Menghindari Jebakan Kuota Impor

Gumoyo Mumpuni NingsihOleh :
Gumoyo Mumpuni Ningsih
Pengajar FPP dan Trainer P2KK Universitas Muhammadiyah Malang

Negara Indonesia sebagai negara agraris yang terkenal subur ”bertanah surga di mana tongkat dan kayu pun bisa jadi tanaman” sangat ironis harus mendatangkan komoditas pertanian dari luar. Kebijakan impor memang seharusnya ditinjau ulang. Peningkatkan produksi petani melalui tata kelola infrastruktur pertanian mestinya lebih diutamakan.
Masyarakat petani negeri ini sebenernya sudah lama muncul keluhan ihwal banjir hortikultura impor. Buah dan sayuran impor dari China, Amerika Serikat, Thailand, India dan negara lain tak hanya masuk ke supermarket besar dan kecil, tapi merangsek ke pasar-pasar becek di daerah terpencil. Jika berbelanja di supermarket, serbuan buah impor sangat terasa. Lapak-lapak penuh buah impor, dari jeruk phonkam, pear, apel fuji, hingga apel washington. Buah lokal amat langka. Perjanjian perdagangan bebas yang agresif dituding sebagai biang. Sampai kinipun nasib petani kian terpuruk, masih banyak importir ilegal mereguk keuntungan.
Stop impor kentang
Masalah teranyar adalah masalah impor kentang. Belakangan ini, impor kentang pada semester kedua bahkan dipenghujung tahun 2016 ini mengakibatkan petani merugi. Harga kentang segar petani di pasar dikalahkan kentang asal China dan Pakistan, sehingga realitas tersebut membuat nasib petani kentang sedang tidak baik. Akibat serbuan kentang impor, harga kentang lokal terjun bebas. Semula terjual di pasaran mencapai Rp 8 ribu-Rp 10 ribu per kg, kini menjadi Rp 6 ribu-Rp 5 ribu per kg.
Anjloknya harga tersebut sudah berlangsung sejak tiga bulan terakhir. Puluhan ton kentang impor masuk ke pasar-pasar induk di Jakarta. Akibat turunnya harga, petani mengaku rugi karena biaya produksi mulai dari pembibitan, pemupukan, hingga panen mencapai Rp 7 ribu-Rp 7.500 per kg. Tanggapan dari Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman terasa melegakan petani. Pemerintah berjanji untuk menghentikan impor kentang granola (sayur) yang diproduksi petani lokal, seperti kentang Dieng dan pemerintah akan memberikan sanksi tegas kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan impor produk hortikultura, terutama produk kentang jenis Granola (kentang sayur).
Hal itu disampaikan Mendag kala bersama Menteri Pertanian Amran Sulaiman menerima perwakilan petani kentang dari Dieng, Jawa Tengah, di Kantor Kementerian Perdagangan, Kamis (8/12). Rekomendasi impor kentang Atlantik segar diputuskan ditutup oleh Kementerian Pertanian. Sebelumnya, izin impor yang selama ini dikeluarkan Kemendag adalah impor kentang hanya jenis atlantis untuk kepentingan industri (french fries). Sedangkan, kentang jenis Granola hasil produksi petani dalam negeri tidak pernah diberikan izin impornya. Seperti halnya tidak pernah ada Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) yang dikeluarkan Kementan untuk impor kentang Granola.
Jika ditemukan ada kentang impor Granola di pasar, muncul tengara adanya permainan izin impor yang seharusnya untuk kebutuhan industri justru menyelundupkan kentang granola. Indikasi penyalahgunaan izin impor penting ditelusuri agar kejadian serupa tidak terulang, maka pelaku impornya akan segera diselidiki dan diproses secara hukum karena Pemerintah tidak mengeluarkan izin impornya.
Artinya, apabila ada importir yang menyalahgunakan alokasi impor kentang Atlantik untuk mengimpor kentang Granola, maka akan dicabut izinnya. Enggartiasto juga akan menugaskan Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kemendag untuk melakukan pengawasan dan bekerjasama dengan Kepolisian. Tuntutan dikabulkan, kecuali impor kentang industri. Karena itu, pemerintah yang kini memiliki Satgas Saber bertindak aktif mengusut kecurangan izin impor. Tak menutup kemungkinan pungli masih terjadi di pintu masuk barang-barang impor.
Data Kemendag menunjukkan pada 2016 izin impor kentang atlantik sebanyak 207.573,29 ton hingga 6 Desember telah terealisasi 76.982,59 ton. Sebagian besar belum terealisasi. Melihat besarnya izin impor komoditas itu, petani patut resah dan curiga masuknya impor kentang granola. Apalagi ada indikasi masuknya importir ilegal yang akan menambah derita petani kecil.
Melihat kenyataan tersebut, besar harapan pemerintah mampu benar-benar bersikap tegas, jangan sampai harga pangan di pasar dunia yang murah sering kali menjadi legitimasi kebijakan impor. Argumen yang selalu diputar ulang: untuk apa bersusah-payah memproduksi pangan sendiri kalau harga impor jauh lebih murah? Argumen di balik ini adalah soal daya saing. Harga komoditas di pasar dunia tidak bisa menjadi satu-satunya ukuran daya saing dan efisiensi, karena harga itu terdistorsi oleh subsidi. Subsidi dipraktekkan sejumlah negara maju.
Kebijakan proteksionis
Idealnya untuk kepentingan produsen atau rakyat di dalam negeri, sebuah negara perlu melakukan kebijakan proteksionis dan keterpaduan demi menjaga keseimbangan antara impor dan ekspor. Melalui beberapa langkah yang bisa dilakukan.
Pertama, melalui kuota impor terhadap sebuah produk. Selama ini dalam praktiknya, mekanisme kuota impor kurang disukai di dunia internasional karena dianggap sebagai praktik diskriminasi bagi produk negara lain. Dikatakan diskriminasi karena di hampir semua negara, penetapan kuota impor biasanya bukan sekadar penetapan kuantitas barang, melainkan juga disertai dengan serangkaian prasyarat kualitas barang.
Kedua, di Indonesia untaian produksi produk pangan masih jauh dari keterpaduan. Petani harus berjuang sendiri dalam memilih dan memproduksi hasil pertanian yang punya nilai jual tinggi.Bibit, lahan,pupuk,teknologi pertanian serta perkebunan, infrastruktur (irigasi, jalan, pusat pengolahan dasar), bahkan sistem logistik dari kebun sampai pasar harus diperjuangkan sendiri. Tak heran, yang kemudian lebih berkembang adalah bisnis perdagangan. Karena sistem pencatatan barang di Indonesia masih serba manual, ada banyak hal yang akhirnya mudah dikembangkan menjadi kongkalikong. Apalagi, birokrasi di Indonesia makin lihai saja menguangkan berbagai kebijakan pemerintah menjadi proyek yang memperkaya diri sendiri.
Ketiga, belajar dari kasus impor sapi misalnya, sebetulnya kalau kita cermat praktek tersebut berprospek membuka atau melanggengkan praktik korupsi atas nama rakyat. Dengan dalih melindungi konsumen dari harga yang tinggi dan menciptakan keseimbangan harga, kuota impor dalam sistem governance yang lemah justru menjadi sumber korupsi dan menguntungkan pihak-pihak tertentu. Keadilan berhenti di tingkat elite dan tidak terdistribusi dan tidak bisa dinikmati oleh rakyat dalam bentuk harga daging sapi yang murah. Ayolah kita berhenti membodohi masyarakat dan diri sendiri.
Merujuk dari tiga hal tersebut diatas sekiranya kita mampu berpikir kritis terhadap transaksi impor di negeri ini. Artinya, selama kerangka pikir kita cuma terpaku pada kalkulasi aliran impor dan ekspor, apalagi yang melanggengkan praktik kongkalikong, selama itupula kita akan terus terpuruk. Pembatasan impor akan sia-sia bila tidak dibarengi dengan peningkatan ekspor. Hajat hidup bangsa ini tidak semata bergantung pada kecukupan pasokan barang, tetapi juga pada kemampuan bangsa ini untuk berproduksi dan mengisi kekurangan produksi di negara-negara lain. Semua ini perlu bisa direalisasikan supaya negeri ini tidak terjebak dan tergerus oleh kuota impor.
————- *** ————-

Rate this article!
Tags: