Menggerakan Komunitas Peduli Bencana

Oleh:
Rachmad K Dwi Susilo, Ph.D
Pengajar Mata Kuliah Sosiologi Bencana, Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Ketua Program Studi Sosiologi FISIP UMM, Alumni Hosei University, Tokyo dan Pendamping Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) Kota Batu, Jawa Timur

BENCANA mendera bangsa Indonesia di tahun ini. Banjir, tanah longsor, badai sampai gempa bumi menyapa kita. Setelah NTT Minggu (4/4/2021) didera banjir dan longsor, dan diteruskan badai, Sabtu (10/4) Kabupaten Malang dikejutkan gempa berkekuatan 6.1 SR. Bencana ini berdampak pada kota/kabupaten di Jawa Timur seperti Lumajang, Blitar, Kediri, Trenggalek, Jombang, Nganjuk, Madiun dan Ponorogo. Sekalipun studi dan diskursus bahaya (hazard) maupun resiko bencana bukan perbincangan baru, tetapi persoalan bencana masih mendera kita, seperti ketidaktepatan deteksi bencana dan adanya korban bencana.

Sebenarnya BMKG sudah memberi peringatan terkait cuaca ekstrim yang berpotensi terjadi di Jawa Timur. Bahkan, banjir diprediksi sebagai bencana susulan. Sayangnya, prediksi ini tidak menjelaskan jenis bencana dan lokasi bencana secara tepat. Akibatnya, kita gamang menanggapi bencana. Akibatnya, peristiwa bencana masih menyisakan korban berjatuhan, seperti: 8 korban meninggal akibat gempa di Malang. Sama kondisi dengan korban banjir bandang di NTT sebanyak 174 meninggal dan 48 orang hilang.

Kelemahan dan keterbatasan ini seharusnya mengajarkan bahwa penanggulangan bencana tidak boleh mengandalkan peran pemerintah. Semua pihak pasti terkait dengan bencana, baik langsung maupun tidak langsung, maka perlu keterlibatan semua stakeholder. Berbagai nilai (values) dan kepentingan (interest) melekat pada stakeholders sering berbenturan, tetapi kontribusi dan partisipasi kesemuanya perlu didorong.

ADS (Atur Diri Sendiri)

Pengelolan lingkungan hidup pada era otonomi daerah memiliki ciri tersendiri. Pendekatan sentralistis merupakan ciri Orde Baru, namun hadirnya desentralisasi, lebih mengedepankan otonomi. Awalnya otonomi yang dimaksud terkait pengelolaan wilayah dan perimbangan pendapatan pusat-daerah, tetapi perkembangannya dinamis, termasuk otonomi individu maupun kolektif.

Pengelolaan lingkungan yang mengandalkan kekuatan otonomi itu dinyatakan Otto Soemarwoto (2009: 108) yakni atur diri sendiri. Ini artinya, masyarakat mengatur sikap dan kelakuan diri sendiri berdasarkan kebebasan atau otonomi stakeholders.

Kondisi ini bukan berarti negara diam saja atau hanya mengandalkan tata kelola (governance) aktor-aktor non negara. Forum pengurangan resiko bencana yang yang dibentuk pemerintah, misalnya, tetap bekerja, tetapi didorong dan ditopang bekerjanya organisasi masyarakat.

Sebagai pengelola negara, organ-organ pemerintah seperti Dinas Lingkungan Hidup dan BPBD tetap inisiator, konseptor dan pengarah pengelolaan sumber daya alam tersebut. Namun, pekerjaan pemerintah ini juga sinergis dengan aktor-aktor non negara.

Terkait dengan ini, relevan kita mendiskusikan komunitas peduli bencana. Dari kata komunitas sendiri kita bisa menebak bahwa ia kelompok sosial penuh inisiatif, cair, bergerak bebas, fleksibel dan lentur dan anggota digerakkan secara sukarela

Postur Komunitas Peduli Bencana

Peduli Bencana yang dimaksud yakni langkah-langkah riil dalam penanggulangan bencana dari bencana alam sampai bencana sosial/bencana industri. Pekerjaan yang dilakukan dari pencegahan, tanggap darurat sampai pekerjaan pasca bencana.

Di tengah miskin model mungkin kita sulit membayangkan pekerjaan komunitas ini, untuk itu kita bisa belajar banyak dari organisasi peduli bencana seperti Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim dimiliki NU dan Lembaga Penanggulangan Bencana Muhammadiyah atau MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center).

Pembentukan LPBI NU disepakati pada Muktamar NU ke-32 di Makassar tahun 2010. Tujuan lembaga ini yaitu terwujudnya masyarakat yang memiliki ketahanan dan adaptif terhadap bencana di tengah menurunnya daya dukung lingkungan dan perubahan iklim. Kegiatan yang dilakukan bervariasi seperti: Riset & Pengembangan, Kelembagaan & Advokasi Kebijakan, Pengelolaan Risiko Bencana, Tanggap Darurat & Rehabilitasi-Rekonstruksi Bencana, Knowledge Management & Networking dan Pengendalian Perubahan Iklim dan Pelestarian Lingkungan.

Sedangkan Lembaga Penanggulangan Bencana Pimpinan Pusat Muhammadiyah atau MDMC dirintis tahun 2007 dengan nama “Pusat Penanggulangan Bencana” yang kemudian menjadi lembaga yang bertugas mengkoordinasikan sumberdaya Muhammadiyah dalam kegiatan penanggulangan bencana sejak tahun 2010. MDMC bergerak pada kegiatan penanggulangan bencana seperti Mitigasi dan Kesiapsiagaan, Tanggap Darurat dan Rehabilitasi.

Kedua organisasi ini mampu menjadi ujung tombak penanggulangan bencana dengan kegiatan paling nyata yaitu pencegahan bencana melalui materi konservasi dan kegiatan filantropis dalam bentuk penyaluran bantuan untuk korban terdampak.

Jejaring sosial yang dimiliki mendukung mobilisasi sehingga bergerak dari level lokal sampai level nasional. MDMC menggerakkan organisasi di amal usaha, seperti Maharesigana yang berisi mahasiswa peduli bencana di kampus-kampus Muhammadiyah. Konsekuensinya, kegiatan komunitas lebih bervariasi. Dengan menggerakkan organsiasi masyarakat tersebut, maka pencapaian target kepedulian bencana tidak murni urusan negara, tetapi juga masyarakat keseluruhan.

Dibutuhkan Penguatan

Kita bersyukur negara ini memiliki dua ormas besar yang tidak sebatas mengurusi ritual agama, tetapi juga peduli pada persoalan sosial dan kemanusiaan. Selain itu, anggota dan sumber daya material/non material yang dimiliki sangat strategis memperkuat penanggulangan bencana. Salah satu sumber daya non material yakni sistem nilai yang mengakar, ideologis dan terlembaga sepanjang waktu.

Tidak heran keduanya tidak hanya “eksekusi” teknis, tetapi didasari diskursus isu-isu lingkungan seperti sumber daya air, pengelolaan sampah, perubahan iklim dan penanggulangan bencana. Kelebihan di atas diperkuat oleh jejaring sosial lintas level dari lokal, nasional, bahkan internasional. Tidak heran jika pada level mobilisasi tidak banyak kendala yang dihadapi.

Organisasi masyarakat bukan satu-satunya ujung tombak, tetapi bisa diintegrasikan dengan kelompok yang dibentuk pada saat terjadi bencana. Relasi organisasi ini akan mengisi kelemahan-kelemahan dan keterbatasan negara. Sejatinya komunitas peduli bencana mampu bergerak mandiri, tetapi human capital anggota masih menjadi persoalan. Sifat dari keorganisasian yang suka rela menyebabkan kesadaran dan kerelawanan anggota pasang surut. Pada level akar rumput, defisit sumber daya banyak dialami ormas, disinilah negara hadir untuk peningkatan kapasitas dan kualitas partisipasi.

Kita butuh negara bekerja, salah satunya penguatan ketrampilan pengurus dalam pengurangan resiko dan penanggulangan bencana. Inilah bukti apresiasi dan sekaligus keberpihakan negara pada komunitas peduli bencana yang sekaligus mewujudkan negara dan bangsa tangguh bencana.

——– *** ——–

Rate this article!
Tags: