Mengkaji Efek Derby Madrid

Uefa Champions League 20132014Pupus sudah harapan Mourinho untuk meraih double winner di Liga Primer dan piala Champions. Kamis dinihari (1 Mei 2014) ditumbangkan pemuncak klasemen La-Liga Spanyol, Athletico Madrid, dengan agregat 4-1. Selain Athletico, klub sekota, Real Madrid juga berpeluang meraih double winner setelah menumbangkan Barcelona FC pada ajang piala Raja Spanyol (Copa del Rey). Piala Eropa antar-klub ini menjadi soko-guru kejuaraan serupa di Asia, Afrika dan benua Amerika.
Selama dua bulan, Piala Eropa tahun ini menyita perhatian publik bola Indonesia. Ini bisa dimaklumi karena bola-mania sudah sangat dahaga timnas-nya bisa berlaga hebat di even internasional bergengsi. Bahkan banyak caleg memanfaatkan nonton bareng Champions, digelar dengan memajang foto caleg. Teruatama pada babak perempatan final (8 besar) dijadikan sebagai ajang kampanye akbar individual caleg.
Kejuaraan Eropa menjadi tumpuan dahaga, sejak bernama EURO Champion (yang dimenangi Chelsea) hingga Piala Champions. Televisi swasta harus berburu hak siar ke UEFA, tak peduli harus membayar puluhan milyar rupiah. Tetapi diyakini akan balik modal plus untung besar. Dukungan iklan ternyata sangat fantastis dengan durasi melebihi  2×45 menit. Begitu juga media cetak (terutama harian) tak ketinggalan mengirim wartawan dengan biaya cukup mahal.
Dua dekade silam (tahun 1990-an), publik pecinta sepakbola di Indonesia hanya mengenal Copa Italia dan Liga Serie-A. Lalu, seiring makin bagusnya kompetisi di Inggris, tayangan televisi mulai memperkenalkan Premier League. Dan selama lima tahun terakhir La Liga (Spanyol) mulai mendominasi perbincangan publik di kafe dan warung kopi. Ternyata benar, dua klub teratas La Liga kini memuncaki Liga Champions.
Memang tak elok membanding kejuaran La Liga maupun Premier League dengan dengan sistem kompetisi kita (di Indonesia). Tetapi sistem kompetisi yang berbasis klub profesional sangat penting untuk dikaji. Sebab dari kompetisi antar-klub akan diperoleh banyak pemain (lokal) yang baik pula. Timnas Spanyol misalnya, tak lain dari pemain La Liga, begitu pula timnas Inggris. Dalam hal ini, institusi sepakbola nasional (negara) bisa “mendompleng” pembinaan pemain pada klub.
Benarkah perekonomian negara bersangkut-paut dengan kekuatan timnas? Tidak selalu. Karena Spanyol bukan negara kaya. Begitu pula Italia masih terlilit krisis ekonomi. Ternyata yang lebih menentukan adalah manajemen klub yang independen (mandiri dari kepentingan politik). Sedangkan di Indonesia, hampir seluruh klub sangat bergantung pada politik, terutama Pemerintah Daerah.
Di Eropa, klub mengelola “yayasan” sepakbola menjadi perusahaan besar beromzet trilyunan rupiah. Bahkan menjadi entitas penghasil berbagai jenis pajak untuk negara dalam jumlah besar. Ada pajak penghasilan pemain, penjualan tiket penonton, serta ekspor dejavu pernik-pernik pemain dan pelatih. Begitu pula Pemerintah Daerah akan “dihidupi” oleh klub.
Pemerintah Kota Madrid, misalnya,  pada tahun 2014 dan tahun 2015 diprediksi akan memperoleh peningkatan PAD (Penghasilan Asli Daerah) sampai 100%. Sumbernya tak lain, dua klub yang memiliki base camp di kota itu, Real Madrid dan Atletico, merebut juara dan runner-up Liga Champions. Walau final Champions diselenggarakan di Lisabon (Portugis), tetapi keuntungan ekonomi pasca-Champions akan diterima Pemkot Madrid.
Sebagai kenangan, hal itu pernah dialami beberapa Pemerintah Daerah di Indonesia. Dulu awal dekade 1980-an, di kota Surabaya juga memiliki dua kesebelasan yang memiliki prestasi bagus. Yakni, Persebaya dan Niac Mitra (keduanya pernah menjadi juara Piala PSSI). Begitu juga kabupaten Gresik (yang memiliki klub Petrogres dan Persegres), serta Malang. Di Jakarta juga terdapat Persija dan Arseto.
Mungkinkah klub sepakbola Indonesia, “disapih” dari kepentingan politik dan tidak menggerogoti keuangan Pemda? PSSI harus mencari jalan.

———   000   ———

Rate this article!
Tags: