Mengevaluasi Pelaksanaan Sistem Zonasi

Oleh :
Titik Kusminarwati,S.Pd
Guru IPA SMPN 6 Kota Mojokerto

Dunia pendidikan senantiasa mengalami proses yang dinamis. Salah satunya adalah mekanisme penerimaan peserta didik. Perubahan mekanisme PPDB senantiasa mengalami evaluasi dari waktu ke waktu. Di awali pada 2016 kemarin perubahan mekanisme PPDB dengan system zonasi, di maksudkan sebagai upaya yang yang hasil akhirnya bisa meningkatkan dan memeratakan mutu pendidikan. Meski pelaksanaan system zonasi ini sudah berjalan 3 tahun, fakta di lapangan masih menimbulkan beberapa masalah yang merugikan baik siswa maupun sekolah. Banyaknya kasus pengaduan dari masyarakat tentang pelaksanaan system zonasi merupakan salah satu indikatornya. Bahkan di Surabaya ada aksi protens walimurid dengan menduduki kantor dinas pendidikan.
Sekilas jika melihat tujuan awal system zonasi ini, memang baik. Pemerataan mutu pendidikan, menghapus status sekolah favorit dan sekolah non favorit, dengan meratanya input siswa yang merata. Hanya saja menurut penulis, apakah tepat analisa akar masalah tidak meratanya mutu pendidikan itu hanya karena tidak meratanya peserta didik?dengan anggapan peserta didik yang pandai mengumpul di sekolah favorit, sementara peserta didik yang kurang kemampuan intelektualnya berada di sekolah non favorit?
Kalau kita melihat fakta di lapangan, pemerataan kualitas pendidikan bukan terletak pada input peserta didik, juga bukan pada banyaknya zona tapi lebih pada penyiapan sarana dan prasarana sekolah yang belum merata. Karena selama ini cap sekolah favorit lebih di sematkan pada sekolah yang memiliki fasilitas untuk penunjang proses belajar mengajar yang memadai/lengkap. Sekolah favorit yang menjadi cap oleh masyarakat itu adalah keberadaan kelas dengan fasilitas LCD, jaringan internet yang menjangkau seluruh area kelas. Sehingga dimanapun siswa belajar akan mendapatkan fasilitas yang sama. Demikian keberadaan guru. Sekolah favorit di pandang oleh masyarakat sebagai sekolah yang memiliki guru-guru dengan dedikasi penuh dalam dunia pendidikan.
Sebuah Gagasan
Ketika yang menjadi akar masalah tidak meratanya mutu pendidikan adalah kualitas internal sekolah, maka menurut penulis ; Pertama, menerapkan sistem pembelajaran yang berkualitas. Pembelajaran di sekolah haruslah diarahkan pada pembentukan karakter/kepribadian (ahklakul karimah)berdasarkan keimanan dan penguasaan ilmu kehidupan (iptek dan keahlian) dengan menerapkan standar pembelajaran dan penilaian yang benar.Artinya kurikulum yang di berlakukan adalah kurikulum yang benar-benar bisa mengantar peserta didik meraih tujuanitu. Tingginya angka penguasaan akademis siswa itu penting, tapi lebih utama ada pada akhlak dan kepribadian siswa. Inilah output pendidikan yang seringkali diabaikan. Sehingga, kebanyakan pendidikan saat ini tidak menghasilkan generasi yang berakhlak mulia.
Kedua, Negara menyediaan fasilitas sekolah yang memadai dan merata. Fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan yang merata di semua sekolah. Karena sangat penting kegiatan pendidikan harus dilengkapi dengan sarana-sarana fisik yang mendorong terlaksananya program dan kegiatan tersebut sesuai dengan kreativitas, daya cipta, dan kebutuhan.
Sarana itu dapat berupa buku-buku pelajaran, sekolah/kampus, asrama siswa, perpustakaan, laboratorium, toko-toko buku, ruang seminar, audiotorium tempat dilakukan aktivitas diskusi, majalah, surat kabar, radio, televisi, kaset, komputer, internet, dan lain sebagainya.
Kalau kita mau menengok sejarah keemasan system pendidikan Islam di masa Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky, di Madrasah An-Nuriah di Damaskus yang didirikan pada abad 6 H, sekolah ini terdapat fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan, serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi.
Semua sarana dan prasarana pendidikan dalam rangka untuk mencerdaskan generasi menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya secara gratis.
Ketiga, tenaga pengajar yang profesional. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah guru. Guru adalah pendidik bagi muridnya. Di mana setiap apa yang dilakukan dan disampaikan oleh guru dijadikan contoh. Guru itu digugu dan ditiru. Guru adalah pendidik, bukan sekadar pengajar. Tugas guru bukan hanya mengajar, tetapi lebih dari itu, yakni mendidik. Mendidik bukan hanya sekadar mentransfer ilmu, tetapi menjadi contoh teladan, menumbuhkan karakter dan sumber inspirasi bagi para anak didiknya.
Karenanya, peran guru sangatlah vital sebagai pembentuk kepribadian, visi, misi serta cita-cita anak didiknya di masa mendatang. Di balik kesuksesan yang diraih oleh murid, selalu ada peran guru dibalik kesuksesan itu.Sehingga, seorang guru harus bisa bertindak profesional, tidak hanya memiliki gelar sarjana saja, akan tetapi juga harus memiliki kepribadian yang baik.
Beratnya tugas guru dalam mendidik maka hal yang seharusnya negara menjamin kesejahteraan seorang guru, sehingga guru tercukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya secara layak dalam posisisnya sebagai guru. Sehingga seorang guru akan tenang menjalankan profesinya tanpa harus memikirkan mencari peluang bisnis untuk menutupi kebutuhan hidup. Selain itu Negara hendaknya menghapus kasta pada guru. Tidak ada guru ASN dan Guru GTT. Status guru memiliki tanggaung jawab yang sama berat dalam mendidik. Sehingga sebenarnya k pelaksanaan system zonasi ini baru pada tataran meratanya input peserta didik. Tiap sekolah memungkinkan mendapatkan input peserta didik yang heterogen.Namun hal itu tidak menjamin memeratanya dan meningkatnya kualitas pendidikan perlu kesungguhan peran pemerintah dalam mewujudkan setidaknya 3 gagasan di atas.Ini lah yang menjadi tugas berat Negara saat ini untuk membenahi masalah pendidikan di negeri tercinta ini.

———– *** ———–

Tags: