Menggugah Kesadaran Perlindungan Anak

SukesiOleh :
Sukesi
Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Provinsi Jatim

Beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 23 Juli, bangsa ini memperingati Hari Anak Nasional (HAN). Momentum peringatan HAN yang berbarengan dengan hajatan Pemilihan Presiden (Pilpres) membuat gaung dan pesan peringatan HAN di media massa nyaris tidak terdengar. Nampaknya, isu tentang anak kalah ‘seksi’ dibandingkan dengan isu panas terkait dengan pertarungan Pilpres.
Sepinya media dalam mengirimkan pesan peringatan HAN tahun ini tentu tidak lantas membuat gairah kita untuk terus membangkitkan semangat dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak di Indonesia menyurut. Mengapa? Tidak lain karena masih banyak hal-hal menyedihkan yang muncul belakangan ini yang menimpa anak-anak.
Simak saja, kejadian demi kejadian menunjukkan betapa anak-anak menjadi kelompok yang sangat rentan untuk menjadi korban. Kasus yang fenomenal misalnya terbongkarnya kasus pelecehan seksual yang terjadi di sebuah lembaga pendidikan berkelas yakni Jakarta International School (JIS). Kasus pelecehan seksual terhadap siswa JIS menyadarkan publik tentang pentingnya perlindungan anak. Sekolah (baca : JIS) yang terlihat wah dan elit ternyata menyimpan persoalan besar. Kenyataan itu pada derajat tertentu tak pelak membuat orangtua was-was terhadap keselamatan anaknya setelah meninggalkan rumah untuk menuntut ilmu di sekolah. Sekolah yang diharapkan menjadi rumah kedua bagi anak-anak, seolah kini tak lagi dianggap mampu melindungi anak dari berbagai tindak kekerasan. Memang, kita tak bisa menggeneralisasi bahwa semua sekolah tidak aman bagi anak-anak. Masih sangat banyak sekolah yang betul-betul menjadi lembaga pendidikan, sekaligus “rumah kedua” yang aman dan nyaman bagi anak. Meski demikian, kasus-kasus di atas tak bisa dianggap sepele dan hendaknya menjadi sirine tanda bahaya bagi anak-anak.
Apa yang terjadi di JIS ini jelas membukakan mata kita betapa kekerasan dan pelecehan terhadap anak-anak bisa terjadi di sebuah lembaga berkelas internasional yang mungkin bagi publik tidak pernah menduganya. Idealnya, dunia pendidikan adalah tempat yang ramah anak dan paling tepat untuk menyemaikan nilai-nilai sosial sekaligus menjadi miniatur betapa nilai-nilai tersebut dipraktikkan dalam lingkungan pendidikan.
Kasus menghebohkan lainnya adalah kasus predator seks anak di Sukabumi yang dilakukan oleh AS alias Emon terhadap 110 orang anak usia 8 – 13 tahun. Kasus sejenis dengan tingkat yang berbeda juga terjadi di Pekanbaru Riau,  Lampung, Medan, dan Malang. Selain kekerasan seksual oleh predator seks anak seperti tersebut di atas, dunia anak kita juga dikejutkan dengan kabar tewasnya Renggo Khadafi (11 tahun), siswa kelas V SD Kampung Makasar Jakarta Timur. Korban dikeroyok oleh kakak-kakak kelasnya, hanya karena menumpahkan makanan kecil kakak kelasnya tersebut. Demikian pula dengan peristiwa serupa yang terjadi di tempat-tempat lainnya.
Perlindungan Anak
Perlindungan terhadap anak adalah segala kegiatan yang menjamin dan melindungi anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal. Adapun yang dikatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan dan hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dilindungi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.
Sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan produk hukum untuk melindungi anak. UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan bahwa pemerintah dan lembaga lain berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas yang terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, serta anak yang diperdagangkan.
Secara tegas hak-hak anak tercantum dalam UU ini yakni pada pasal 4 berbunyi, “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”
Kemudian pada Pasal 77 UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”
Undang-Undang ini cukup tegas dan bagus. Namun, fakta di lapangan setiap hari di jalan jalan raya, di lampu merah kita masih melihat anak-anak jalanan dan anak-anak yatim piatu. Mereka berada di jalan untuk bertahan hidup dengan mengamen, meminta-minta, mengelap kaca mobil ketika mobil berhenti di lampu merah. Mereka berada pada tempat yang salah karena seharusnya mereka berada di rumah atau di sekolah.
Bertolak dari hal tersebut, kita kembali menggugah kesadaran orangtua, guru, pemerintah, dan publik tentang pentingnya pengawasan dan perlindungan terhadap anak. Pertama, orangtua merupakan kunci pertama dan utama untuk melindungi anak. Umumnya, kekerasan terhadap anak atau yang dilakukan anak berawal dari minimnya perhatian orangtua.
Kesibukan orangtua mencari nafkah membuat komunikasi dengan anak menjadi sangat minim. Akibatnya, orangtua hampir tak mengetahui perkembangan anak-anaknya. Jangankan mencurahkan perhatian dan kasih sayang, bertanya tentang kemajuan pelajaran sekolah anak pun tak sempat. Apalagi, mencari tahu secara detail kegiatan anak selama di sekolah, siapa saja teman bermain dan bergaul mereka, hingga kemungkinan anak mengalami tindak kekerasan atau pelecehan seksual.
Solusi untuk mengatasi kekerasan terhadap anak dan upaya meredam anak melakukan tindak kekerasan harus dimulai dari rumah. Orangtua berkewajiban memberikan waktunya bagi anak. Komunikasi, perhatian, kasih sayang, dan teladan orangtua merupakan resep mujarab untuk membuat anak-anak lebih mudah belajar, memiliki sikap dan kepribadian unggul, serta toleran. Sejak kecil, anak-anak juga harus dididik berani menyampaikan pendapat. Dengan demikian, bila mengalami tindak pelecehan atau kekerasan baik yang dilakukan sesama teman, guru, atau orang lain, mereka bisa mengadukannya kepada orangtua.
Di sisi lain, orangtua patut menaruh curiga bila anak-anaknya berperilaku berbeda dari biasanya. Bila keterbukaan anak dan kepedulian orangtua berpadu, berbagai tindak kekerasan bisa dicegah dan diatasi sejak dini. Kedua, memaksimalkan peran guru di sekolah. Sesungguhnya tugas guru bukan sekadar mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa, tetapi ikut mendidik layaknya orangtua. Dengan demikian, guru pun bertugas memantau perkembangan anak secara fisik dan psikis. Bila perkembangan anak terus terpantau di sekolah, kita yakin berbagai tindak kekerasan bisa diminimalisasi.
Ketiga, masyarakat dan pemerintah harus lebih berperan aktif melindungi anak-anak. Kita sudah memiliki UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, tetapi pelaksanaannya di lapangan masih mengecewakan. Sosialisasi UU Perlindungan Anak perlu semakin digencarkan agar masyarakat mengetahui hak-hak anak dan merealisasikannya.
Perhatian orangtua serta kepedulian guru, pemerintah, dan masyarakat kepada anak-anak diharapkan membuat mereka tumbuh kembang secara layak dan terhindar dari berbagai tindak kekerasan. Perlindungan juga wajib diberikan kepada anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotik, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan, anak yang menyandang cacat, serta anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Masa depan anak erat kaitannya dengan perlindungan anak. Artinya perlindungan anak menjamin anak berkembang secara optimal sehingga secara otomatis masa depan anak menjadi terjamin. Semoga.

—————- *** ——————

Rate this article!
Tags: