Menggugat Legitimasi DPR

Akhir masa kerja DPR periode 2014-2019, diguncang unjukrasa, sehubungan dengan fungsi legislasi. Mahasiswa berbagai perguruan tinggi negeri (PTN), dan kampus swasta, turun ke jalan. Bukan hanya di Jakarta, melainkan juga di beberapa daerah. Selain mendatangi gedung DPR-RI, unjukrasa di daerah dilakukan di halaman gedung DPRD propinsi, serta DPRD Kabupaten dan Kota. Tuntutannya, menolak Rancangan undang-undang (RUU) yang akan disahkan.
Unjukrasa mahasiswa, telah dinyatakan sehari sebelumnya. Tetapi tak terduga, demo terjadi secara masif, serasa tiba-tiba. Realitanya, peserta unjukrasa, bukan hanya mahasiswa. Melainkan juga masa dari luar kampus. Bahkan disusul keterlibatan pelajar SMK. Berbagai analisis pergerakan menduga aksi mahasiswa disusupi “tamu tak diundang.” Walau situasi ibukota (Jakarta), dan kota-kota yang dilanda unjukrasa masih tetap kondusif. Yang menimbulkan kerusuhan ditangkap Polisi.
Tidak mudah menangani unjukrasa yang dilakukan pelajar SMK (Serkolah Menengah Kejuruan), karena tergolong anak-anak. Indonesia telah meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang anak. Sehingga perlakuan terhadap pengunjukrasa “anak-anak” mesti dilakukan hati-hati. Gerakan ekstra parlementer, biasanya di-dominasi oleh mahasiswa, buruh, dan kaum tani. Dilarang melibatkan anak dibawah umur. Unjukrasa masif yang diikuti pelajar SLTA, pernah terjadi empat dekade silam (tahun 1979).
Tetapi unjukrasa saat ini, tergolong fenomena baru, seiring maraknya penggunaan media sosial (medsos). Keterlibatan unjukrasa bisa tertular dari ajakan melalui medsos berantai. Cukup megkhawatirkan terjadi kerusuhan. Sehingga Pemerintah Kota Surabaya mengeluarkan surat edaran kegiatan belajar mengajar di rumah (liburkan) pada hari Kamis (26 September). Sekolah yang diliburkan, sesuai kewenangan Pemerintah Kota, yakni tingkat TK (Taman Kanak-kanak), SD, dan SMP sederajat.
Unjukrasa sebagai sarana pendapat rakyat, dijamin konstitusi. UUD pasal 28, menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Berdasar amanat konstitusi, DPR (hasil pemilu 1997) bersama pemerintah menerbitkan UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Pada pasal 6 huruf d, dinyatakan, unjukrasa wajib menjaga keamanan dan ketertiban umum.
UUD pada pasal 28J ayat (2), juga mengamanatkan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Unjukrasa telah “memenangkan” tuntutan. Presiden telah memanggil Ketua DPR, Ketua Komisi III (Bidang Hukum), dan Ketua fraksi. Dua RUU (tentang KUHP, dan Pemasyarakatan) yang siap disahkan, ditunda. Sedangkan empat RUU lain, yang masih dalam pembahasan di DPR, juga ditunda. Pembahasan RUU yang ditunda, antara lain RUU Pertanahan, karena diduga mengarah pada liberalisasi penguasaan tanah. Serta UU Minerba, yang dianggap pro-korporasi, dan dapat “meng-kriminalisasi” masyarakat yang menolak pertambangan.
Maraknya unjukrasa terhadap hasil kerja DPR saat ini, seyogianya dipahami sebagai delegitimasi terhadap parlemen. Rakyat tidak percaya kepada DPR. Padahal UUD pasal 20A ayat (1) memberikan hak (otoritas) legislasi kepada DPR. Amanat konstitusi selanjutnya di-breakdown dalam UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD). Pada pasal 81 huruf j, dinyatakan, wajib menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat.
Andai DPR telah menampung, dan menindak lanjuti aspirasi rakyat, niscaya tidak terjadi unjukrasa masif. Bahkan masyarakat menduga, selalu terdapat “harga” pada setiap pengesahan RUU.

——— 000 ———

Rate this article!
Menggugat Legitimasi DPR,5 / 5 ( 1votes )
Tags: