Mengharap Prestasi PON XIX

Prestasi PON XIXMaskot PON (Pekan Olahraga Nasional) ke-19, monyet Surili, sudah bertebaran di seluruh pelosok negeri. Pertanda seluruh kontingen 34 propinsi sudah siap bertanding. Sebanyak 754 medali emas akan ditebar kepada yang tercepat, terkuat dan yang terbaik. Untuk pertama kalinya, PON bisa disaksikan live streaming melalui telepon genggam berbasis android. Namun yang lebih diharapkan, PON akan mencetak rekor baru (setidak-tidaknya) memecahkan rekor SEA Games.
Seperti filosofi kehidupan monyet Surili (presbytis comate) yang beraktifitas pada siang hari, menunjukkan kejujuran (fair-play) dan spontanitas. Monyet Surili, memang biasa bergerak cepat (dan berayun di pepohonan) bagai atlet. Seluruh pertandingan diharapkan berjalan sportif untuk menghasilkan prestasi yang sesungguhnya. Amanat UU Sistem Keolahragaan Nasional, PON merupakan road-map (peta jalan) menuju prestasi internasional.
Yang dicari pada even PON, sesungguhnya hanya pemecah rekor. Sedangkan predikat juara umum sekadar penghargaan kepada pemerintah propinsi. Sebab harus diakui, tak mudah (dan tak murah) mencetak atlet berprestasi. Terutama pola pembinaan yang berkonsekuensi dengan pagu anggaran ke-olahraga-an yang bersumber dari APBD. Semakin banyak atlet yang dibina, niscaya semakin membutuhkan anggaran lebih besar.
Sebagaimana amanat UU Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional pasal 69 ayat (2), secara tekstual dinyatakan: “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran keolahragaan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.” Bahkan secara spesial terdapat Peraturan Pemerintah (PP Nomor 18 tahun 2007 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Keolahragaan. Juga mewajibkan Pemerintah Daerah (propinsi serta kabupaten dan kota) mengalokasikan anggaran untuk keolahragaan.
Tidak setiap Pemda propinsi bisa memberi aanggar besar untuk bidang keolahragaan. Bergantung pada kekuatan APBD, serta pola prioritas pembangunan. Tetapi sesungguhnya, anggaran olahraga dapat diperoleh melalui partisipasi masyarakat. Gubernur, Bupati dan Walikota dapat menjembatani partisipasi kalangan pengusaha swasta nasional dan multi nasional, serta BUMN maupun BUMD yang ber-operasi di daerahnya.
Di berbagai negara (antaralain Australia Barat, Korea dan Jepang), partisipasi perusahaan menjadi kewajiban. Bisa melalui CSR (Corporate Social Responsibility, tanggungjawab sosial perusahaan) murni. Bisa pula dengan pola kerjasama mirip per-iklan-an. Bahkan salahsatu perusahaan  BUMN (Indonesia) memiliki klub sepakbola binaan di Inggris. Serta pengusaha swasta nasional menjadi pemilik klub yang berlaga di Serie-A Italia.
Namun PON bisa kehilangan fungsi filosofis-nya, manakala masih disusupi siasat pembusukan. Misalnya, pengaturan cahaya (berlebihan) pada venue indoor. Juga penggunaan alat sarana tanding yang berbeda dengan kebiasaan. Beda merek, maupun beda ukuran, niscaya bisa menyebabkan ke-canggung-an, mengubah kebiasaan atlet. Bisa berujung merosotnya prestasi. Cabor (cabang olahraga) menembak, panahan, dan anggar, sangat bergantung pada peralatan.
Begitu pula antar-daerah (propinsi) saling “membajak” atlet. Pembajakan atlet dengan iming-iming kesejahteraan menjadi marak. Ini tak beda dengan money politics ditataran politik praktis. Sehingga menjadi juara di even PON bukan cuma ditentukan potensi keolahragaan, melainkan dengan “segala cara” asal juara. Tidak hanya “membeli” wasit, melainkan juga rekayasa peralatan dan venue.
PON XIX di Jawa Barat, semula akan dimulai menandai hari olahraga nasional (Haornas), tetapi diundur. Namun puncak peringatan Haornas tetap pada 9 September di stadion Gelora Delta Sidoarjo. Presiden Jokowi akan meng-komando penyulutan obor PON. Selanjutnya obor PON akan dikelilingkan ke beberapa propinsi, berakhir di Bandung.
Namun PON, masih menghadapi masalah, mental pengurus cabor. Bahkan tingkat induk organisasi keolahragaan juga terjadi persaingan tak sehat antara KONI dengan KOI. Yang diperebutkan hanya anggaran pembinaan dari pemerintah. Menyebabkan prestasi atlet tak terurus.

                                                                                                            ———- 000 ———–

Rate this article!
Tags: