup di daerah konflik, rawan kejahatan dan bencana, kesenjangan sosial, dan broken home.
Hari Perlindungan Anak-anak Sedunia adalah hari yang diperingati setiap tahun pada tanggal 1 Juni sejak tahun 1926. Tujuannya untuk menghormati dan meningkatkan upaya pemenuhan serta perlindungan hak-hak bagi seluruh anak di dunia. Selain itu, tanggal 20 November disepakati sebagai Hari Anak Universal, 23 Juli Hari Anak Nasional, dan 29 Mei Hari Keluarga.
Diyah Puspitarini, Ketua Umum Nasyiatul Aisyiyah, menyampaikan, “Hari anak nasional adalah pengingat untuk memerdekakan anak-anak Indonesia dari marginalisasi budaya, politik, ekonomi, dan persoalan bangsa yang lain. Kembalikan fitrah anak untuk disayangi dan diperhatikan tumbuh kembangnya, agar bisa menghadapi dunia global.”
Setiap warga negara, termasuk anak-anak berhak mendapat pendidikan yang layak. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Dengan pendidikan niscaya bisa mengubah nasib buruk bernama kebodohan dan kemiskinan.
Bekal Kekuatan Iman di Usia Dini
Mendidik anak hendaknya dimulai sejak masih dalam kandungan ibunya. Perilaku positif orangtua dapat menstimulus perkembangan janin. Pada usia dini, anak harus dikenalkan akidah dan adab, diberi ajaran agama, serta nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan. Tujuannya agar tumbuh menjadi manusia yang berakhlak baik dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mendidik di usia dini hasilnya akan lebih efektif daripada mendidik di usia remaja. Sebab, ketika anak sudah remaja, akan semakin banyak pengaruh dan godaan. Bekal keimanan, kepribadian, kecerdasan, keterampilan, semangat patriotisme dan nasionalisme, serta kesehatan jasmani, akan mengantarkan pada keberhasilan. Membentengi diri dari perbuatan negatif.
Pendidikan Masa Pubertas
Pubertas adalah masa akil balik, peralihan dari anak-anak menjadi manusia dewasa. Terjadi beberapa perubahan bentuk fisik dan psikis. Hal ini wajar dialami oleh semua laki-laki dan perempuan. Jadi, anak-anak tidak perlu bingung dan khawatir menghadapi masa pubertas. Orangtua ataupun guru penting memberi pengarahan.
Masa remaja adalah fase sulit dalam hidup ini, fase pencarian jati diri. Di masa pubertas anak, bimbingan dan kontrol orangtua perlu ditingkatkan. Bekali dengan iman yang kuat dan ilmu yang bermanfaat. Tantangan orangtua dalam mendidik anaknya bisa bertambah berat. Terlebih dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang pesat saat ini. Nyaris semua remaja di era ini semakin bebas mengakses apa saja yang menurut mereka menarik. Hal ini yang membuat mereka rentan berbuat negatif.
Memberi bimbingan pubertas sekiranya sangat penting. Misalnya, dalam buku “Happy Puberty” karya Dian K. dan Tethy Ezokanzo, dijelaskan seputar pendidikan seksual bagi remaja untuk dibaca kalangan umur 12 tahun atau lebih. Hal yang bisa dilakukan orangtua kepada anak di usia pubertas, bisa berupa pengarahan dan contoh yang baik. Apa makna pubertas itu, bagaimana bertanggung jawab pada diri sendiri, bagaimana bertindak yang benar, bagaimana beribadah dan menjaga amalan, serta bagaimana menjaga jarak dan menundukkan hawa nafsu terhadap lawan jenis.
Di masa pubertas, biasanya muncul perasaan jatuh cinta kepada lawan jenis. Hal ini bersifat alamiah karena hormon dalam tubuh sedang bekerja aktif. Namun, cinta yang sedang tumbuh jika salah merawatnya hanya akan berujung penyesalan. Jangan sampai anak-anak diizinkan berpacaran. Pacaran adalah suatu perbuatan tercela dan berisiko. Tidak ada tujuan dan manfaatnya.
Rasa ingin tahu bagi anak dan remaja juga begitu besar, termasuk menjamah konten pornografi. Padahal pornografi sangat berbahaya, bisa merusak otak. Dian K. dan Tethy Ezokanzo (2018: 34) menulis, orang yang sudah terpapar pornografi dan kecanduan, perilakunya akan berubah dan cenderung menutup diri. Donald L. Hilton Jr, MD dari rumah sakit San Antonio, AS, mengatakan, kecanduan pornografi menyebabkan bagian otak tengah depan yang disebut Ventral Tegmental Area (VTA) akan menyusut.
Pacaran dapat menularkan banyak penyakit, seperti flu, penyakit kulit, herpes, hepatitis (radang hati), AIDS, dan glandular fever (demam kelenjar). Ketika masih masa sekolah jangan terobsesi menikah. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merilis usia ideal menikah, bagi perempuan umur 20-21tahun dan laki-laki 25 tahun. Menikah dini pada perempuan akan berisiko saat hamil dan melahirkan.
Aak-anak dan remaja harus memanfaatkan masa mudanya secara bijak. Salurkan kegiatan positif seperti rajin belajar dan beribadah, mengembangkan hobi, berolahraga, berkegiatan sosial, dan membantu pekerjaan orangtua.
Keluarga dan Masyarakat sebagai Ekosistem Anak
Keluarga adalah unit terkecil dalam tumbuh kembang anak, dan lingkungan masyarakat sebagai interaksi sosial. Ekosistem di mana anak-anak belajar, bermain, membangun karakter, dan mengembangkan kreativitasnya. Jika anak-anak melakukan kesalahan, sebaiknya dinasihati, ditegur, dan diarahkan. Meraka masih labil, jadi membutuhkan simpati. Keluarga dan masyarakat hendaknya bisa membaur dan memberi perhatian. Mencurahkan kasih sayang, mengayomi, dan memaafkan.
Aa’ Gym berujar, “Seandainya orang-orang dewasa seperti kita mau membuka diri untuk belajar kepada anak-anak tentang makna memaafkan, barangkali di dunia ini tidak akan ada yang namanya peperangan, saling bermusuhan, bahkan menyimpan perasaan dendam. Belajar memaafkan kadang bukan hal mudah yang bisa dengan enteng kita lakukan. Namun, dengan hati lapang dan penuh ketulusan untuk memaafkan setiap kesalahan yang diperbuat orang lain kepada kita, itulah hal mendasar yang akan membuat kita lebih dewasa dalam memahami karakter setiap orang ketika beriteraksi. Siapa yang mudah memaafkan akan mudah dimaafkan.”
Mendidik Anak dengan Sepenuh Cinta
Bunda Novi dalam bukunya yang berjudul “Cinta Semanis Kopi Sepahit Susu” (2017: 113) menulis: “Ketika membandingan anak didik dan guru di zaman dulu, juga perlu melihat zaman sekarang. Dulu, bicara guru tergambar sosok sederhana, taat beribadah, jarang berkeluh kesah, lebih sabar dalam mendidik. Guru zaman dulu bangun pagi pukul tiga, salat tahajud, dan tidak lupa mendoakan muridnya satu per satu. Guru sekarang, bangun pagi melewati azan Subuh, tak sempat salat tahajud, tak sempat mendoakan anak didiknya.”
Sebagai orangtua, harus bersikap objektif terhadap permasalahan anak di sekolah. Ketika orangtua hanya menyalahkan pihak sekolah tanpa mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih bijak dalam menyikapi segala tingkah laku di sekolah, rasanya kurang adil. Bunda Novi menambahkan, “Seorang guru harus memiliki ‘kekayaan’ dengan standar minimal, yaitu harus kaya ilmu, kaya hati, kaya kreativitas, kaya nasihat, dan kaya doa.”
“Didik anak-anak Indonesia dengan cinta dan keteladanan. Insyaallah, menjadi generasi yang berkarakter, unggul, dan berkemajuan. Itulah anak-anak Indonesia masa depan,” pesan Siti Noordjannah Djohantini, Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah.
Seluruh elemen bangsa, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah hendaknya saling bersinergi dalam upaya menjamin hak-hak dasar anak. Serta bersinergi dalam membangun dan menyiapkan generasi penerus bangsa yang berkualitas. Saatnya mengembalikan fitrah dan hak anak.

———– *** ————

 

 

 

Rate this article!
Tags: