Menghadirkan Solidaritas Sosial Mudik

Yeny OktarinaOleh :
Yeny Oktarina
Pengajar FKIP Civic Hukum ( PPKn) Universitas Muhammadiyah Malang

Waktu istimewa dan menggembirakan setelah diwajibkannya umat Islam berpuasa di bulan Ramadan 1437 H, yaitu datangnya Idul Fitri atau biasa yang disebut Lebaran. Tanpa mengurangi khidmatnya menjalani ibadah puasa, hampir semua kaum muslim menunggu datangnya Lebaran. Beragam persiapan pun dilakukan, baik di perdesaan maupun perkotaan. Bagi penduduk kota, membincang Lebaran tak dapat dilepaskan dari kata “mudik”.
Realitas mudik di negeri ini, kalau kita amati bersama memang telah menjadi fenomena sosial-kultural permanent bangsa Indonesia yang sudah dikenal ribuan tahun lalu sebelum zaman Majapahit. Berbagai alasan rasional pun seolah sudah kerap dirajut untuk menjelaskan fenomena yang teranyam rapat dalam nilai kultural bangsa ini secara turun temurun.
Selain mudik sebagai realitas permanen, mudik juga mendapatkan legitimasi agama yang kuat karena agama memberikan makna ibadah yang strategis dalam mudik yaitu untuk silaturahmi dengan keluarga dan masyarakat kampung halamannya. Dalam agama silaturahmi dipandang sebagai ibadah yang tidak boleh ditinggalkan, bahkan melalui silaturahmi. Pasalnya, melalui silaturahmi usia seseorang dapat diperpanjang dan rezekinya pun akan bertambah banyak.
Mengingat penguatan mudik dari aspek religius itulah, mudik harus mendapatkan pemaknaan yang positif untuk menjalankan ajaran agama yaitu menyempurnakan ibadah puasa yang sudah dilakukannya selama sebulan penuh dengan silaturahmi. Pulang mudik sekali setahun tidak hanya melepas kerinduan pada kampung halaman, tetapi juga mengandung makna yang jauh lebih mendalam. Jika sekadar mengobati kerinduan pada keluarga atau kampung halaman, tentu dapat dilakukan di lain waktu, di luar waktu seputar Lebaran. Fenomena tersebut memperlihatkan betapa kuatnya hubungan batin antara penduduk yang hidup di kota dengan penduduk di desa walaupun telah ratusan hari atau tahunan berpisah.Budaya mudik Lebaran tetap saja lestari.
Solidaritas pemerintah
Mudik telah menjadi kebersamaan yang mendarah daging, semua yang menghuni tanah air yang bernama Indonesia. Mudik pada mayoritas entitas bangsa Indonesia, dalam perspektif sosial biasanya dianggap sebagai semacam kebutuhan kultural yang seolah-olah sebuah kekuatan yang mampu “memaksa” para perantau pulang kampung untuk mengunjungi orang tua dan kerabat mereka pada saat Lebaran.
Peristiwa mudik bukan hanya kepentingan agama tertentu yang memulai dan itu sungguh mulia, juga bukan hanya terjadi di satu pulau saja meskipun sering terhenti membicarakan Jawa, atau kepentingan satu suku seakan kita lupa suka yang lain. Mudik menjadi unsur dalam bahan pokok kehidupan, menjadi hajat hidup orang banyak, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari rasa nasionalisme berbangsa dan bertanah air dan berpengharapan yang sama. Barangkali ketika berbagai peristiwa cenderung memisah dan membelah, cenderung kembali ke cangkang primordial yang mencekal,mudik telah ada dan memberi jawaban dalam rumusan yang indah, damai,dan berkelanjutan.
Mudik yang awalnya merupakan kegiatan mudik yang bertujuan untuk menengok dan membersih kan makam leluhur dengan memanjatkan doa kepada para dewa. Seiring dengan masuknya pengaruh Islam, kegiatan mudik seperti itu mulai luntur dan muncul kembali dengan memanfaatkan momentum Idul Fitri. Dengan demikian kegiatan mudik juga salah satu kegiatan khas solidaritas sosial, sekaligus suatu bentuk kearifan lokal bangsa.
Kebutuhan kultural itu begitu kuatnya dan mendorong orang untuk pulang mudik. Terlihatnya wajah para pekerja atau perantau yang akan menyiapkan datangnya Lebaran dengan mudik, banyak dihiasi dengan kegembiraan. Kenyataan itu, akan semakin terpancat ketika mereka sampai di kampung halamannya, rasa syukur pun mereka perlihatkan dengan beragam simbol dan pernik-pernik Lebaran. Mulai dari menu hidangan, pakaian baru hingga ucapan selamat hari raya.
Di sinilah muncul sejatinya khazanah adiluhung budaya mudik sebagai upaya menghidupkan kembali nilai-nilai tepa slira, guyub dan rukun dalam kebersamaan di desa.Tepatnya menegasikan kearifan kultural orang-orang kampung. Inilah sejatinya buah terindah dari budaya mudik itu. Sebab, idealnya,mudik memang mesti dijadikan momentum yang tepat untuk menggalang solidaritas sosial. Berangkat dari khazanah adiluhung ini keunikan fenomena mudik di negeri ini bisa dilihat dari berbagai aspek dinamis.
Pertama, aspek perkembangan rasionalitas masyarakat., mudik mempunyai motif tradisionalistis. Mudik dapat dipandang sebagai penegasan rutin keanggotaan warga kota besar pada komunal daerah asal di desa atau kota-kota yang lebih kecil. Warga kota-kota besar mudik pada umumnya mudik karena alasan praktis seperti rekreasi keluarga dalam suasana kekeluargaan; pertemuan keluarga luas yang praktis, efisien, dan pada saat yang tepat secara sosio-kultural.
Kedua, hadirnya kearifan kultural. Ada dua fakta penting yang mengiringi motivasi mudik, yaitu budaya silaturahmi dan ziarah ke makam sesepuh. Mengenai budaya silaturahmi, terjadi fenomena masif saling memaafkan antara satu orang dengan lainnya. Bahkan ada yang mengadakan acara rutin tahunan yang dikemas dalam reuni keluarga (halalbihalal). Kegiatan ini dilakukan terutama untuk memberdayakan masyarakat desa dari ketidakberdayaan.
Ketiga, motivasi pemerataan ekonomi dan penguatan jaringan sosial. Tradisi mudik senyatanya mempunyai dampak positif bagi sebuah sistem ekonomi, yakni mengalirnya uang dari kota ke desa. Pada saat bersamaan, mudik dapat bertalian dengan lobi sosial dalam kerangka penguatan dan perluasan modal sosial.
Selain berangkat dari aspek dinamis khazanah adiluhung tersebut, sebenarnya ada faktor lain yang urgent kiranya perlu dihadirkan solidaritas sosial dalam membantu proses lancarnya para pemudik, yakni faktor keamanan dan kenyamanan sudah semestinya pemerintah mampu memfasilitasi, karena sesungguhnya budaya mudik yang telah menjadi rutinitas tahunan bukan sepi persoalan.
Mulai dari mahalnya pengorbanan material dan psikologis yang harus dikeluarkan oleh pemudik hingga besarnya biaya yang dikeluarkan pemerintah sendiri untuk mendukung suksesnya proses mudik. Gaji dan THR yang diperoleh para pekerja selama satu tahun bekerja di kota pun terkurangi untuk keperluan mudik ke kampung halamannya. Belum lagi ditambah dengan keperluan-keperluan belanja di hari Lebaran. Realitas pencopetan dan penipuan yang dilakukan para calo telah menjadi masalah tambahan yang selalu mewarnai budaya mudik Lebaran. Termasuk risiko rawan kecelakaan yang kerap memakan korban yang tidak sedikit tiap tahunnya.
Demikian pentingnya budaya mudik ini sehingga perlu peranan pemerintah sebagai pelayan masyarakat untuk menyediakan sarana transportasi yang memadai dan manusiawi. Mudik tidak bisa dilawan siapa pun. Suka atau tidak, mudik menjadi bagian sah dari realitas hidup para urban. Tradisi mudik selalu menghidupkan romantisme baru yang penuh pesona dan magis. Kita harus menghormatinya dan sudah selayaknya pemerintah memberikan jaminan fasilitas agar perjalanan mudik warganya memberikan keselamatan dan kenyamanan kepada masyarakat bahwa mereka dapat mudik dengan aman dan nyaman.

                                                                                                                    ———— *** ————-

Rate this article!
Tags: