Mengembalikan Marwah Guru

Moh Mahrus HasanO)leh :
Moh. Mahrus Hasan:
Waka Humas MTsN 2 Bondowoso; Santri Tetap PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo

Dulu, guru mempunyai kedudukan istimewa di masyarakat. Dawuhnya ditaati, pendapatnya didengar, dan perilakunya ditiru. Tetapi akhir-akhir ini sepertinya mulai memudar. Setidaknya, ada beberapa penyebab memudarnya marwah guru itu, yaitu:   Pertama, pola hubungan antara wali siswa dengan guruyang transaksional, bukan mitra dan partisipatif. Disangkanya dengan membayar sekian dana-daripribadi atau negara-wali siswaberkuasa memesan produk pendidikan (anak didik) sesuai selera mereka yang rigid.  Persis seperti dua orang yang bertransaksi jual beli.
Kondisi ini diperparah dengan adanyaanggapan di masyarakat bahwa sekolahlah yang membutuhkan anak didik.Karena jika jumlah siswa tidak memenuhi standar, maka sebuah sekolah akan digabung (regrouping)dengan sekolah lain. Regroupingini pasti menimbulkan korban, sepertiseorang atau beberapa guru yang tidak akan mendapatkan Tunjangan Profesi Guru (sertifikasi) karenajam mengajarnyakurang dari24 jam per-minggu akibat over kapasitas.
Maka, tidak mengherankan apabila di awal tahun pelajaran,semakin marak dan gencarnyasekolah-terutama sekolah pinggiran dan swasta-mencari(lebih tepatnya membeli) calon siswa barudengan beragam modus: Dihargai Rp. 50.000 per-kepala dan diberikan seragam, buku serta peralatan sekolah secara gratis,misalnya.Atau dengan tawar-menawar dengan “harga jual” yang membuat para wali calon siswa dan-maaf-para makelarnya itu leluasa menantang, “Wani piro?” Anak-anak sudah dijadikan “barang dagangan” yang berakibat pada rendahnya marwah guru (sekolah) di mata masyarakat.
Kedua, UUHAM dan UU Perlindungan Anak bisa menjadi bumerang jika penerapannyatidak arif dan bijaksana. Ada fenomena di suatu daerah, guru-guru terkesan membiarkan siswanya. Mereka hanya masuk kelas, mengabsen dan mengajar. Selesai. Bukannya tidak mau mendidik siswanya untuk lebih baik, tetapi mereka takut dilaporkan wali siswa ke polisi sebagaimana teman-teman mereka alami. Jika demikian, siapa yang dirugikan? Jelas siswa,wali siswa dan masyarakat.
Dulu, saat anak mengadu karena dihukum ringan oleh guru, walinya pasti membela guru, bahkan akan menambah hukuman bagi anaknya. Mereka sadar bahwa guru melakukan tindakan hukumanitu demi memotivasi anak didiknya agar lebih baik dalam belajar dan akhlak perilakunya.
Bandingkan dengan realitas akhir-akhir ini.Tahukah para pembaca bahwa ada guru yang digunduli oleh wali siswa gara-gara memotong rambut anak didiknya demi kerapian, bahkan ada yang mendekamdi tahanan? Pernahkah Anda membaca berita seorang guru olahraga yang ditahan kepolisian karena dikabarkan mencubit siswanya? Dan pasti masih banyak lagi kasus-kasus serupa yang menimpa seorang guru. Tentunya kita tidak ingin “Orang tua yang anaknya tidak mau ditegur guru di sekolah, silahkan didik sendiri, bikin kelas sendiri, bikin rapor dan ijazah sendiri” benar-benar terjadi.
Ketiga, kontrol hukum dan pelaksanaannya yang tidak berimbang. Agaknya, jikaada indikasi pelanggaran terhadap HAM danperlindungan anak, maka banyak pihak yang akan membela.Tetapi, adakah yang akan melindungi guru yang terpaksa bertindak kasar-tanpa melukai-untukkebaikan anak didiknya?
Maka, tidak berlebihan kiranya jika PGRI Jawa Timur menuntut adanya Undang-Undang Perlindungan Profesi Guru (UU PPG). Tujuannya, jika ada persoalan di sekolah dapat diselesaikan lebih dulu di tingkat sekolah atau dewan guru. Tuntutan ini sebenarnya sudah lama diajukan berkali-kali ke pemerintah, tetapi belum direspon. (Harian Bhirawa, 1/7/2016)
Tuntutan serupa dari tingkat kabupaten-PGRIBondowoso misalnya-jugasudah disuarakan.Tuntutan ini merupakan salah satu jawaban atas keprihatinan berbagai persoalan yang menimpa guru di berbagai daerah. Harapannya, jangan sampai ada guru yang karena masalah sepele, mereka dipidanakan.  Diharapkan dengan UU PPG ini, ada peraturan yang membentengi profesi guru dalam mendidik siswa-siswinya. (Jawa Pos Radar Ijen, 21/5/2016).
Sebenarnya perlindungan hukum bagi guru sudah ada, yakni PP. No. 74 Tahun 2008 tentang Guru. Di pasal 39 ayat 1, misalnya, dijelaskan tentang kebebasan guru untuk memberikan sanksi kepada peserta didik karena melanggar norma agama, kesusilaan, kesopanan, peraturan tidak atau tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.
Mengenai sanksi kepada peserta didik, dalam ayat 2 di pasal 39 itu disebutkan bahwa sanksi itu bisa berupa teguran dan atau peringatan yang tidak atau tertulis, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugasnya dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing. (pasal 40). Dengan demikian, guru mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain. (Pasal 41).
Seharusnyalah, PP. No. 74 Tahun 2008 tentang Guru ini diindahkan oleh siswa, wali siswa, penggiat perlindungan HAM dan Perlindungan Perempuan dan Anak,  kepolisian, kejaksaan, pengadilan, media massa, para steakholderkependidikanserta masyarakat.
Dan keempat,guruPNS (ASN)sebagai abdi negara bisa saja di-salah tafsir-kan. Jika pemahaman wali siswatentang hal ini tidak holistik dan komprehensif,  maka jangan-jangan ada anggapan bahwa para guru itu adalah abdi dalam arti budak, buruh, dan pembantu, yang boleh diperlakukan dan dituntut kerja se-enak udhel dan se-mau gue. Terlebih ketika anaknya-yangdalam pandangan wali siswa itu sebagai anak majikan-diperlakukansedikit kasar dalam rangka pembinaan, mereka memprotes dan mengadukan guru ke kepolisian.
Jika demikian, sudah semestinya perlindungan hukum terhadap HAM, anak dan guru sama-sama ditegakkan, serta  ada kesepahaman antara guru,  walisiswa, dan masyarakat. Sebab, jika salah satunya bermasalah pasti proses pendidikan anak berjalan pincang dan tertatih-tatih. Jadikanlah guru bermartabat, wali siswa terhormat dan masyarakat berharkat. Semoga berkah!

                                                                                                            ———– *** ————

Rate this article!
Mengembalikan Marwah Guru,5 / 5 ( 1votes )
Tags: