Menghapus Kontra – Produktif

Karikatur-Vonis-Ringan-Koruptor-2Masa transisi pergantian rezim, memerlukan persiapan lebih seksama meliputi “selera” kebijakan. Hampir bisa dipastikan akan terdapat banyak perubahan, terutama cara pandang prioritas program pembangunan. Walau dalam hal pondasi hukum setingkat undang-undang (UU) sudah mengarah pada rel yang benar. Tetapi masih banyak peraturan dibawah UU berupa Peraturan Menteri (Permen) yang tidak produktif, dan terkesan aneh.
Misalnya suku bunga BI rate masih 7,5%. D Malaysia sekitar 5-6%, dan China hanya 4-5%. Selain itu pengucuran kredit untuk rakyat (KUR dan KUT) masih sulit dijangkau oleh petani dan masyarakat pedesaan. Persyaratan administrasi dan agunan aset tidak bisa dipenuhi oleh rakyat. Banyak petani dan nelayan terjebak bank thithil dengan bunga sampai 40% setahun. Lebih lagi, banyak koperasi dan leasing ber-praktik rentenir.
Bank thithil, leasing maupun koperasi, selama ini telah menghisap rakyat. Hal itu disebabkan sulitnya meng-akses sumber permodalan perbankan umum (BUMN, BUMD maupun swasta). Pada sisi lain, usaha besar dan menengah sangat mudah meng-akses permodalan dengan cara-cara melanggar hukum. Tidak sesuai peraturan L3 (lega, landing, limit) tetapi bisa menarik kredit bank. Buktinya, banyak kredit fiktif, ataupun kredit dengan agunan hanya fotokopi aset (surat berharga).
Kebijakan ini menyebabkan produk dalam negeri tidak mampu bersaing di pasar global, karena kendala modal. Antaralain berbagai produk pertanian, dan sektor UMKM berbasis industri rumahtangga, sulit berkembang. Padahal selama 15 tahun terakhir terbukti UMKM menjadi penyelamat perekonomian nasional. Pada sisi lain, ASEAN Economic Community (AEC) akan dimulai tahun 2015.
AEC sudah di pelupuk mata. Dalam skala nasional, size economics (ukuran ke-ekonomi-an) Indonesia memang yang terbesar di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Size economics, secara hukum pasar dimengerti sebagai ukuran Produk Domestik Bruto (PDB). Juga, terutama banyaknya penduduk. Dengan populasi sebanyak 256 juta jiwa, Indonesia merupakan pasar terbesar di ASEAN. Bahkan terbesar keempat di dunia.
Dengan populasi besar, maka Indonesia dalam AEC memiliki porsi sekitar 28% size economics. Porsi kedua dimiliki Thailand dengan porsi 18,25%, lalu negeri “secuil” Singapura sekitar 17%, lalu Malaysia (15%). Tetapi dalam hal sumber daya manusia, diketahui derajat IPM (Indeks Pembangunan Manusia) masih rendah. Tingkat IPM Indonesia masih berada pada posisi ke-6, dibawah Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand dan Filipina.
Terkait IPM, pemerintah Jokowi-JK harus mampu mendongkrak setinggi-tingginya. Salahsatu “pilar” utama IPM adalah tingkat pendidikan rakyat. Jokowi-JK harus meningkatkan angka partisipasi murni (APM) setiap jenjang pendidikan. Saat ini, rata-rata lama sekolah masih sekitar 8 tahun. Berarti belum lulus SMP. Padahal UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, telah diamanatkan wajib belajar selama 9 tahun (SD dan SMP).
Karena pada sektor pendidikan dibutuhkan kebijakan ekstra-partisipatif. Bilamana perlu dengan merevisi lagi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. PP tersebut sudah pernah direvisi dengan penerbitan PP Nomor 17 tahun 2010. Namun belum optimal “melindungi” hak ke-pendidik-an.
Begitu pula amanat UU (dan UUD pasal 31 ayat ke-4) tentang anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD, perlu diterbitkan PP-nya. Terutama tentang pelaksanaan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) perlu diterbitkan Perpres. Sampai saat ini masih banyak anak putus sekolah untuk bekerja menyokong perekonomian keluarga. Karena itu perlu diperlukan inovasi beasiswa khusus, berupa modal kerja penopang perekonomian keluarga.
Selain faktor IPM, duet Jokowi-JK mesti merevisi kebijakan kontra-produktif rezim masa lalu. Antaralain pada sektor pertanian dan perdagangan. Blusukan Jokowi perlu dialihkan ke sawah-sawah, ke pelabuhan, ke rumah-rumah penduduk miskin, dan ke sekolah.

                                                            ————— 000 —————-

Rate this article!
Tags: