Menghidupkan Kembali Pagelaran Kesenian Keket yang Nyaris Hilang

Salah satu pagelaran kesenian Keket yang berlangsung di lapangan Dodiklatpur TNI Kecamatan Asembagus Situbondo belum lama ini. [sawawi]

Salah satu pagelaran kesenian Keket yang berlangsung di lapangan Dodiklatpur TNI Kecamatan Asembagus Situbondo belum lama ini. [sawawi]

Diadakan sebagai Wujud Syukur Masyarakat karena Hasil Panen Melimpah
Kabupaten Situbondo, Bhirawa
Pagi itu cuaca panas mulai menyelimuti Kabupaten Situbondo wilayah timur yang berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi. Di kejauhan sana, sedikitnya ratusan orang yang tersebar di Desa/Kecamatan Asembagus mulai terlihat memakai odeng khas Madura. Para lelaki perkasa itu tak lain untuk mempersiapkan diri mengikuti kesenian tarung bebas ala pencak silat tradisonal atau lebih dikenal dengan nama Keket.
Dengan didampingi pendamping masing-masing, para petarung yang rata rata memakai kaos dalam berwarna loreng merah putih itu satu per satu menuju sebuah lapangan di pelosok desa.
Kesenian tradisional Keket yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai kesenian silat/tarung ala Madura sudah ratusan tahun dikenal sebagai kesenian asli asal Kabupaten Situbondo. Namun dalam perjalanannya, Keket nyaris saja punah atau bahkan menghilang dalam waktu yang cukup lama. Agar kesenian tarung khas berbaju celana hitam-hitam itu tidak mati, Dinas Pariwisata Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora) Kabupaten Situbondo tergugah untuk menghidupkan kembali ajang gulat mini itu baru-baru ini.
Dengan menggandeng para kepala desa serta Muspika Kecamatan Asembagus, kesenian Keket berhasil digelar Disparbudpora Situbondo di lapangan Dodiklatpur TNI AD, tepatnya di Desa Awar-Awar, Kecamatan Asembagus. Agar tidak terkesan monoton, panitia hanya membatasi sebanyak 30 orang/tim yang dikoordinatori oleh sesepuh tokoh Kecamatan Asembagus Suharjono. Pertarungan Keket ini dibagi menjadi 3 kategori, di antaranya kategori anak-anak, remaja dan dewasa.
Menurut Ketua Panitia Suharjono dalam tradisi atau kesenian perkelahian bagi warga Kabupaten Situbondo ada dua macam. Yang pertama kata dia, tradisi perkelahian (gelut) yang kemudian dikenal sebagai kesenian Keket. Kesenian atau tradisi Keket ini ditampilkan di tempat terbuka seperti di lapangan atau ladang dan diselenggarakan sebagai ritual menyambut musim kemarau. “Itu sudah lama dikenal dengan nama kesenian atau tradisi Keket,” urai Suharjono.
Kesenian tradisonal yang kedua, ucap Suharjono, bernama kesenian Ojhung atau biasa dinamakan tarung antara dua pria perkasa dengan memakai seutas rotan. Itu yang membedakan antara Keket dengan Ojhung, terletak pada alat tarungnya. Keket dalam pertarungannya seperti halnya tradisi sumo di Jepang, yaitu dalam bentuk perkelahian  satu dengan yang lain dengan berusaha merobohkan lawan. Bila pelaku sumo dibutuhkan postur tubuh besar, kuat dan gemuk, sedang Keket berlaku bebas bagi siapa saja untuk bertarung. “Asalkan saja petarung punya kekuatan untuk menjatuhkan lawan boleh ikut ajang Keket ini,” tambah Suharjono.
Camat Asembagus  Masyari menambahkan pertarungan tradisi Keket dengan Ojhung sangat berbeda jauh. Khusus Ojhung, sambung Masyari, para petarung harus menggunakan rotan untuk memukul lawannya. Dan lawannya dinyatakan kalah apabila terdapat banyak bekas sabetan rotan di tubuhnya. “Tradisi pekelahian Ojhung ini dilaksanakan sebagai bentuk ritual permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk meminta turun hujan,” ujar Masyari.
Masyari menambahkan arti Keket dalam pemahaman keseharian warga Situbondo merupakan suatu bentuk perkelahian dengan menggunakan kekuatan tubuh untuk menjatuhkan lawan, yaitu dengan melingkarkan lengan ke bagian tubuh lawan dan berusaha menekan sampai lawan jatuh. “Sedangkan tradisi kesenian Keket ini dilakukan sebagai wujud syukur karena hasil panen masyarakat setempat berlimpah,” aku Masyari.
Tokoh seniman muda setempat, Irwan, menimpali, permainan Keket ini diawali dengan penampilan beberapa tokoh yang kemudian akan menjadi wasit atau juri dalam pertarungan. Para tokoh atau juri ini, lanjut Irwan, kemudian terjun ke arena atau lapangan lalu menari-nari dengan iringan musik tradisional. Dan para tokoh atau juri itu, bukan semata-mata sekadar pembuka acara Keket, tetapi cenderung sebagai pawang dengan tampilan tari ritual. “Itu tujuannya untuk mengamankan dan menjaga hal-hal yang tak diinginkan saat pertarungan Keket berlangsung,” beber Irwan.
Menjelang memasuki arena pertarungan, terang Irwan, pinggang petarung pelaku Keket diikat dengan sarung. Dan fungsi sarung tersebut selain sebagai ciri dari tradisi kesenian Keket, juga untuk melerai, bila terjadi pergumulan yang mengikat. Sedangkan wasit tinggal menarik ikat sarung tersebut, selanjutnya dilakukan Keket kembali. “Pertarungan Keket akan berakhir bila salah satu lawan jatuh dan tidak mampu lagi untuk bertarung kembali,” pungkas Irwan. [Sawawi]

Tags: