Mengendalikan Rantai Suplai Sembako

Ke-ekonomi-an Harga Minyak Goreng Dalam Negeri

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

Lebih sebulan pemerintah menetapkan HET (Harga Eceran Tertinggi) minyak goreng dengan subsidi. Tetapi harga migor (minyak goreng) tetap tinggi, sekaligus tetap langka di pasar tradisional. Antrean Panjang ibu-ibu menjadi pemandangan rutin di setiap daerah yang menyelenggarakan operasi pasar migor. Pemerintah belum piawai menggunakan “rem dan gas” mengendalikan pasokan. Masih gamang dengan tambahan pungutan ekspor yang makin menguntungkan.

Pemerintah bisa menangguk tambahan keuntungan besar dari ekspor CPO (Crude Palm Oil). Bursa CPO pasar global di Rotterdam, pada bulan Maret 2022 diperkiarakan mencapai US$ 1.685,- per-metrik ton. Patokan pungutan ekspor pada nominal US$ 750 per-metrik ton, pungutannya sebesar US$ 55,-. Lalu, setiap kenaikan sebesar US$ 50 per- metrik ton, maka tarif pungutan bertambah sebesar US$ 20,- untuk CPO, dan US$ 16,- untuk turunan CPO.

Mudahnya, tambahan pungutan yang diterima pemerintah untuk CPO sebesar 40% kenaikan. Hingga kini kenaikan harga sudah mencapai sekitar US$ 900,-. Sehingga bisa diancar-ancar, tambahan yang diterima pemerintah bisa mencapai US$ 360,- per-metrik ton. Selama satu bulan Januari 2022 saja, volume ekspor CPO mencapai 1,608 juta ton. Kira-kira bisa diperoleh tambahan pungutan ekspor sebesar US$ 6,432 juta (setara Rp 92 milyar, dengan kurs Rp 14.300,- per-US$).

Tambahan pungutan ekspor berlaku sejak Juli 2021, berdasar Permendag. Ditetapkan berdasarkan harga referensi Kementerian Perdagangan dengan cut off perhitungan pungutan tarif sesuai tanggal penerbitan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Pengenaan tarif baru tersebut mulai berlaku 7 hari setelah diundangkan pada 25 Juni 2021. Harga CPO yang bagus, Indonesia, dan Malaysia diperkirakan akan meningkatkan produksi. Pertama kali dalam tiga tahun terakhir, bagai periode yang dtiunggu.

Rezeki Nomplok CPO

Produksi pada tahun (2022) ini di Indonesia dipatok pada 48,5 juta ton, naik 3,4% dari perkiraan awal sebanyak 46,89 juta di tahun 2021. Sedangkan, produksi di Malaysia diprediksi sebesar 18,8 juta ton, naik 3,9% dari 18,1 juta pada tahun sebelumnya. Bisa dihitung, tambahan pungutan ekspor sebanyak 48,5 juta ton CPO akan bernilai US$ 970 juta (setara Rp 13,87 trilyun). Belum termasuk pungutan pokok sebesar US$ 55,- per-metrik ton. Nilainya mencapai US$ 2,667 milyar.

Dalam kurun waktu hampir satu dekade terakhir, komoditas kelapa sawit telah menjelma menjadi penyumbang devisa ekspor terbesar nasional. Bahkan pada tahun 2017 telah memberikan kontribusi tertinggi, dengan sumbangan devisa mencapai US$ 22,9 miliar. Tetapi bukan hanya pemerintah yang memperoleh keuntungan ekspor CPO. Melainkan juga pengusaha perkebunan sawit memperoleh bagian terbesar keuntungan melambungnya harga CPO di tingkat global.

Pengusaha perkebunan sawit memperoleh windfall profit, rezeki nomplok bagai durian runtuh. Harga CPO telah meningkat 250% dibanding harga pada saat tanam kelapa sawit. Lebih dari 80% perkebunan kelapa sawit merupakan tanah negara dengan status HGU (Hak Guna Usaha). Sehingga memiliki negara memiliki “hak kontrol” terhadap tanah negara. Hanya sekitar 41% berstatus kebun milik rakyat (termasuk kebun tanah adat), serta hanya sekitar 6% dikuasai perkebunan negara. Sisanya, sebesar 53% dikuasai perkebunan besar swasta nasional.

Tetapi anehnya, di dalam negeri, masyarakat antre minyak goreng dengan harga ke-ekonomi-an. Rumahtangga menjerit, karena migor menjadi salahsatu bahan pokok dapur paling strategis di Indonesia (selain beras dan gula). Ironis, karena Indonesia menjadi pemasok utama (65%) sawit dunia. Karena 80% perkebunan sawit berada di atas tanah negara, maka pemerintah memiliki “hak kontrol.” Seharusnya pemerintah juga memiliki road-map (sistemik) yang menjamin stabilitas pasok dan harga migir stabil.

“Hak kontrol” penguasaan tanah sesuai amanat konstitusi. UUD pasal 33 ayat (3), menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.” Maka penyelenggara negara dapat membuat perjanjian dengan pengguna HGU. Yakni memberi jaminan ketersediaan CPO untuk kebutuhan dalam negeri.

Seharusnya suplai migor dalam negeri aman, dan harga terkendali. Karena konon, produksi migor nasional mencapai 8,02 juta ton per-tahun. Sedangkan kebutuhan hanya sekitar 5,06 juta ton. Masih surplus besar, 2,96 juta ton. Namun tataniaga sawit menunjukkan tren “keanehan” sejak tahun 2020 lalu. Diantaranya, permintaan negara-negara Uni Eropa yang meningkat 26%. Padahal Uni Eropa sedang me-moratorium sawit Indonesia dengan alasan deforestrasi (pengrusakan hutan dalam kasus kebakaran lahan).

Stablitas Pangan Sistemik

“Keanehan” lain, memasuki pertengahan tahun 2021, mulai terjadi penurunan permintaan sawit. Pada bulan September nyatanyata ekspor sawit menurun sinifikan. Berdasar catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), terjadi penurunan ekspor sawit mentah hingga 1,338 juta ton (setara 32,47%). Maka seharusnya pasokan dalam negeri lebih terjamin. Sehingga lazimnya, proses produksi migor bisa lancar. Sesuai prinsip supply and demand, harga migor tidak naik.

Migor sebagai sembako, masuk kategori komoditas strategis dan penting, yang harus dijamin negara. Pemerintah memiliki mandatory (kewajiban) berdasar UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Serta dalam tata-niaga pangan wajib memenuhi amanat UU Nomor 20 tahun 2008 Tentang UMKM. Ketersediaan pangan menjadi tanggungjawab pemerintah (dan daerah), tercantum dalam UU Pangan pasal 12 ayat (1).

Ketersediaan bukan hanya melalui operasi pasar sebagai “jawaban” terhadap kelangkaan pangan. Melainkan juga ke-ajek-an suplai. Dalam UU Pangan, pasal 13, dinyatakan, “Pemerintah berkewajiban mengelola stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok, mengelola cadangan panga pokok pemerintah, dan distribusi pangan pokok untuk mewujudkan kecukupan pangan pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat.” Maka stabilitas pasokan pangan wajib diselenggarakan sistemik.

Pemerintah bisa membuat kebijakan wajib Domestic Market Obligation (DMO), seperti yang diberlakukan pada komoditas ekspor batubara. Kasusnya hampir sama, yakni ketika harga batubara sedang melonjak tajam. Jika dibiarkan ekspor tanpa batas kuota, maka akan terjadi krisis batubara dalam negeri. Khususnya untuk keperluan pembangkit listrik PLN (Perusahaan Listrik Negara). Dalam hal krisis minyak goreng, setiap pengusaha perkebunan sawit wajib memasok 20% dari kuota ekspor untuk kebutuhan dalam negeri.

Jika kuota ekspor CPO sebanyak 45 juta ton, maka ketersediaan dalam negeri akan mencapai 9 juta ton CPO. Setidaknya akan diperoleh sebanyak 8 juta-an ton setahun. Seluruh pasar (tradisional), dan pusat perbelanjaan modern, akan “dibanjiri” migor. Maka harga migor kemasan premium paling bagus akan berkisar Rp 14 ribu per-liter. Pemerintah juga bisa menambah keuntungan pedagang migor usaha mikro dan ultra-mikro di pasar tradisional, menjadi Rp seribu per-liter.

Satgas Pangan nasional perlu segera menelisik sepanjang rantai distribusi migor. Begitu pula KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) juga perlu mengendus potensi korupsi pada subsidi migor. Semula dinyatakan subsidi sebesar Rp 3,6 trilyun, dengan kapasitas sebanyak 1,2 milyar liter. Cukup untuk mengamankan ketersediaan migor sampai 6 bulan. Realitanya, hingga migor belum stabil. Masih sulit dicari, serta masih bertahan dengan harga mahal.

——— *** ———–

Rate this article!
Tags: