Menggelorakan Pendidikan Anti Waras Einstein

Oleh :
Muhammad Farhan Azizi
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Pesantren KH Abdul Chalim

Pendidikan memang bukan sesuatu yang asing. Baik di benak, pikiran, atau pengelihatan, secara teori maupun praktek, pendidikan niscaya bersentuhan dengan masyarakat Indonesia. Keadaan ini terjadi karena kemakmuran masyarakat merupakan tujuan pendidikan nasional itu sendiri.

Rekam sejarah perjalanan perubahan kurikulum dari waktu ke waktu mulai dari 1945-2023 menjadi cerminan tingginya perhatian pemerintah Indonesia dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Riuh perbincangan soal percobaan jam masuk sekolah di beberapa daerah di Indonesia pun bisa dikatakan sebagai potret eratnya tarikan magnet isu pendidikan bagi masyarakat Indonesia.

Seluruh kalangan masyarakat Indonesia, mulai dari guru besar hingga tukang becak turut serta mengomentari konten-konten kebijakan pendidikan. Oleh karena itu, komentar yang ada pada isu pendidikan sangat beragam, dari komentar yang sangat kompleks, praktis, sampai dengan ekonomis.

Kualitas Individu dan Kelompok
Sekurang-kurangnya, asumsi awam proses pendidikan tergambar bagai kendaraan. Guru sebagai pengemudi dan murid sebagai penumpang dalam rangka mencapai tujuan bersama. Para orang tua, secara umum, mempercayai guru sebagai pemegang kemudi pendidikan dikarenakan keahlian yang dimilikinya. Orang tua beranggapan, guru dapat mengantarkan anak-anak mereka kepada titik-titik pencapaian sebagaimana yang menjadi tujuan pendidikan.

Namun demikian, dalam sebuah teks pidato Einstein tentang pendidikan ketika menerima penghargaan nobel fisika karena teori relativitasnya, terdapat pendapat Einstein yang kontradiktif dengan pendidikan semacam itu. Proses pendidikan yang dijalankan layaknya kendaraan hanyalah menghasilkan siswa yang akan menjadi subjek patuh dan tidak mandiri.

Pendidikan semestinya berjalan untuk menghidupkan imajinasi subjeknya, bukan mengantarkan subjek kepada standar pencapaian kewarasan seperti yang disepakati banyak orang. Pernyataan ini digambarkan oleh Einstein dengan gaya gidupnya yang sangat menghindari adanya kepengikutan, alias ia tidak ingin dijadikan sebagai seorang sopir yang dipercayai oleh orang lain untuk mengantarkan mereka ke suatu titik pencapaian. Einstein tidak meyakini yang namanya kualitas suatu kelompok, dirinya lebih yakin bahwa yang ada di dunia ini hanyalah kualitas individu. Sehingga, kualitas kelompok hanyalah akibat dari kualitas individu-individu yang ada di dalam kelompok tersebut.

Penataan Ulang Sistem
Dengan demikian, adalah kebebasan berimajinasi yang semestinya dibangun dalam proses pendidikan. Artinya, guru hanya bertugas sebagai fasilitator bagi para murid untuk menyalakan kendaraan. Berikutnya, akan ke mana mereka berkendara merupakan hak, keputusan, atau kebebasan yang seyogyanya diambil dan diputuskan oleh para murid itu sendiri.

Pendidikan di Indonesia yang berjalan di dalam bayang-bayang ilustrasi kendaraan masih relatif banyak. Merujuk dari sejumlah hasil riset pendidikan-meminjam istilah Agus Mulyadi-mulai dari hasil riset yang patut ditempeleng hingga riset yang menjadi kiblat bagi dunia pendidikan, ilustrasi kendaraan dalam pendidikan masih berjalan dengan tentram sejahtera di Indonesia.

Salah satunya, hasil riset Majdi, dkk., pada tahun 2022 dalam Al-Madrasah: Jurnal Ilmiah Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah 6, 2 (April-Juni 2022) menyimpulkan bahwa indikator keberhasilan dalam pembelajaran adalah murid patuh kepada guru. Begitu pula hasil survei yang dilakukan per 2002-2022, jumlah anak didik atau orang dewasa yang tidak tamat dari sebuah institusi pendidikan tetapi memiliki kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik selayaknya penilaian di sekolah mencapai jutaan.

Hasil riset serta survei di atas mengindikasikan adanya masalah di dalam badan sistem pendidikan Indonesia. Kepatuhan sebagai indikator keberhasilan dalam pendidikan tentu bukan aspek, unsur, terlebih sikap yang hanya dapat dibentuk melalui pendidikan. Berjuta jenis kegiatan dapat dilaksanakan untuk membentuk unsur kepatuhan. Apabila menimbang aspek ekonomisnya, siswa yang telah membayar mahal guna memperoleh pendidikan layak, akan tetapi hanya memiliki kepatuhan, jelas akan kalah dengan anak seusianya yang tidak mengeluarkan uang sepeser pun karena hidup di lingkungan yang sarat akan kepatuhan.

Oleh karena itu, pendidikan yang tidak berpatokan pada sentimen kepatuhan, dalam arti pendidikan yang menghasilkan subjek mandiri sebagaimana pemikiran Einstein, atau disebut dengan pendidikan anti waras harus digelorakan dalam proses penataan ulang sistem pendidikan di Indonesia. Seorang guru tidak semestinya memegang penuh kemudi atas murid, tetapi hanya memfasilitasi para muridnya untuk menyalakan kendaraan, dan membebaskannya untuk membawa kendaraan tersebut ke mana saja berdasarkan hak dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, umat beragama, dan manusia yang berdikari.

——– *** ———-

Tags: