Mengenang (tahun) 2016

tahun-baruTahun 2016 telah berlalu. Berbagai tragedi kepedihan akan segera berlalu. Sekaligus wajib menjadi “guru” paling berharga, menuntut respons lebih baik (dan tepat). Masih banyak tragedi bencana alam (lingkungan) memerlukan antisipasi berkelanjutan. Juga masih banyak “bencana” sosial menuntut kinerja pemerintah, agar makin sigap. Sambil tetap berharap, bahwa pemerintah (dan daerah) lebih cerdas mengelola kebijakan.
Awal tahun 2016, dibuka dengan “bencana” sosial, berupa ajaran sesat yang diproklamirkan oleh Ahmad Musadeq. Walau dengan intelektualitas yang rendah, Musadeq dapat kembali menyebarkan ajarannya, Islam Al-Qiyadah. Pada tahun 2007, ajaran itu sudah dinyatakan sesat (oleh MUI). Setelah menjalani hukuman, penyakitnya kambuh, dan ingin membentuk komunitas “negara” fajar nusantara. Pemerintah bersusah payah mengembalikan pengikut gafara (gerakan fajar nusantara) ke daerah asal, di seantero pulau Jawa.
Kekonyolan “bencana sosial” yang melibatkan ribuan korban, di-catat-kan oleh Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Pria ini, meng-upload (di youtube) kemampuan palsu mengeluarkan uang dari jubahnya, sampai ratusan juta rupiah. Ia menggelari dirinya sebagai Sri Raja Prabu Rajasa Nagara. Mengeruk setoran uang (sampai trilyunan rupiah) dari 24 ribu pengikutnya se-Indonesia. Banyak pejabat tinggi, intelektual dan pengusaha kepincut.
Tetapi “bencana” aliran sesat yang paling berbahaya, adalah radikalisme. Kelompok ISIS (Islamic State in Iraq and Syria) ternyata telah menggurita. Termasuk kelompok terpidana terorisme banyak yang berbaiat kepada ISIS. Konon, “khilafah” di Indonesia, sedang diperebutkan oleh alumni perang Afghanistan dan Poso. Diantaranya (paling berkibar), adalah kelompok yang direkrut Bahrun Naim, pemuda asal Pekalongan (Jawa Tengah).
Kelompok ini mengawali “konser” (peledakan bom) di perkantoran kawasan MH Thamrin, Jakarta, pertengahan Januari 2016. Berturut-turut “unjuk gigi” dengan bom bunuh diri di area kepolisian serta teror di gereja. Walau tidak cukup kekuatan (kombatan), kelompok Bahrun juga bertekad menyasar lokasi vital strategis. Diantaranya, istana negara (Jakarta), dan bendungan Jatiluhur di Purwakarta. Hanya dalam dua pekan, Densus 88 anti-teror, telah menciduk sebelas anak-buah Bahrun. Dua calon “pengantin” bom bunuh diri telah ditembak mati.
Namun “bencana” sosial terorisme, pernah pula dirancang dan dilaksanakan terang-terangan. Yakni, pembakaran mushala Baitul Muttaqin di distrik Karubaga, kabupaten Tolikara, persis menjelang shalat hari raya Idul Fitri. Itu nyata-nyata tindakan terorisme. Bukan sekadar SARA “biasa,” melainkan upaya sistemik. Indikasinya adalah, dipilih waktu pelaksanaan aksi teror pada hari paling dikeramatkan umat Islam.
Tetapi “bencana” sosial yang paling menyayat hati, adalah kekerasan terhadap anak (perempuan). Seluruh dunia tersentak oleh berita perkosaan begilir (14 pemuda) sekaligus pembunuhan di Rejanglebong (Bengkulu). Korbannya gadis remaja. Sedangkan pelakunya remaja pria, salahsatunya masih berusia 15 tahun. Hukuman wajib berlapis. Selain maksimal, akan ditambah dengan tambahan hukuman suntik kebiri).
Tahun 2016, bagai bertabur bencana sosial dan alam. Bencana alam, diantaranya, gempa 6,5 SR mengguncang kabupaten Pidie Jaya, Aceh (pekan awal Desember 2016). Korban jiwa sebanyak 104 orang. Bahkan fenomena alam rutin, hujan, kini bagai bukan berkah. BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mencatat, setidaknya terdapat 315 kabupaten dan kota berada di daerah bahaya. Dampak banjir (tingkat sedang dan parah) selalu mengintai pada musim hujan.
Ini meng-akibatkan sekitar 63,7 juta jiwa penduduk berisiko terpapar dampak banjir. Berdasar mapping kebencanaan, tanah longsor juga mengancam 274 kabupaten. Sebanyak 40 juta lebih penduduk berisiko terpapar dampak longsor. Darurat banjir, tak cukup hanya dengan dana on-call via BNPB (dan BPBD). Melainkan juga wajib menegakkan peraturan tata-ruang, serta pelatihan kepada masyarakat untuk tanggap kebencanaan.
———– 000 ————-

Rate this article!
Mengenang (tahun) 2016,5 / 5 ( 1votes )
Tags: