Menghadap Sang Ilahi, Dikenal Luas Sebagai Mudawim Sholawat Nariyah di Situbondo

KH Achmad Sibawayhie Syadzli

(Sosok KH Achmad Sibawayhie Syadzli, Pengasuh Ponpes Nurul Wafa Besuki)
Situbondo, Bhirawa
Salah satu kiai yang sangat berpengaruh di Kota Santri Situbondo sekaligus pengasuh pondok pesantren (ponpes) Nurul Wafa Besuki Situbondo, KH Achmad Sibawayhie Syadzli berpulang ke pangkuan Sang Ilahi, dua hari yang lalu.
Kiai kharismatik itu cukup lama dikenal sebagai mudawim (pengamal secara istikomah) sholawat nariyah yang sudah jama’ di kalangan Nahdliyin. Adalah Syaikh Ahmad At-Tazi al-Maghribi (Maroko) penyusun dari sholawat itu.
Menurut Syaikh Abdullah al-Ghummari, penamaan Nariyah terjadi tashif atau perubahan dari kata yang sebenarnya taziyah. Di Maroko sendiri shalawat ini dikenal dengan shalawat Taziyah, sesuai dengan nama kota pengarangnya.
Sementara Syaikh Muhammad Haqqi Afandi An-Nazili, dalam kitabnya Khazinatul Asrar, mengutip perkataan Syaikh Al-Qurthubi menamai shalawat ini dengan shalawat tafrijiyah.
Demikian pula Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani menyebut dengan nama shalawat At-Tafrijiyah dalam kitabnya Afdlal ash-Shalawat ala Sayidi as-Sadat.
Mengingat sosok almarhum KH Achmad Sibawayhie Syadzli sendiri sudah mendapat sanad sholawat ini dari gurunya KH Abdul Aziz putra KH Ali Wafa Temporejo Jember semasa beliau masih mondok.
“Beliau juga mendapat sanad yang bersambung ke penyusunya dari Syeikh Amin Al-Qutbi saat beliau menunaikan Ibadah Haji pertama tahun 1971. Dari sanad itu, beliau mengamalkan bacaan sholawat nariyah sebanyak 4444 kali,” aku cucu KH Achmad Sibawayhie, Abdul Fatah.
Kata Abdul Fatah, sepulang dari haji pertama tahun 1972 beliau masih tinggal di Kalianget Banyuglugur, Situbondo. KH Sibawayhie kala itu mulai mengajak beberapa orang untuk mengamalkan pembacaan sholawat nariyah 4444 dengan istiqomah setiap malam Jum’at.
Awalnya, kata Abdul Fatah, pembaca sholawat nariyah kala itu baru 7 orang. “Jamaah ini kala itu tidak berkembang signifikan. Itu karena prinsip beliau adalah keistiqomahan biar sedikit asal istiqomah akan menjadi lebih baik daripada banyak jama’ah namun akhirnya bubar.” Jelas Abdul Fatah.
Abdul Fatah menambahkan, ketiak beliau hijrah ke desa Demung Kecamatan Besuki untuk mendirikan pesantren, pembacaan sholawat 4444 itu tetap istiqomah dijalankan dengan mengajak seluruh santri putera maupun puteri.
Prinsipnya, urai Abdul Fatah, beliau tetap sama tidak ingin mengajak ratusan atau ribuan jamaah karena dikhawatirkan tidak bertahan lama.
“Namun tidak secara ekslusif untuk kalangan sendiri dan juga terbuka bagi siapa saja yang ingin ikut dipersilahkan oleh beliau,” ujar Abdul Fatah.
Masih kata Abdul Fatah, selain benar-benar ahli sholawat dan ahli tirakat yang sangat istiqomah, tidak jarang pembacaan sholawat sebanyak 4444 kali di baca sendirian tanpa dibagi dan dibantu orang lain.
Bahkan, katanya, saat memasuki usia yang sudah senja, KH Sibawayhie masih kuat duduk berjam-jam di hadapan makam Rasulullah mulai waktu Ashar sampai selepas Isya’.
“itu dilakukan tanpa berganti posisi dan tempat sedikitpun. Semua di lakukan demi santri-santri dan anak cucunya,” ungkap Abdul Fatah.
Pembacaan sholawat nariyah, sambung Abdul Fatah, sudah biasa diamalkan sejak muda dan secara istiqomah diamalkan dalam keadaan apapun. Bahkan sekitar 3 jam menjelang wafatnya, KH Sibawayhie meminta para asatidz yang datang menjenguk di rumah sakit untuk mengadakan istighosah Sholawat Nariyah di dekat tempat ia dirawat.
“Saat akhir istighosah beliau masih berkenan berdo’a dengan isyarat menengadahkan tangannya meski dengan segala keterbatasannya,” kenang Abdul Fatah.
Abdul Fatah menuturkan, kiai Sibawahyhie, sering mendapat isyarah-isyarah langit tetang kejadian dan musibah yang akan terjadi. Dengan isyarah itu, ujar
Abdul Fatah kembali menegaskan, sekitar 40 hari sebelum wafat kiai Sibawayhie memberi kabar kepada salah satu putranya (KH. Mahfud) bahwa usianya kala itu sudah menjelang akhir. Kiai Sbawayhie menuturkan bahwa telah ditunggu Rasulullah, oleh putra diterjemahkan agar bisa melaksanakan umroh kembali.
“Namun beliau menolak karena lebih baik bertemu langsung dengan Sang kekasih, Rasulullah SAW,” terangnya.
Menurut kacamata Abdul Fatah, ia sangat yakin kiai Sibawayhie masuk sebagai salah satu Waliyullah dengan adanya tanda-tanda yang sangat nampak jelas dimata meski tanpa karomah khoriqul ‘adah.
“Keistiqomahan, keserdehanaan, keihklasan, akhlak, nasihat hikamah beliau sudah sangat cukup mendiskripsikan sebagai waliyun min auliyaillah. selamat jalan kiai. Engkau telah berjumpa kekasih-Mu,” pungkas Abdul Fatah. [awi]

Tags: