Menghayati Amerika Latin

Judul : Dari Adat ke Politik: Transformasi Gerakan Sosial di Amerika Latin
Penulis : Nur Iman Subono
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan : Pertama, April 2017
Tebal : xvi + 266 hlm; 148 x 220 mm
ISBN : 978-979-1260-67-1
Peresensi : Udji Kayang Aditya Supriyanto
Peminat kajian sosial dan budaya

Minat dapat datang begitu saja, tapi etos teruji sebentang waktu. Kita menjumpai tulisan berjudul Gerakan “Kiri” di Amerika Latin dalam Prisma nomor 3 tahun XXIII, Maret 1994. Tulisan tersebut ditulis Nur Iman Subono, sebentuk ulasan terhadap buku The Latin American Left: From the Fall of Allende to Perestroika (1993). Ulasan buku di Prisma itu menampilkan Nur Iman sebagai pengulas dan pengkritik buku-buku ihwal perpolitikan Amerika Latin. Tahun-tahun berjalan, Nur Iman beranjak menjelma pakar politik Amerika Latin di Indonesia. Hari ini, kita bisa membaca buku apiknya berjudul Dari Adat ke Politik: Transformasi Gerakan Sosial di Amerika Latin (2017). Buku Nur Iman itu diterbitkan Marjin Kiri, salah satu penerbit “berbahaya” dalam tematik sosial-politik.
Kita tak perlu kaget bahwa buku The Latin American Left yang pernah diulasnya tidak hadir di daftar pustaka alias tidak disertakan sebagai referensi. Padahal, Nur Iman mendaftar kepustakaannya sampai sepanjang lima belas halaman. Barangkali Nur Iman hendak menunjukkan betapa bacaan tentang politik Amerika Latin, terkhusus teks-teks berbahasa asing, sudah melimpah. Kita saja yang belum sanggup melakukan pengejaran terhadap tematik itu, sehingga buku-buku bermutu tentang politik Amerika Latin yang digarap penulis Indonesia masih sedikit. Paling-paling kita menjumpai biografi Che dan tokoh Amerika Latin yang digarap seadanya. Selain itu, alasan logis tak disertakannya The Latin American Left sebagai rujukan Nur Iman lantaran buku itu berfokus di kasus Cile dan Venezuela, sementara bukunya menyorot Ekuador dan Bolivia.
Pemilihan Ekuador dan Bolivia sebagai sorotan didasarkan pertimbangan khusus. Populasi penduduk asli Ekuador dan Bolivia berkisar 20 persen dari sekitar 40 juta jiwa seluruh populasi penduduk asli di sekujur wilayah Amerika Latin. Di Bolivia, penduduk asli adalah mayoritas (sekitar 60-71 persen dari total penduduk), sementara di Ekuador penduduk asli merupakan minoritas. Perbedaan ini tentu menarik, di tengah kenyataan keduanya sebagai negara termiskin di Amerika Latin. Pertimbangan kedua lantaran dua negara itu dikenal tak stabil secara politik, didominasi oleh kaum elite, diwarnai kudeta militer, dan institusionalisasi politiknya yang bersifat inchoate party system atau non or weakly institutionalized party system. Pertimbangan lain ialah adanya kesamaan tahun-tahun politik yang terjadi di kedua negara pilihan. Semua itu telah terjelaskan di bagian pertama buku.
Pada bagian-bagian berikutnya, kita bakal bisa menerima Dari Adat ke Politik tak semata sebagai sumbangsih pengetahuan, melainkan juga sumbangsih kebahasaan. Nur Iman tak luput menyoal “Indian”, istilah penting dalam obrolan ihwal masyarakat adat di Amerika Latin. “Kata ‘Indian’ sendiri kita tahu lebih merupakan kesalahan sejarah, karena saat Columbus mendarat di salah satu kepulauan Karibia dalam ekspedisinya, dia menyangka telah menemukan benua India yang menjadi tujuan utamanya dalam mencari rempah-rempah,” tulisnya (hlm. 22). Kemudian, ada dua problem dalam istilah Indian itu sendiri: seolah-olah penduduk asli ini homogen dan seragam di semua tempat (padahal penduduk asli Amerika Latin sangat heterogen), dan berkonotasi penghinaan atau perendahan penduduk asli.
Masyarakat adat, sekalipun mereka adalah penduduk asli, memang problematis dalam politik demokrasi. Kajian-kajian mengenai masyarakat adat, tekhusus yang telah sampai mendirikan partai politik berbasis etnik, lazim menyimpulkan bahwa mereka tak sejalan dengan demokrasi. Kita bisa menyimak, misalnya, tulisan Donald L. Horowitz di Ethnic Group in Conflict (1985), “dengan menonjolkan istilah-istilah etnik pada para pemilih, mengajukan tuntutan-tuntutan yang bernuansa etnik kepada pemerintah, dan mendukung elemen-elemen chauvinistik yang berbasiskan etnik kepada masing-masing kelompoknya, maka ini akan memulai mendorong perpecahan etnik yang akan semakin mendalam dan meluas.”
Bagian terakhir buku Dari Adat ke Politik menunjukkan betapa Nur Iman paham bahwa setiap kajian politik suatu negara atau wilayah di luar sana mesti pula dijadikan pelajaran untuk Indonesia. Diskusi gerakan masyarakat adat di Indonesia hampir selalu bisa dipastikan merujuk ke Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang berdiri pada tahun 1999, dan menjadi organisasi masyarakat adat tingkat nasional pertama di Indonesia. Memang, setahun setelah Reformasi 1998, beragam masyarakat adat tiba-tiba bangkit di berbagai wilayah Indonesia, “seperti letupan kawah gunung berapi” bila kita meminjam perumpamaan Nur Iman (hlm. 239). Di era mutakhir ini, kita pun mengenal Sedulur Sikep (lebih sering dikenal sebagai Wong Samin) yang menyuarakan penolakan keras terhadap pembangunan pabrik semen karena akan merusak ekosistem pegunungan Kendeng. Namun, karena kita heterogen dan tidak setiap kita bisa menerima kenyataan itu, kehadiran masyarakat adat dalam kontestasi politik nasional tentu sangat sulit.

——— *** ———-

Rate this article!
Menghayati Amerika Latin,5 / 5 ( 1votes )
Tags: