Menghidupkan Tradisi Dongeng di Bangku Sekolah

Oleh :
Nurul Yaqin, S.Pd.I
Pendidik, Asal Sumenep Madura

Selain peninggalan material yang merupakan cerminan nyata dari falfasah hidup suatu zaman, sejarah juga mewariskan peninggalan non-material. Peninggalan budaya non-material tersebut seperti norma, nilai (value), dan cita-cita hidup. Untuk memelihara dan menjaga kebudayaan, masyarakat nusantara tidak hanya berkonsentrasi pada benda material, akan tetapi juga dilestarikan lewat lisan (non-material) yang pengaruhnya pun terasa hingga sekarang.
Salah satu pelanggengan budaya melalui lisan adalah tradisi dongeng. Melalui dongeng para peneliti dapat melacak rekam sejarah (trade record) yang pernah terjadi di masa lampau. Menurut Badrun (1983:29) bahwa dongeng adalah suatu cerita prosa hasil seni rakyat yang hidup subur dalam angan-angan masyarakat, impian, dan sebuah kenyataan bercampur menjadi satu dalam dunia angan-angan.
Dongeng memang bukan hal baru, kemunculannya sudah beberapa abad yang lalu. Dilansir dari BBC Indonesia (20/01/2016) analisis menunjukkan bahwa dongeng Beauty and The Best dan Rumpelstilskin berusia 4.000 tahun. Bahkan cerita rakyat yang berjudul The Smith and Devil diperkirakan bisa ditarik 6.000 tahun ke zaman perunggu. Maka tak salah jika Dr. Tehrani (Antropolog budaya Durham University) mengatakan “Sungguh luar biasa bahwa cerita-cerita tersebut bertahan begitu rupa kendati tanpa dituliskan”.
Walaupun dongeng hanya berupa ilusi (khayalan) yang tidak benar-benar terjadi (Citra, Petrus : 2007) namun fungsinya adalah menyampaikan ajaran moral, dan juga menghibur (Agus Trianto : 2006). Bahasa dongeng cenderung sederhana sehingga mudah dicerna oleh para pendengar. Lewat dongeng ajaran moral bisa tersalurkan tanpa sikap monoton yang terkesan memaksakan. Inilah yang menjadi salah satu indikasi sehingga dongeng masih saja eksis dan digemari oleh semua kalangan, mulai anak-anak hingga orang dewasa.
Dongeng dalam Pendidikan
Bagaimana peran tradisi dongeng dalam dunia pendidikan?. Tak dapat dimungkiri bahwa mendongeng masih menjadi media sakti (good media) untuk menarik respon peserta didik. Dongeng menjadi sebuah metode lama yang tetap bertahan dalam pembelajaran. Bukan tanpa alasan, karena dengan metode dongeng, tak hanya kognitif tetapi psikologis anak pun mudah terbentuk dan diarahkan.
Woolsfon (dalam Puspita : 2009) menyatakan hasil riset menunjukkan bahwa dongeng merupakan aktivitas tradisional yang jitu bagi proses belajar dan melatih aspek emosional dalam dunia anak. Sebab ketika seseorang masih kanak-kanak, keadaan psiokologisnya masih mudah terbentuk dan dipengaruhi. Oleh sebab itu ketika faktor yang memengaruhi hal positif maka emosi anak juga akan positif.
Yang menjadi pertanyaan kolektif adalah, apakah para guru telah menguasai cara mendongeng yang baik sehingga menarik perhatian para siswa?. Nyatanya, jauh panggang dari api. Tak sedikit para guru merasa kesulitan dalam penyampaian metode dongeng. Akibatnya, metode ceramah masih menjadi pelarian utama dalam pembelajaran.
Tak jarang mendongeng disajikan di hadapan para peserta didik dengan penyampain kurang menaik dan terkesan monoton (uninteresting). Ingat, dongeng yang disajikan tanpa memperhatikan cara yang benar akan menjadi sebuah ceramah yang membosankan. Hal ini disebabkan oleh minimnya kompetensi guru dalam menyampaikan dongeng. Para guru cenderung abai untuk peningkatan kemampuan dirinya.
Maka tak salah jika kompetensi guru di negara ini masih saja jauh dari harapan. Hal ini terbukti bahwa rata-rata ujian kompetensi guru (UKG) nasional 2015 adalah 53,02, sedangkan pemerintah menargetkan rata-rata nilai di angka 55. Selain itu, rerata nilai profesional 54,77, sedangkan nilai rata-rata kompetensi pedagogik 48,94. Belum mencapai angka yang ditargetkan.
Belum lagi perkembangan teknologi yang infinitely complex (tak terbatas), perlahan mengikis budaya mendongeng. Tradisi dongeng tergantikan oleh peran Hand Phone (HP), Playstation (PS), tablet, dan televisi. Jamak ditemukan cerita-cerita yang dahulu didongengkan telah tersaji dalam bentuk film dan video yang tersedia di dunia maya. Dan ini salah satu tantangan besar bagi guru untuk lebih belajar metode mendongeng agar tidak hanyut tergerus oleh arus modernisasi.
Penerapan Tradisi Dongeng
Tradisi dongeng harus tetap dilestarikan di lingkungan sekolah. Artinya, dongeng harus selalu tetap hidup karena mempunyai multifungsi dalam perkembangan anak. menurut Deni Koswara dan Halimah dalam Seluk Beluk Profesi Guru (2008), salah satu tugas guru adalah mempromosikan soft kill sehingga manfaatnya dirasakan betul dalam kehidupan anak. Soft kill di sini meliputi ; kejujuran, kebisaan mencari kebenaran (the habit of truth), empati, sikap toleran, sopan, disiplin, control diri, dan lain-lain. Dan itu tidak bisa dipenuhi oleh teknogi secanggih apa pun. Cara yang paling efektif adalah dengan mendongeng.
Agar guru dapat menyampaikan metode dongeng dengan menarik, tidak ada salahnya mengintip cara berikut. Pertama, menguasai materi. Penguasaan materi akan mempermudah pendongeng untuk melakukan improvisasi. Titik beratnya pada unsur-unsur pembangunan dalam cerita seperti tokoh, setting, alur, dan konflik. Kedua, hidupkan tokoh. Yaitu mengekspresikan emosi secara maksimal agar pendengar bisa mengimajinasikan tokoh-tokoh dalam cerita. Sehingga pendengar bisa membedakan tokoh ketika sedih, marah, dan senang.
Ketiga, hidupkan kata-kata. Dengan cara memberi sifat kepada kata. Sehingga setiap kata memiliki “roh” yang berbeda dengan kata yang lain. Keempat, ikhlas dalam mendongeng. Suasana hati sangat berpengaruh dalam penyampain dongeng. Dongeng yang disampaikan dalam keadaan banyak masalah dan terpaksa, maka hasilnya tidak akan maksimal. Kelima, teknik awal dan akhir. Membuat apersepsi semenarik mungkin. Improvisasi. lewat suara atau lagu. Dan diakhiri dengan ending terbuka sehingga menstimulus anak untuk mengetahui cerita selanjutnya.
Akhirnya, di tengah nasib zaman yang apatis dengan pentingnya moral, maka para guru harus menjadi manusia pembelajar, salah satunya belajar metode mendongeng; bisa dengan cara belajar otodidak melalui buku dan internet, bisa juga dengan mengikuti pelatihan-pelatihan. Tujuannya, agar tradisi dongeng tidak punah di bangku sekolah, sehingga sangat membantu guru dalam menanamkan moral yang baik kepada anak didik. Jika demikian, praktis akan mencetak manusia well-educated (terdidik) bukan hanya well-schooled (manusia sekolahan).

                                                                                                          ———– *** ————-

Tags: