Menggelorakan Cinta Kebangsaan

Yunus Supanto(Memperingati Hari Kebangkitan Nasional)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

Pernah mendengar cerita Menteri Keuangan tak punya uang maupun  tabungan? Dan memilih mempertahankan hidup miskin (tidak memakai pengaruhnya untuk mempeorleh uang)? Menteri Keuangan dalam pemerintahan Kabinet Sjahrir ke-3, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, tabah menjalani kemiskinan. Pada tahun 1946, memperoleh karunia kelahiran anak ketiga (diberi nama Chalid, seperti nama Panglima perang Islam periode awal). Namun, Pak Sjafruddin tak mampu membeli kain gurita dan popok bayinya.
Tak kenal takut, tak kenal khawatir, walau harus melawan rezim paling represif sekalipun. Keinginan berontak selalu menggelora ketika melihat masyarakat sengsara karena perbuatan rezim pemerintah. Tapi itulah yang dirasakan setiap pahlawan. Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Tengku Umar, Cut Nyak Din, Thomas Matulessi, seluruhnya tak sabar untuk memberontak. Melawan ketidak-adilan rezim dengan segala senjata, termasuk melalui tulisan dan ceramah-ceramah.
Sedih melihat masyarakat bersedih. Turut berpuasa panjang pada masa paceklik. Seluruh pahlawan mengharamkan keuntungan pribadi (dan keluarganya). Hingga saat ini, gelar pahlawan nasional telah diberikan kepada 147 putra terbaik negara, dari berbagai suku bangsa. Hal ini dimungkinkan, karena Indonesia (dahulu) terdiri dari puluhan kerajaan besar yang hampir kesemuanya melawan kekejaman kolonialisme-imperialisme melalui berbagai peperangan. Berbeda dengan Amerika Serikat yang hanya memiliki kurang dari 50 orang pahlawan nasional.
Kesetiakawanan sosial, sesungguhnya telah dijadikan motif persaudaraan sejak abad ke-10. Banyak raja-raja di kawasan Nusantara (Indonesia) bertukar silsilah keturunan. Raja Jawa mengirim putranya untuk menikah dengan keluarga raja di Sumatera. Begitu pula saudagar Banjar dan Bugis menyunting putri dari berbagai daerah. Pada abad ke-19, sejarah mencatat, bahwa kerajaan Ternate dan Tidore (di Maluku), serta kerajaan Minang (di Sumatera Barat) menyokong perjuangan Pangeran Diponegoro di Jawa.
Sebelumnya, pada abad ke-16, Panglima gabungan dua negeri yang dipersatukan (Demak dan banten) telah mengangkat Fatahilah, berasal dari Pasai (Aceh). Fatahilah dipilih untuk menggantikan mertuanya, Patih Unus, yang gugur saat membantu kerajaan Banjar mengusir penjajah Portugis. Artinya, segala ancaman (penjajahan) dilawan bersama-sama secara gotong-royong. Walau dengan taruhan nyawa sekalipun!
Kesetiakawanan sebangsa setanah air, terbukti menjadi modal utama berdiri negara bangsa Indonesia. Ingat, pesawat pertama yang dimiliki Angkatan Udara RI, adalah sumbangan dari masyarakat Aceh. Dan pada saat proklamasi, seluruh perwakilan kerajaan di Nusantara, dengan surat resmi  menyatakan melebur diri dalam Negara Kesatuan RI (NKRI). Delegasi berbagai daerah diwakilkan kepada pemuda yang tengah belajar di Jawa (Jakarta, Bandung, Yogya dan Surabaya).
Wajib Cinta Negara
Sejak 200 tahun sebelum kemerdekaan, rasa nasionalisme telah berkobar, secara terang-terangan, maupun sembunyi-sembunyi (digelorakan di surau-surau, sekaligus ditransformasikan sebagai kurikulum di berbagai pengajian). Belum ada sekolah, kecuali sekolah Belanda yang (pasti) meng-haramkan nasionalisme ke-Indonesia-an. Sehingga transformasi nilai-nilai nasionalisme dilakukan melalui kesetiakawanan sosial, serta pengajaran komunitas sosial.
“Sekolah” yang ada hanya berupa pengajaran di surau, masjid, atau di rumah tokoh masyarakat yang sudah menuanaikan haji (pak haji). Saat itu seluruh rakyat yang belajar huruf Arab pegon, wajib hafal sebuah hadits shahih: bahwa “mencintai negeri adalah sebagian dari bukti keimanan.” Dan, bukankah perang Tengku Umar (bersama istrinya, Cut Nyak Din), baru saja usai (1906) wujud dari cinta negara?
Walau rezim sangat membatasi pendidikan kaum pribumi, kecuali anak pejabat tinggi di daerah. Tetapi upaya yang dilakukan adalah misi kesetiakawanan sosial, dengan metode  “rakyat mendidik rakyat.” Targetnya, semakin banyak rakyat bisa membaca dan menulis, dengan huruf apapun (Arab maupun Hanacaraka). Gerakan kesetiakawanan “rakyat mendidik rakyat” memperoleh respons sangat luas.
Hasilnya, pada dekade 1920-an (ketika politik etis mulai dibuka), seluruh organisasi sosial pasti memiliki sekolah ataupun madrasah, formal maupun non-formal. Bahkan apabila suatu perkumpulan (organisasi) tidak memiliki aksi pendidikan, pasti akan dikucilkan, dianggap kelompok rentenir, atau kelompok kaum kafir. Suksesnya pergerakan Boedi Oetomo, diadopsi dalam alenia ke-4 muqadimah UUD 1945, yang sangat sakral dan tak boleh diamandemen.
Secara tekstual, alenia ke-4 muqadimah UUD 1945, mengamanatkan: “…membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”  Kesejahteraan dan mencerdaskan, menjadi kata kunci untuk didirikannya pemerintah negara, yang dicita-citakan selama berabad-abad. Ingat misalnya, jargon tata-tentrem kertaraharja.
Kesetiakawanan Sosial
Selama 71 tahun terbentuknya NKRI, pelanjutan cita-cita untuk kesejahteraan dan upaya mencerdaskan bangsa sudah banyak dilakukan. Namun terasa tak cukup optimal, jika dihubungkan dengan kekayaan sumberdaya alam Indonesia (yang gemah-ripah loh jinawi). Andai kekayaan yang melimpah itu bisa digunakan secara benar, maka kesejahteraan rakyat bukan “mimpi disiang bolong.” Namun yang terjadi malah sebaliknya, beberapa aset negara dijual.
Beberapa elit politik dan tokoh masyarakat seolah beradu cepat kaya.  Sehingga terasa ada yang hilang dalam sistem sosial. Yakni kesetiakawanan sosial (gotong-royong) dan keteladanan para pemimpin. Selama 69 tahun dilewati, seharusnya ada perbedaan manajemen antara pemerintah dahulu (penjajah) dengan sekarang. Jika rezim dahulu mengeruk kekayaan negara, maka penguasa sekarang seharusnya memakmurkan. Dulu rezim penjajah melarang pribumi sekolah, rezim sekarang seharusnya mewajibkan sekolah tanpa bayar.
Jika dahulu rakyat dibiarkan menderita sampai mati karena kerja rodi, pemerintah sekarang seharusnya membebaskan biaya kesehatan gratis. Syukur, selama satu dekade terakhir, kesejahteraan rakyat sudah meningkat. Walau tingkat kesejahteraan (dan tingkat kemiskinan) pastilah berkembang naik. Standar kemiskinan tidak sama dengan standar 10 tahun lalu.
Pada era demokrasi mengedepan saat ini, kesetiakawanan terasa makin terkotak-kotak berdasar ke-parpol-an. Untuk membantu korban bencana pun dikibarkan bendera parpol. Bahkan suatu parpol dikenal sering muncul di berbagai media masa hanya pada saat terjadi bencana. Padahal bantuannya hanya sedikit saja. Itupun dikumpulkan dari derma masyarakat luas, tetapi bendera parpol berderet di sepanjang jalan.
Kebiasaan buruk lainnya adalah advokasi berbagai masalah sosial. Problem ketenaga-kerjaan, pendidikan  dan kesehatan dijadikan “ladang” untuk mencari keuntungan kelompok. Terdapat banyak calo yang seolah-olah melakukan pembelaan sosial. Kedok pendampingan masyarakat, tak jarang, hanya memperkaya pihak pendamping dengan memungut commitment fee. Seperti olok-olok berbahasa Jawa: rame ing pamrih sepi ing gawe. Karena itu masyarakat tetap dalam keadaan nelangsa.
Itulah yang menyebabkan kesetiakawanan sosial terasa “kering” tanpa hasil. Banyak program karitatif pemerintah menjadi tidak tepat sasaran. Lebih lagi jika Kepala Daerah-nya berbeda altar politik dengan pemerintahan diatasnya. Maka saat ini lebih dibutuhkan pencerahan kesetiakawanan sosial yang menembus sekat ke-parpol-an. Seperti para founding fathers telah berjuang keras menegakkan nasionalisme melalui kesetiakawanan sosial.
Ajaran agama telah memiliki paradigma yang bersifat wajib. Yakni dinyatakan, hubbul wathan minal iman (bela negara sebagai bukti keimanan). Tidak mungkin bersedia bela negara tanpa didahului kesetiakawanan sosial yang kuat. Seperti jargon berbahasa Jawa sepi ing pamrih rame ing gawe!

                                                                                                                       ——— *** ———

Rate this article!
Tags: