Menggugat Peran Orang Tua dalam Pendidikan Anak

Oleh:
Suhadaq SPdI
Penulis adalah Guru PAI SDN Talunrejo 3 Bluluk Lamongan

DALAM beberapa tahun terakhir, berbagai permasalahan pendidikan muncul ke permukaan. Kasus-kasus semacam siswa “melawan” guru, orang tua melaporkan guru ke polisi sebab tidak terima dengan tindakan guru, guru yang dianiaya oleh wali murid, dan semacamnya, adalah wujud ketidaksepahaman orang tua dan guru dalam proses pendidikan anak. Hal-hal semacam ini patut mendapat perhatian serius. Sebab disadari atau tidak, kejadian tersebut berdampak buruk dalam proses pendidikan ke depan.
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, guru, dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan “Tri Pusat Pendidikan” Ki Hajar Dewantara, bahwa lingkungan pendidikan yang memengaruhi anak meliputi tiga hal, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Oleh karenanya, kerja sama antara ketiganya mutlak diperlukan agar pendidikan anak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Kita tentu masih ingat dengan kasus guru yang dianiaya muridnya hingga membuat nyawa sang guru melayang di Sampang Jawa Timur. Di tempat lain, guru dilaporkan orang tua ke polisi kerap mewarnai pemberitaan media massa. Yang masih hangat adalah kasus di Gresik Jawa Timur. Bagaimana seorang guru diperlakukan sangat tidak pantas oleh muridnya sendiri. Tragisnya, guru tersebut terkesan “tak berdaya” dengan perlakuan muridnya.
Kasus yang muncul akibat video viral di media sosial itu tentu membuat siapapun yang melihat akan mengelus dada. Bagaimana tidak. Ketika guru menyaksikan perbuatan tidak terpuji yang dilakukan oleh siswa, guru terkesan “diam”. Mengapa hal itu bisa terjadi? Pertanyaan ini penting dikemukakan. Sebab, posisi guru sangat menentukan dalam dunia pendidikan. Ketika guru “tak peduli” dengan perilaku siswa, tentu hal semacam ini tak bisa dibiarkan dan dipandang remeh begitu saja.
Disebutkan dalam Pasal (3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung-jawab. Artinya, guru yang berhadapan langsung dengan peserta didik, tentu memiliki peran strategis untuk mewujudkan tujuan itu.
Masalahnya, posisi guru saat ini serba dilematis. Di satu sisi, mereka dituntut bisa menjalankan fungsi mengantarkan siswa mencapai tujuan pendidikan. Namun di sisi lain, guru dihadapkan dengan berbagai persoalan akibat pergeseran cara pandang masyarakat dalam dunia pendidikan. Alhasil, bagaimana guru bisa dengan nyaman menjalankan tugasnya jika senantiasa dibayang-bayangi dengan variabel lain, semacam Undang-undang Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)?
Sinergisitas Orang Tua dan Guru
Jika mau menelaah lebih jauh, siswa yang mengalami permasalahan karakter ketika di sekolah tidak semata-mata murni “hasil didikan” sekolah. Tengok misalnya penelitian Mangusdi (2010), salah satu sebab kenakalan adalah kesalahan sikap orang tua dalam mendidik anaknya. Kesalahan-kesalahan orang tua diantaranya bersikap otoriter (16,6%), overprotection (10%), kurang memperhatikan (40%), dan tidak memperhatikan anak sama sekali (33,4%). Artinya, keluarga adalah madrasatul ula, pendidikan yang pertama dan terutama. Peranan orang tua dalam pendidikan awal sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan anak selanjutnya.
Ironisnya, ketika “kenakalan” itu terbawa ketika di sekolah, justru orang tua tak terima dan memaksa guru harus berhadapan dengan hukum dan kepolisian. Padahal, PP Nomor 74 Tahun 2008 Pasal 39 ayat 1 jelas menyebutkan, guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya. Sanksi dijelaskan dalam ayat 2 dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.
Bahkan, Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) juga menyebutkan, bahwa guru tidak bisa dipidana ketika menjalankan profesinya dan melakukan tindak pendisiplinan terhadap siswa. Yurisprudensi yang muncul tahun 2016 itu bermula ketika seorang guru dari Jawa Barat didakwa pasal berlapis karena dianggap melanggar Undang-undang perlindungan anak dan KUHP setelah melakukan pendisiplinan terhadap siswanya. Meski telah dijatuhi hukuman percobaan oleh pengadilan, hukuman tersebut dianulir oleh Mahkamah Agung dan menjatuhkan vonis bebas murni kepada sang guru.
Artinya, guru memiliki “keleluasaan” mengambil tindakan yang dianggap perlu bagi siswa yang indisipliner. Lantas, mengapa kriminalisasi terhadap guru terus terjadi hingga hari ini? Memang tak dibenarkan jika tindakan yang disebut kekerasan oleh guru itu berupa kekejaman yang menciderai fisik dan psikis anak didik. Namun jika yang dilakukan guru masih dalam batas kewajaran, dan tentunya dalam koridor pendidikan dan proses pembelajaran agar siswa dapat menjadi lebih baik, orang tua semestinya mendukung dan tidak gegabah demi perkembangan pendidikan anak ke depan.
Untuk itulah, dengan berbagai kasus yang terjadi, sudah saatnya orang tua, guru, masyarakat, serta siapapun yang berkepentingan dalam dunia pendidikan duduk bersama dan membangun sinergisitas. Peran komite sekolah bisa dimaksimalkan sedemikian rupa untuk menjembatani antara orang tua dan pihak sekolah. Sehingga ketika muncul permasalahan pendidikan anak di sekolah, orang tua tidak serta merta membawanya ke ranah hukum. Toh ketika kriminalisasi guru ini muncul ke permukaan akibat perkembangan teknologi informasi, ujung-ujungnya adalah mediasi dan duduk bersama.
Hakekatnya, pendidikan anak adalah tanggung jawab keluarga. Jika yang digaungkan kembali saat ini adalah Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) seiring terbitnya Peraturan Presiden RI Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), mustahil hal tersebut bisa dijalankan dengan baik jika tidak ada kerja sama yang serius antar semua komponen, baik dari lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, dan terutama lingkungan keluarga. Bagaimana menurut Anda?

———- *** ————-

Tags: