Mengembalikan Fungsi Pendidikan

Oleh :
Nur Kholis Huda, M.Pd.
Guru SDN Jetis III Lamongan

Proses mencerdaskan kehidupan bangsa ditempuh melalui proses pendidikan. Paling tidak, bangsa Indonesia sudah mempunyai modal awal dalam proses menerapkan pendidikan. Hal ini sudah dipelopori oleh pendahulu kita, Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara. Tuhan menciptakan manusia dengan menganugerahkan daya cipta, rasa, dan karsa, sehingga Ki Hajar Dewantara dengan semboyan “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”, menganggap bahwa seorang pendidik harus melihat manusia pada sisi kehidupan psikologiknya. Pendidikan lebih sebagai proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat, yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta mengembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup manusia.
Pendidikan mempunyai peran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan pendidikan, kita bisa lebih memanusiakan manusia, menjunjung harkat dan martabat, serta memahami makna kebhinekaan dalam berbangsa dan bernegara dalam proses menjadi bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, seperti apa yang dicita-citakan bangsa Indonesia.
Meski, dalam perjalanan sistem pendidikan kita, terjadi pasang surut, berubah-ubah, yang akhirnya menyebabkan pergeseran fungsi dari pendidikan tersebut. Kita sering tergiur dengan kesuksesan pendidikan negara lain, tanpa menganalisa faktor-faktor penyebab dan faktor-faktor pendukung. Kita juga sering “latah” untuk ikut-ikutan mencoba kurikulum pendidikan negara lain, tanpa kita bandingkan dengan kemampuan dan kebudayaan masyarakat kita sendiri. Suatu contoh; kita pernah berorientasi pada prestasi akademik dengan mengeksploitasi kemampuan siswa dengan men-drill materi, tapi akhirnya kita merasa rugi, merasa “kecolongan” dengan merosotnya budaya santun, bentuk karakter bangsa yang menjadi ciri khas bangsa timur. Kita berhasil mencetak generasi-generasi pandai tapi bukan generasi-generasi berbudi luhur. Akibatnya, kepandaian hanya dijadikan alat untuk menipu, memanipulasi, membodohi, bahkan mencuri aset-aset negara.
Permasalahan ini terbukti mengubah fungsi pendidikan dari mendidik menjadi sekadar memberikan pengajaran, memang cukup meresahkan. Hal ini juga berdampak pada peran guru, yang semula bertugas mendidik menjadi sekadar mentransfer ilmu tanpa memberikan keteladanan norma-norma budaya yang diharapkan. Lantas siapa yang patut bertanggungjawab?
Kita tidak perlu memperdebatkan siapa yang salah atau siapa yang bertanggungjawab, karena hal ini akan menjadi “debat kusir” yang panjang dan melelahkan. Pendidikan komprehensif yang kita harapkan dapat merealisasikan cita-cita bangsa Indonesia itu sendiri, menjadi tanggung jawab kita bersama.
Sekarang kita mulai berpikir kembali, bagaimana pendidikan di Indonesia bisa membangkitkan karakter-karakter luhur yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Mulai dari menggairahkan kembali pendidikan karakter, menerapkan kurikulum 2013 yang memberikan kebebasan pada siswa untuk mengembangkan kompetensi sesuai apa yang dimiliki siswa, hingga menggiatkan gerakan literasi. Namun, perlu kita ingat, jika dalam penerapan pendidikan hanya setengah-setengah dan seadanya, maka jangan berharap pendidikan kita akan mengalami perubahan yang signifikan. Justru pendidikan kita akan terlihat jalan di tempat, tetapi menghabiskan banyak biaya yang sia-sia.
Kesadaran Orang Tua
Orang tua pada umumnya belum memahami secara penuh makna dari pendidikan, khususnya terhadap anak-anak mereka. Kecenderungan orang tua adalah menuntut anak, suatu misal menuntut untuk mendapatkan nilai baik. Hal ini sama halnya membelenggu kemerdekaan anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai bakat dan kemampuan mereka masing-masing.
Padahal jika kita mengingat apa yang disampaikan Albert Einstein, bahwa “Semua anak adalah spesial, sesuai dengan bakat masing-masing”, maka dalam permasalahan ini, orang tua tidak memercayai bakat anak. Mereka justru cenderung memaksakan apa yang baik menurut mereka, bukan baik menurut kemampuan anak.
Selain itu, orang tua masa kini, lebih memilih hal-hal yang praktis dibandingkan proses yang rumit. Entah karena pengaruh kemajuan teknologi, atau karena sebuatan “mama muda” yang minim pengalaman dalam membimbing anak. Mereka ingin anak-anaknya tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang baik, sedangkan mereka tidak mempunyai itikad menjadi orang tua yang baik. Maka, dalam mewujudkan pendidikan yang komprehensif, keluarga mempunyai peranan penting. Tidak hanya orang tua, tetapi harus diidukung oleh seluruh anggota keluarga, termasuk saudara, kakek, nenek, dan lainnya.
Peran Sekolah dalam Penguatan Pendidikan Karakter
Jika kita menghitung lama waktu dalam sehari secara normal, maka selain di rumah, aktivitas kedua seorang anak adalah di sekolah. Kini, bisa jadi sekolah adalah tempat terlama seorang anak harus menghabiskan detik-detik waktu kehidupannya, mereka harus menempuh kegiatan belajar di sebuah tempat yang namanya sekolah. Apalagi, akhir-akhir ini banyak bermunculan sekolah-sekolah yang menerapkan “Full Day School”, hal ini berarti peranan sekolah sangat besar.
Peranan penting yang memegang kendali di sekolah yaitu guru. Sangat disayangkan, jika kebanyakan guru di Indonesia hanya sebagai robot dan instrumen dari target unggulan yang keliru memahami manusia. Padahal peran guru sesungguhnya sangat strategis untuk menyiapkan aset masa depan Indonesia.
Sering kita jumpai, orang tua mengeluh karena anaknya tidak mau menurut apa yang dikatakan orang tua, akhirnya mereka meminta bantuan kepada guru karena anak-anak mereka hanya nurut kepada guru. Disini berarti guru ibarat malaikat yang patut ditiru oleh peserta didik di sekolah. Jika demikian, sudah selayaknya seorang guru mampu memberikan keteladanan kepada peserta didiknya. Paling tidak, mampu mengendalikan sikap ketika berada di sekolah.
Dengan keteladanan guru, maka akan berimbas kepada sikap seluruh warga sekolah, termasuk lingkungan sekolah. Sehingga penguatan pendidikan karakter yang diperankan oleh sekolah dalam mengembalikan fungsi pendidikan bisa tercapai.

                                                                                                          ———– *** ————

Rate this article!
Tags: