Menghukum Hoax Pandemi

Polda Metro Jaya (Jakarta) meminta Kementerian Komunikasi dan Informasi, memblokir 218 akun media sosial (medsos). Lebih separuhnya (110 akun) sedang diproses di Mabes Polri, dengan dugaaan penyebaran berita bohong, dan ujaran kebencian. Berkait kepedihan wabah penyakit pandemi virus corona, masih banyak hoax ditebar di medsos. Termasuk hate speech tentang bantuan sosial (bansos). Maka Pemerintah (dan daerah) seyogianya segera merealisasi bansos sebagai konter hoax.
Sebagian hate speech (ujaran kebencian) terasa sarkasme, tergolong fitnah, dan ungkapan sadis. Serta hoax berupa pembohongan fakta, terutama tentang sebaran PDP (Pasien Dalam Pengawasan) dalam kawasan kecamatan serta keluraan dan desa. Hoax nyata-nyata menambah suasana PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) lebih mencekam. Selain permintaan blokir Kementerian Kominfo, Polisi juga melanjutkan kasus hoax dan ujaran kebencian pada ranah hukum.
Ranah hukum berkait wabah pandemi CoViD-19, bisa berdasar pada UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Serta berdasar KUHP (Kitab UU Hukum Pidana) pasal 207 dan pasal 208 ayat (1). Ancaman hukuman pidana penjara selama 6 hingga 10 tahun. Bahkan penegak hukum juga memiliki piajak lain, berdasar UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Juga UU Nomor UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
UU Kekarantinaan Kesehatan pada pasal 9 ayat (1), menyatakan setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan. Pada ayat (2), dinyatakan, Setiap orang berkewajiban ikut serta dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan. Pelanggaran (tidak mematuhi) berkait dengan pasal 9, tercantum dalam pasal 93. Yakni, berupa pidana penjara paling lama satu tahun, dan atau denda sebesar Rp 100 juta.
Penegakan hukum dengan UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), lebih berat lagi. UU ITE pada pasal 28 ayat (2), dinyatakan larangan: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).” Setiap korban bisa melapor ke Kepolisian, dan BPBD. Pelanggaran terhadap pasal 28 ayat (2), bisa dihukum penjara selama 6 tahun.
Hoax dan hate speech dalam media sosial (medsos), pada masa pandemi CoViD-19, bisa mengacaukan upaya pemerintah memutus rantai pewabahan. Berbagai fitnah, berita bohong, dan ujaran kebencian, seolah-olah bebas dipapar pada area publik. Termasuk terhadap kinerja (Satgas) Gugus Tugas Percepatan Penanganan CoViD-19. Pada isu tertentu, berkait bantuan sosial (bansos) berpotensi mengancam ketenteraman nasional.
Begitu pula desakan pemberlakuan status lockdown. Padahal idiom lockdown tidak dikenal dalam UU Kekarantinaan Kesehataan. Juga tidak dikenal dalam UU Penanggulan Bencana. Konon hoax, sebagai “balasan” terhadap pemerintah yang dituding memapar data bohong, berkait jumlah orang positif CoViD-19. Serta olok-olok kekurangan penyediaan APD yang menggemaskan.
Maka “pedang hukum” wajib ditegakkan terhadap hoax sebagai jaminan ketenteraman suasana PSBB. Selama dua bulan (pertengahan Maret hingga Mei 2020) Polisi menjejaki 443 akun kasus hoax dan ujaran kebencian. Sebanyak 221 diantaranya “positif” akan berlanjut pada ranah penegakan hukum. Akun hoax tersebar di Instagram (sebanyak 179 akun), facebook (27 akun), twitter (10 akun), dan WhatsApp (5 akun). Walau mayoritas pemilik akun menyatakan hanya iseng, dan ingin ngetop.
Namun yang paling membahayakan, manakala Pemerintah Kabupaten dan Kota, gagal dalam pen-distribusi-an bansos. Ujaran kebencian bisa berubah menjadi “komando” unjukrasa besar melawan pemerintah daerah.
——— 000 ———

Rate this article!
Menghukum Hoax Pandemi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: