Mengenal Kembali Tradisi Jawa

Judul  : Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa
Penulis  : Gesta Bayuadhy
Penerbit  : Dipta
Cetakan  : I, 2015
Tebal  : 208 Halaman
ISBN  : 978-602-7695-81-8
Peresensi  : Anton Prasetyo
Alumnus UIN Yogyakarta

Saat ini, masyarakat Jawa tersebar di seluruh Nusantara, bahkan beberapa di antaranya telah menghuni berbagai penjuru dunia. Di mana pun keberadaannya, masyarakat Jawa tidak bisa lepas dari budaya dan tradisi-tradisi peninggalan para leluhur. Sebab, budaya dan tradisi tersebut telah menyatu dengan jiwa dan perilaku masyarakat Jawa.
Banyak sekali tradisi yang diwariskan leluhur Jawa secara turun temurun. Semua tradisi tersebut tidak bisa lepas dari laku (tata cara) dan petung (perhitungan) yang rinci. Berbagai macam ritual, prosesi, ataupun upacara tradisional Jawa ini bertujuan agar mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun alam kelanggengan (alam kebahagiaan).
Dari banyaknya ritual atau upacara dalam tradisi Jawa terseut, sebagian besar selalu diikuti (dilengkapi) dengan sebuah acara yang disebut kenduri. Nah, buku ini akan mengenalkan kepada Anda mengenai beberapa tradisi tersebut dalam 29 bab yang tersaji secara jelas, mulia dari kenduri itu sendiri, bersih desa, tolak bala, ruwatan, hingga pengasihan (halaman 5).
Kenduri merupakan adat masyarakat Jawa yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hajat tertentu dengan mengundang warga sekitaruntuk ikut mendoakan keselamatan dan kebahagiaannya. Kenduri sering disebut juga dengan kenduren, kondangan, dan selamatan. Pada hakikatnya, tujuan orang Jawa melakukan hajat kenduri adalah meminta doa dari tetangga atau kerabat agar apa yang diinginkan tercapai, selamat, serta bahagia selama hidup di dunia dan akhirat.
Biasanya, warga yang diundang kenduri adalah laki-laki yang telah berkeluarga atau kepala keluarga (halaman 13). Pada saat pulang, orang-orang yang kenduri mendapatkan berkat dari yang punya hajat. Berkat terdiri dari nasi, lauk, dan sayur dalam satu wadah. Jika salah satu warga yang diundang tidak datang karena memiliki keperluan lain yang sama-sama penting, biasanya berkat-nya digandulke (dititipkan tetangga terdekat) atau bisa diantar langsung oleh orang yang punya hajat kenduri (halaman 14). Hal ini menunjukkan bahwa orang yang mempunyai hajat kenduri tersebut nguwongke (menghargai) orang yang telah diundang.
Bersih desa merupakan upacara tradisional adat Jawa yang dilaksakan satu kali dalam setahun. Pada awalnya, upacara bersih desa dilaksanakan oleh masyarakat petani secara serentak setelah panen. Dalam perkembangannya, pelaksanaan bersih desa tidak selalu setelah panen padi. Sebab, pola dan cara penanaman padi zaman dulu dengan era sekarang sudah berbeda. Selain itu, waktu tanam antara daerah satu dengan yang lain terkadang berbeda.
Upacara bersih desa merupakan upacara yang dilaksanakan untuk melakukan pembersihan atau penyucian (halaman 86). Sebelum upacara ini dilakukan, kegiatan bersih-bersih dilingkungan dilakukan secara bersama-sama (gotong royong). Beberapa tempat yang dibersihkan di antaranya adalah tempat ibadah, makam, jalan, dan sarana umum lainnnya. Dengan begitu, kegiatan ini memiliki semangat kerja sama juga kebersihan atau kerapian.
Tolak bala merupakan upaya masyarakat Jawa untuk memagari diri, keluarga, rumah, dan lingkungan yang lebih luas dari segala bentuk bahaya yang dapat mencelakakan melalui doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan, dari sisi tradisi dan budaya yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang, tolak bala dilakukan dengan menggunakan ritual-ritual yang terkesan rumit dan bertele-tele.
Hampir semua upacara dalam tradisi Jawa selalu ditambahkan dengan perlengkapan dan doa tolak bala (halaman 91-92). Beberapa ritual tolak bala yang ada di tanah Jawa di antaranya adalah selametan, sajen, mitoni (tujuh bulanan) wanita hamil, dan lain sebagainya.
Ruwatan atau meruwat merupakan upaya untuk membebaskan seseorang yang dipercaya akan mengalami nasib buruk. Jika tidak diruwat maka ia akan mengalami nasib buruk selama hidupnya (halaman 104). Beberapa orang yang mesti diruwat adalah pendawa lima (lima bersaudara yang keseluruhannya berjenis kelamin laki-laki), panca gati (lima bersaudara yang keseluruhannya berjenis kelamin perempuan), ting-ting kebanting (satu anak laki-laki), ontang-anting (satu anak perempuan), dan lain-lain.
Apapun jenisnya, ruwatan bertujuan untuk membebaskan orang sukerta dari bencana yang membayangi hidupnya. Menurut masyarakat Jawa, jika orang sukerta tidak segera diruwat, ia akan menemui kesialan di sepanjang hidupnya. Hal seperti ini tidak perlu diperdebatkan kebenarannya karena menyangkut keyakinan. Keyakinan bahwa sesuatu yang buruk akan menimpa orang sukerta ini sudah mendarah daging di dalam masyarakat Jawa selama ratusan sampai ribuan tahun (halaman 109).
Sementara, pengasihan adalah semacam ilmu kebatinan yang diterapkan untuk memikat orang lain (halaman 181). Ilmu ini dipercaya sebagai cara untuk menarik lawan jenis agar terpikat pada dirinya dan dinikahi. Selain itu, pengasihan juga digunakan untuk keperluan karier. Dengan adanya pengasihan, seseorang dapat memesona orang lain. Pun begitu, ilmu pengasihan dan ruwatan, oleh sebagian pihak, sering kali dianggap tidak sesuai dengan tuntunan.
Buku ini juga mengungkap tradisi-tradisi adiluhung para leluhur Jawa lainnya. Para pembaca tidak hanya mendapat informasi dari rangkain kata-kata yang diracik oleh sang penulis, namun juga akan dapat memetik nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Selamat membaca!

                                                                                                ———————– *** ———————–

Rate this article!
Tags: