“Menggoreng” Minyak Goreng

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Setidaknya lebih dari tiga bulan, republik tercinta digoncang dengan krisis minyak goreng. Keberadaan salah satu kebutuhan pokok masyarakat tersebut seolah hilang dari pasaran, jika toh ada harganya mahal tak terkendali. Emak-emak rela antri mendapatkan minyak goreng bak nyaris antrian di era 60-an, bahkan ada yang memakan korban jiwa. Berbagai upaya kebijakan pemerintah melalui penetapan harga minyak goreng (Harga Eceran Tertinggi) untuk minyak goreng curah, pemberian subsidi dari BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit), operasi pasar hingga melibatkan pihak Kepolisian Negara untuk melakukan pengawalan terhadap distribusi dan ketersediaan minyak goreng hingga terakhir mencabut HET Permendag Nomor 11 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Curah. Ketidakberdayaan pemerintah seakan terkonfirmasi oleh Menteri Perdagangan dalam rapat kerja dengan DPR bahwa pemerintah seakan menyerah dengan upaya menjaminan stok dan harga yang “telah” dikuasai pasar, para pelaku usaha minyak goreng bahkan para spekulan dan mengarah pada kartel serta melimpahnya stok dan persediaan minyak goreng di pasaran pasca pemerintah mencabut HET.

Selain itu faktor geografis wilayah Indonesia menjadi salah satu problem rantai distribusi yang berjenjang. Panjangnya jalur distribusi membuat harga komoditas di tingkat produsen jauh berbeda dan mahal ketika sampai di tangan konsumen. Melepas harga ke pasaran atau melalui mekanisme pasar merupakan wujud kegagalan pemerintah dalam melindungi rakyatnya, apalagi kebutuhan pokok lain ikut merangkak naik jelang bulan puasa. Lagi-lagi masyarakat yang menjadi tumbal. Taji dan nyali pemerintah melalui Kemendag, KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), salah satu lembaga yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang yang terkait dengan larangan monopoli serta persaingan usaha yang tidak sehat serta Satgas Pangan diuji untuk segera menuntaskan problematika dan carut marut minyak goreng. Jangan sampai soal minyak goreng terus ‘digoreng’ oleh pihak-pihak yang mencari cuan di tengah penderitaaan masyarakat. Sebuah ironi memang, negeri yang kaya kelapa sawit bahkan salah satu produsen terbesar di dunia kelapa sawit (Crude Palm Oil) justru tidak dapat menikmatinya. Ibarat pepatah tikus mati di lumbung padi, sebuah potret di luar nalar.

Mengurangi Ketergantungan

Sebenarnya dibutuhkan pemahaman dan sosialisasi di masyarakat alternatif atau opsi memasak selain menggoreng seperti memanggang, mengukus atau membakar secara gradual karena selain mengurangi ketergantungan akan minyak goreng sekaligus mereduksi risiko potensi memunculkan berbagai penyakit. Harus diakui, saat ini budaya dan perilaku memasak dengan cara menggoreng sudah menjadi kebiasaan masyarakat baik skala rumah tangga, usaha kecil seperti warung, PKL hingga restoran. Tak dipungkiri metode menggoreng lebih praktis, sajian lebih cepat, langsung dapat dinimati, rasa lebih gurih dan lezat memanjakan lidah, lebih ber-taste, relative tidak menghabiskan bahan bakar LPG (hemat dan ekonomis), tradisi masyarakat dan pola perilaku masyarakat yang cenderung instan seakan menjadi komponen utama mengapa eksistensi minyak goreng terus meningkat.

Di sisi lain permintaan pasar (demand) terus meningkat seiring dengan bertambahnya usaha, warung dan restoran hingga bertambahnya jumlah anggota keluarga dari tahun ke tahun turut mempengaruhi. Dari sisi kesehatan, mengolah makanan dengan metode penggorengan memang menjadi kebiasaan masyarakat namun tanpa disadari adalah risiko harus dipahami antara lain, makanan yang digoreng memiliki jumlah kalori yang sangat tinggi dan mengandung trans fat yaitu dapat meningkatkan risiko penyakit kronis di kemudian hari seperti jantung, diabetes dan kanker. Berbagai nutrisi bermanfaat yang terkandung dalam makanan tersebut juga cenderung menyusut dan hilang dengan proses memasak ini. Selain itu bila harus memakai minyak goreng harus jeli memilah dan memilih jenis minyak goreng yang memiliki lemak tak jenuh seperti minyak kelapa, minyak avokad, minyak kanola, biji anggur, minyak zaitun, minyak kacang tanah, minyar sayur, minyak wijen hingga minyak dari bunga matahari sebagai alternatif bahan minyak goreng. Memang harga lebih mahal dan bahan lebih sulit diperoleh menjadi hambatan seseorang dalam memilih jenis minyak goreng tersebut.

Apalagi saat ini menjelang Ramadhan tren peningkatan kebutuhan pangan dan aktivitas memasak meningkat baik untuk menyajikan hidangan sahur maupun berbuka serta persiapan sajian makanan dan kue-kue lebaran yang akan datang. Semoga krisis minyak goreng tidak terus berlanjut dan dapat dikendalikan oleh pemerintah sebagai wujud mandat dari rakyat serta kebutuhan pokok lain dapat benar-benar dipastikan stok aman dan harga yang terjangkau di tengah-tengah kesulitan masyarakat yang kian tercekik akibat dampak pandemi yang belum berakhir. Jangan sampai pemerintah justru dikendalikan oleh para oknum yang berupaya mengambil keuntungan diatas penderitaan masyarakat dengan jalan mempermainkan stok seperti menimbun dalam jumlah besar dan melakukan praktik culas seperti kartel. Kartel adalah gabungan perusahaan sejenis yang bertujuan mengendalikan produksi, persaingan, dan harga. Kartel biasanya merupakan asosiasi dalam bidang bisnis yang sama, dan merupakan aliansi para pesaing dan merupakan aktivitas persaingan tidak sehat yang diatur dalam Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dampak kartel juga dirasakan langsung oleh masyarakat kecil secara menyeluruh. Dari sinilah disimpulkan terjadi pelanggaran norma hukum oleh perusahaan karena menyimpang dari persaingan sehat (fair competition). Praktik-praktik inilah yang harus diberantas bahkan dapat digolongkan sebagai terorisme ekonomi dimana “membunuh” masyarakat melalui aktivitas ekonomi culas dan tak beradab yang berujung menyengsarakan dan menambah penderitaan masyarakat luas.

———– *** ———–

Rate this article!
Tags: