Mengikuti Jejak Pendongkel Bonsai di Probolinggo

Fadil sedang menanam dongkelan bonsai yang baru ia dapatkan. Di Kabupaten Probolinggo bisnis bonsai kini kian diminati masyarakat. [wiwit agus pribadi]

Berburu di Daerah Pegunungan, Ada yang Nakal Tak Mau Menutup Lagi Galian
Probolinggo, Bhirawa
Bisnis bonsai kian diminati masyarakat Kabupaten Probolinggo. Bahkan, tidak sedikit warga yang beralih profesi menjadi pembudidaya bonsai. Namun, di balik bonsai yang indah, ada keseimbangan alam yang dipertaruhkan. Kesadaran pendongkel bonsai pun menjadi kunci utama untuk membuat alam tetap terjaga.
Embun di rerumputan terhapus oleh kaki Fadil, yang sedang melangkah di sebuah setapak di bawah rerimbunan pohon. Hari masih pagi. Namun Fadil sudah berkendara jauh dari rumahnya di RT 1/RW 1, Dusun Daris, Desa Prasi, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo.
Begitu sampai di Desa Bimo, Kecamatan Pakuniran, Fadil pun menitipkan sepeda motornya di rumah seorang warga. Dia lantas berjalan kaki sekitar satu kilometer ke arah tenggara dari permukiman warga. Memasuki sebuah hutan.
Fadil mulai menoleh ke berbagai arah. Sembari terus berjalan tanpa melihat jalan yang dilaluinya. Tak jarang ia keluar dari jalan setapak, menuju sekitar tebing yang berada di sebelah kanan. Hutan di bawah gunung itu menjadi lokasi favoritnya untuk mencari dongkelan yang biasa dibuat bonsai. Selanjutnya, dongkelan itu ia jual kepada para perajin atau pelaku budidaya bonsai.
Fadil adalah satu dari sekian banyak orang yang menggantungkan hidup dari usaha bonsai. Namun, dia tidak membuat bonsai. Biasanya, dia hanya mencari pohon indukan yang umum dijadikan bonsai atau biasa disebut dongkelan bonsai. Selanjutnya, dongkelan yang didapat dijual pada perajin atau pelaku budidaya bonsai.
Bisa dikata, dia adalah penyedia dongkelan sebagai bahan untuk membuat bonsai. Bagian kecil dari bisnis bonsai yang bermain di belakang layar. Walaupun ada juga perajin atau pelaku budidaya bonsai yang mencari sendiri dongkelan untuk membuat bonsai.
Peran yang dilakoni Fadil tentu saja tidak mudah. Dia harus bisa menyediakan dongkelan yang dibutuhkan perajin bonsai. Dia pun harus hafal lokasi-lokasi untuk mendapatkan dongkelan dengan mudah.
“Biasanya saya cari di wilayah tenggara Kabupaten Probolinggo, tepatnya di wilayah pegunungan. Lokasinya kan masih basah dan dingin, jadi untuk berburu bonsai sangat pas,” ujarnya, Senin (5/10).
Biasanya, dongkelan diambil dari batang pohon. Bukan akar pohon. Sebab, mengambil akar pohon tidak mudah. Andai bisa pun, bisa merusak pohon induknya. Fadil sendiri, hari itu beruntung karena bisa menemukan pohon serut dengan ukuran cukup besar. Sebuah pohon yang jadi favorit perajin bonsai. Dia pun menghentikan langkahnya di depan pohon itu.
Sejurus kemudian, dia mengeluarkan beberapa peralatan yang dibawanya. Mulai linggis, gergaji, dan cangkul mini ia keluarkan. Dia lantas menggali pohon serut itu. “Kira-kira setengah meter sampai satu meter menggalinya. Sebab, batang pohon serut ini jadi satu dengan akar pohon lain,” ujarnya sembari memotong batang pohon tersebut.
Di sekeliling tempatnya menggali, terlihat tanah yang berlubang. Fadil menjelaskan, lubang itu adalah bekas galian pendongkel bonsai lainnya. Dia lantas menunjukkan buktinya, yaitu bekas gergaji pada batang pohon serut yang berada di dalam lubang tersebut.
Sembari kembali menggali, Fadil menjelaskan, memang masih ada pendongkel bonsai yang nakal. Setelah menggali dan mengambil dongkelan, mereka tinggalnya begitu saja bekas galian itu. Padahal, seharusnya bekas galian ditutup.
Berbeda dengan para pendongkel yang tergabung dalam Komunitas Pecinta Bonsai Probolinggo Timur yang diikutinya. “Kami di komunitas saling mengingatkan bahwa kami memanfaatkan alam untuk mencari nafkah. Karena itu, harus ada timbal balik dari kami untuk alam. Agar tidak berdampak buruk pada lingkungan setempat,” tuturnya.
Salah satu caranya yaitu menutup lagi lubang yang digali setelah mendapat dongkelan bonsai. Bahkan, kalau waktunya cukup, dia dan komunitasnya mencari pohon pengganti dan ditanam di tempat yang sudah digali.
Komitmen itu pun dilakukan setelah mendapat dongkelan pohon serut. Fadil menutup kembali lubang bekas galiannya. Pernah suatu ketika dia mencari dongkelan di Gading, di sebuah lahan milik warga. Pemiliknya tidak hanya mengizinkan untuk mengambil dongkelan bonsai di tempatnya. Namun, juga menyuguhinya makanan.
“Kalau di lahan milik orang , saya izin dulu kepada pemiliknya. Selesai menggali yang ditutup lagi. Biasanya, pemilik senang karena lahannya bersih,” tuturnya.
Saat ini Fadil memiliki puluhan pohon bonsai yang siap dijual. Mulai pohon serut, loa, legundi, mangsen, atau ileng-ilengan. Harganya pun bermacam-macam, sesuai dengan ukuran pohon bonsainya. Mulai Rp 200 ribu hingga Rp 1 juta ke atas per pohon.
“Harga pohon itu akan berbeda saat sudah di tangan para seniman bonsai. Akan lebih mahal, sebab perawatannya sulit,” tambahnya. [wiwit agus pribadi]

Tags: