Menggali Makna Kehidupan dari Kamp Penampungan

Judul : Man’s Search For Meaning
Penulis : Viktor E. Frankl
Penerjemah : Haris Priyatna
Penerbit : Noura Books
Cetakan : 1, Desember 2017
Tebal : 234 halaman
Peresensi : Al-Mahfud
Penikmat buku, bermukim di Pati. 

Pada masa Perang Dunia II, banyak orang terlempar ke kamp penampungan dan pemusnahan Nazi. Di kamp sana, mereka diperbudak, dipaksa bekerja kasar dan mengalami tekanan mental luar biasa. Kondisi tersebut dikisahkan Frankl, seorang psikiater terkemuka di Eropa, di buku berjudul Man’s Search For Meaning. Frankl sendiri adalah penyintas yang pernah tinggal di kamp selama 3 tahun, di Auschwitz, Dachau, dan kamp-kamp lain.
Di buku ini, Frankl tak hendak memenuhi kisahnya dengan narasi penderitaan. Lebih jauh dan mendalam, sebagai psikiater, ia mengamati dan menganalisis kondisi psikologis para tawanan dan menyuguhkan kepada kita untuk dimaknai. Di buku ini, Frankl tak banyak membicarakan tokoh-tokoh hebat di penampungan, tetapi lebih pada pengorbanan dan kematian sejumlah besar korban yang tak dikenal dan tak tercatat. “Mereka adalah tawanan biasa, yang tak memiliki tanda (pangkat) di lengan bajunya, yang sangat dibenci para Capo”.
Capo, tak lain juga tawanan, namun bertindak sebagai kepercayaan Nazi dan dipilih serdadu SS, sehingga punya keistimewaan dan wewenang memerintah para tawanan biasa. Frankl membangun narasinya dengan kombinasi pengalaman di kamp konsentrasi dipadu analisis psikologis sebagai seorang psikiater. Menurutnya, ada tiga fase yang dilalui para tawanan sebagai reaksi mental ketika masuk ke kamp konsentrasi.
Di fase pertama, gejalanya adalah syok atau keguncangan jiwa karena menghadapi kondisi tak normal; tekanan mental, kerja paksa, kekurangan makanan, lingkungan kotor, dan perlakuan tak manusiawi. Namun, di tengah penderitaan tersebut para tawanan harus tetap menunjukkan wajah segar dan sehat pada para serdadu. Sebab, tawanan yang tampak sengsara, lemah, dan sakit-sakitan, cepat atau lambat akan dimasukkan ke kamar gas, yang artinya kematian. Jadi, cara bertahan hidup di kamp adalah terus berjalan tegap seakan-akan selalu siap bekerja kapan saja di tengah segala kesusahan, kesakitan, dan kelaparan.
Setelah beberapa hari hidup dalam kondisi tersebut, jelas Frankl, para tawanan akan memasuki fase kedua, yakni fase apatis yang reaktif; kematian emosi. Para tawanan mulai tak peduli pada apa pun, sebab reaksi-reaksi normal atas segala kekerasan langsung dilenyapkan Capo. Rasa jijik dan usaha mengusap wajah saat membersihkan kakus akan dihadiahi pukulan, orang-orang dihukum berbaris di jalan berlumpur berjam-jam di bawah ancaman cambuk, belum lagi kata-kata kasar yang menyertai setiap pukulan. “Bagian paling menyakitkan dari pukulan adalah hinaan yang menyertainya,” tulis Frankl.
Setelah cukup lama di kamp, satu-satunya hal yang dipikirkan para tawanan adalah bagaimana bisa tetap bertahan hidup. Keinginan-keinginan besar hilang berganti kepasrahan. Frankl melihat, dalam kondisi tertekan, ditambah fokus perhatian pada upaya bertahan hidup, kehidupan batin para tawanan ditekan sampai titik paling primitif. Maka yang dimimpikan para tawanan dalam tidur-tidur mereka adalah hal-hal sederhana seperti roti, kue, rokok, dan mandi air hangat.
Meski sistem di kamp memaksa tawanan bergerak menuruti perintah tanpa bisa mengelak, bagi Frankl, mereka tetap memiliki kebebasan batin. “Kurang tidur, kurang makanan, lingkungan kotor dan tekanan mental memang mendorong para tawanan bereaksi dengan cara-cara tertentu. Namun, keputusan batinlah yang akhirnya menentukan akan menjadi manusia seperti apa tawanan tersebut kemudian,” tulisnya. (hlm 95). Keputusan batin adalah bagaimana para tawanan memaknai nasib tersebut dengan tetap bermartabat dan terhormat, meski lingkungannya memperlihatkan sebaiknya; perbudakan, kekerasan, dll.
Memelihara harapan
Misalnya, saling peduli pada sesama tawanan dan saling menguatkan di tengah rasa keputusasaan. Namun, bagaimana para tawanan bisa tetap bersabar dan memegang nilai batin tersebut di tengah kondisi sulit? Tentang ini, Frank menemukan bahwa para tawanan mampu melewati masa-masa sulit dan kritis karena memelihara “harapan” dan “punya alasan”. Bahwa ada keluarga yang menanti mereka dan peran yang harus mereka kerjakan di kehidupan normal.
Frankl mengisahkan, ketika dibawa ke kamp, naskahnya yang sudah siap terbit disita. Dan keinginan menulis kembali naskah tersebut menjadi salah satu motivasi penting baginya untuk bertahan hidup, agar ketika bebas ia bisa menuliskannya kembali (hlm 151). Ketika hari kebebasan akhirnya tiba dan setiap tawanan bisa merasakan kehidupan normal-bertemu istri, anak, dan orang-orang tersayang, segala ingatan selama hidup di kamp akan tinggal menjadi mimpi buruk. “Pengalaman puncak dari semuanya, untuk orang-orang yang kembali ke rumah, adalah munculnya perasaan indah, bahwa setelah semua penderitaan yang dia jalani, tak ada lagi yang perlu ditakutkan-kecuali Tuhannya,” tutup Frankl.

———– *** ————-

Tags: