Mengembangkan Ide Kreatif di Media Guru

Eko PrasetyoOleh :
Eko Prasetyo
Pegiat literasi di Ikatan Guru Indonesia

Peningkatan karya tulis guru -baik ilmiah maupun nonilmiah- menjadi salah satu perhatian pemerintah di bidang pendidikan. Di sisi lain, hal ini juga menjadi tugas besar bersama. Sebab, melalui peningkatan karya tulis tersebut, diharapkan lahir kreavitas-kreativitas serta inovasi baru di dunia edukasi yang bisa memberikan maslahat besar kepada masyarakat. Karena itu, dibutuhkan wadah untuk menampung ide-ide kreatif guru tersebut.
Best Practices
Memang selama ini sudah banyak media yang menampung aspirasi dan opini para pendidik. Akan tetapi, harus dipahami pula bahwa kuantitas media yang ada tersebut belum mampu memfasilitasi secara keseluruhan naskah-naskah yang masuk. Ada proses seleksi ketat yang memungkinkan sebuah tulisan guru tidak bisa terpublikasi di media bersangkutan.
Sementara itu, tidak banyak pula ruang aspirasi guru melalui rubrik opini semisal di majalah pendidikan atau surat kabar. “Kesulitan” yang hampir serupa terjadi di jurnal-jurnal terakreditasi yang kredibel. Oleh sebab itu, keberadaan media-media baru yang dapat menampung suara-suara dan pemikiran para pendidik tersebut menjadi penting dan amat dibutuhkan.
Tantangan lain yang tidak kalah besar sebenarnya ialah jumlah guru yang menulis tidak sebandingkan dengan angka guru lain yang tidak menulis. Meminjam istilah pegiat literasi Agus M. Irkham, masih banyak guru yang lumpuh menulis. Menurut Agus, penyebab lumpuhnya guru menulis adalah justru kelewat dekatnya mereka dengan aktivitas menulis (dalam arti sempit). Menulis dipahami sebagai sesuatu yang alamiah belaka. Sudah tradisi dalam pengertian negatif hingga dianggap sudah selesai. Menulis, ya, menulis pelajaran. Titik. Dunia kata tidak dianggap sebagai pengetahuan sehingga pengkajian terhadap perkembangan yang menyertainya pun -semacam spiritual reading, quantum writing, dan speed reading- dirasa tidak perlu (2012: 420).
Tak bisa dimungkiri, tembok terjal yang menjadi tantangan besar di dunia literasi guru itu adalah plagiasi. Hal ini umumnya terjadi pada karya tulis ilmiah (KTI). Kendatipun tata cara dan aturan main tentang penulisan KTI ini sudah jelas, toh masih ada saja oknum pendidik yang memilih jalan pintas bernama gunting salin (copy paste) dan plagiat.
Apabila ditarik lebih jauh, penyebabnya bisa bermacam-macam. Di antaranya, rendahnya budaya menulis ilmiah di kalangan guru, malas sehingga memilih jalan pintas tadi, kurangnya budaya membaca, dan minimnya budaya riset. Padahal, semua itu semestinya melekat dan menjadi menu sehari-hari para guru. Jika menulis KTI hanya dianggap sebagai pemenuhan syarat kenaikan pangkat dan tunjangan, maka fenomena seperti contoh di atas sangat mungkin terjadi.
Karena itu, sudah saatnya para pendidik di Indonesia mempunyai kesadaran bahwa budaya literasi membaca dan menulis itu menjadi kebutuhan primer mereka. Praktik-praktik pembelajaran selama mengajar di kelas (best practices) sejatinya merupakan ide melimpah yang bisa dituliskan sehingga mampu membawa manfaatk untuk diri sendiri, siswa, maupun pembaca lainnya.
Inovasi dan ide-ide segar itu penting untuk ditulis agar “usia” pemikiran kreatif itu “abadi”. Belum lagi jika satu tulisan best practices guru dibaca oleh ratusan atau bahkan ribuan orang, maka sebanyak itu pula inspirasi tersebut memberikan semangat baru serta pencerahan. Inilah manfaat-manfaat yang diperoleh melalui kegiatan menulis para guru.
Bukankah tidak mudah membuat karya tulis ilmiah seperti penelitian tindakan kelas (PTK)? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus menyepakati dan mencapai satu kata bahwa aktivitas menulis itu bukanlah sebuah bakat, melainkan keterampilan. Karena merupakan keterampilan, maka kegiatan tulis-menulis dapat dilatih secara terus-menerus untuk meningkatkan kualitas tulisan dari sisi pengamatan peristiwa, analisis, kritik, dan penyampaian solusi. Di sini seorang guru yang masih awam menulis bisa melatih membuat artikel populer yang disampaikan dengan gaya bahasa bercerita. Media sosial (medsos) seperti Facebook dan blog dapat menjadi salah satu wahana berlatih menulis. Terjadinya interaksi merupakan kelebihan tersendiri dari medsos dan blog sehingga kita dapat mengetahui apa saja kekurangan dari masukan-masukan atau kritik yang diberikan pembaca.
Tahap selanjutnya baru melatih membuat karya tulis ilmiah tentang best practices di media massa, jurnal, dan media-media pendidikan yang ada. Yang menggembirakan, saat ini semakin banyak media pendidikan untuk menampung aspirasi dan gagasan kreatif para guru. Di antara media-media tersebut, ada yang diterbitkan secara rutin oleh LPMP, MGMP (musyawarah guru mata pelajaran), organisasi profesi keguruan, perguruan tinggi, dan elemen masyarakat pemerhati pendidikan.
Keberadaan media guru ini seyogianya dapat dimanfaatkan secara optimal oleh para pendidik tidak hanya untuk meningkatkan keterampilan menulisnya, tetapi juga membagikan inovasi dan kreativitas. Dengan demikian, semakin banyak inspirasi yang bisa diperoleh oleh para pembacanya. Yang paling penting, tradisi literasi menulis di kalangan guru ini dapat terus dijaga dan dikembangkan.

                                                                                                         ———– *** ————

Tags: