Menggenjot Kinerja APBD

APBDMenjelang cuti panjang Idul Fitri (Jumat 25 Juli 2014) pemerintah provinsi bersama DPRD Jatim menyepakati Perubahan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) tahun 2014. Angka yang disepakati sekitar Rp20, 227 triliun. Senilai itulah anggaran yang akan digunakan untuk membiayai pembangunan di Jatim. Nilai itu tak termasuk gaji aparatur negara, karena telah ditunaikan oleh APBN.
Tetapi angka yang diajukan oleh pemprop tergolong masih rendah. Terutama jika dibandingkan dengan tingkat serapan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) selaku pelaksanaan anggaran. Rata-rata SKPD bisa “melahap” jatah alokasi anggaran, dengan capaian target lebih dari 100 persen. Sehingga kinerja keuangan SKPD sebenarnya masih bisa digenjot, termasuk menggali pendapatan yang lebih besar. Perubahan APBD Jatim bisa mencapai Rp25-an triliun.
Serapan anggaran pada APBD 2013 yang rata-rata sudah diatas 94 persen. Dengan serapan anggaran yang besar, coverage lingkup jangkauan program akan lebih luas. Terutama untuk program-program yang terkait dengan upaya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Seiring naiknya serapan anggaran, seyogianya Pemerintah Propinsi lebih berani mematok target capaian (belanja) lebih besar.
Nilai APBD ditentukan melalui asumsi belanja yang harus diseimbangkan dengan potensi pendapatan asli daerah (PAD). Konon Pendapatan yang dimiliki Jawa Timur di-pagu sebesar Rp18,349 triliun. PAD masih bertumpu pada Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB). Selain PAD, pendapatan daerah juga diperoleh dari Bagi Hasil Pajak (BHP) serta Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBP) dari pemerintah pusat.
Tetapi sesungguhnya, Jatim memiliki potensi PAD maupun non-PAD yang sangat besar. Kadang, potensi itu dirasa sulit menggalinya. Bahkan kadang tersembunyi. Beberapa “harta karun” yang dahulu sulit digali, kini sudah mulai bisa diraih. Diantaranya berupa Participating  Interest, sebagai mandatory Undang-Undang Migas. Saat ini, participating interest dinikmati oleh pemerintah propinsi serta beberapa pemerintah kabupaten (diantaranya Bojonegoro, Tuban, Gresik dan Bangkalan).
Karena itu “harta karun” lainnya juga harus bisa digali. Misalnya, pajak atas pulsa telepon seluler (ponsel). Bahkan inilah harta karun yang tidak akan habis,  selamanya. Saat ini masih terasa sulit. Seperti dulu Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB), juga diluar jangkauan pemikiran. Syukur, saat ini PBB-KB setiap tahunnya sudah menjadi tulang punggung dalam APBD. Reasoning memungut PBB-KB adalah, keterpakaian bahan bakar di Jatim beserta eksesnya.
Reasoning serupa bisa ditujukan pada pajak pulsa ponsel. Nomor ponsel dengan kode area Jatim bisa dikumpulkan pajaknya. Sebab setiap operator telekomunikasi telah memungut pajak atas pulsa ponsel. Maka wajar (dan wajib) manakala Jatim memperoleh hak bagi hasil. Hak ini juga diberlakukan terhadap cukai berupa DBHC. Setiap tahun DBHC menyokong APBD,  lebih besar dibanding total setoran dari seluruh BUMD.
Pemprop bersama DPRD harus menuntut transparansi hasil penjualan pulsa.  Bila perlu bisa mengajukan amandemen UU Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Selama 15 tahun penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia telah sangat jauh berubah. Terutama ketentuan tarif yang diatur pada pasal 26 sampai pasal 29 UU 36 tahun 1999. Amandemen UU telekomunikasi ini, pasti akan didukung oleh seluruh daerah.
Dengan target P-APBD 2014 sebesar Rp25-an triliun, kinerja Pemprov bisa menjangkau obyek dan subyek pembangunan yang lebih besar. Terutama untuk meningkatkan aksesi pendidikan dan layanan kesehatan. Begitu pula pembangunan infrastruktur jalan, jembatan dan waduk bisa digenjot. Serta usaha mikro dan kecil dipermudah mengakses permodalan. Juga usaha tani bisa dikucuri modal agar pedesaan lebih makmur. Semua akan terbalas dengan doa rakyat.

———– 000 ———–

Rate this article!
Menggenjot Kinerja APBD,5 / 5 ( 1votes )
Tags: