Mengkriisi Putusan MK tentang Pasal Kejahatan Kesusilaan

(Ketika Berhukum hanya dengan UU)

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Hukum FH Univ. Muhammadiyah Surabaya, Mahasiswa S-3 FISIP Unair dengan Konsentrasi Sosiologi Hukum.

Sidang Mahkamah Konstitusi untuk perkara N0. 46/PUU-XIV/2016 tentang Permohonan Uji Materi terhadap Pasal kejahatan terhadap kesusilaan; 284, 285, 292 KUHP, dalam persidangan tanggal 14 Desember 2017 memutuskan menolak permohonan uji materi Prof Euis Sunarti bersama sejumlah pihak dan menyatakan ketentuan KUHP yang diujimaterikan adalah konstitusional, karena pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Dalam sidang MK tersebut, pemohon meminta MK untuk memperluas ruang lingkup karena isi pasal yang dipermohonkan sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat. Hal teresbut berakibat pada perubahan konsep-konsep dasar berkenaan perbuatan tindak pidana atau dalam hal ini adalah makna dan perbuatan perzinaan
Dalam persidangan Mahkamah konstitusi tersebut nampak, dari sembilan hakim “negarawan” tersebut; lima hakim, yakni Saldi Isra, dkk menolak permohonan pemohon. Sedangkan empat hakim lainnya, yakni Arif Hidayat, dkkmenerima permohonan uji materi Dari sini nampak terlihat bahwa pendapat hukum majelis hakim MK tidak bulat (100%). Sebagian majelis hakim tidak setuju ada norma baru via MK terkait dengan LGBT dan kumpul kebo dihukum atau dipidana, sebagian lainnya setuju. Para majelis hakim MK memiliki dasar argumentasi hukum masing-masing.
Dengan demikian, pupus sudah harapan sebagian besar masyarakat yang menuntut agar perbuatan LBGT dan kumbul kebo dapat dihukum atau dipidana. Dengan tidak adanya “hukum” bagi perbuatan LBGT dan kumbul kebo, darurat LGBT dan kumpul kebo akan terus berlanjut, mereka akan bebas berkembang dan merasa “dilindungi” hukum. Sebailknya, putusan MK ini akan menjadikan masyarakat was-was dan bahkan terancam dengan semakin bebasnya kelompok LGBT dan kumpul kebo mengekspresikan kebebasan dan idiologi gerakannya.
Pendapat Hukum Majelis hakim MK
Dari sembilan hakim; lima hakim menolak permohona, dan empat hakim lainnya menerima permohonan. Lima hakim MK, Maria Farida, dkk yang menolak permohonan mengtakan bahwa mereka menolak pemohon terkait dengan perluasan tafsir kewenangan MK dalam membuat norma baru terkat dengan pasal yang diujimaterikan. Permohonan pemohonan sudah masuk ranah kebijakan pidana atau politik hukum dalam kaitannya dengan hukum pidana dan sanksinya. Politik hukum bukan ranahnya MK, tapi itu adalah ranahnya pembuat hukum yakni DPR bersama eksekutif. Salah satu hakim Makkamah Konstitusi, Maria Farida, berpendapat, MK tidak memiliki kewenangan untuk membuat atau merumuskan norma hukum baru (tindak pidana) atau memperluas tafsir terhadap norma hukum yang sudah ada (KUHP).
Sedangkan empat hakim yang berbeda pendapat ataudissenting opinion (DO), yakni Keempat hakim konstotusi itu berpendapat bahwa pasal 284 KUHP jelas mempersempit ruang lingkup dan bahkan bertentangan dengan konsep persetubuahn terlarang (zina) menurut nilai agama yang hidup dan berkembang di masyarakat yang sejatinya lebih luas. Salah satu hakim yang DO, Aswanto mengatakan konsep zina seharusnya mengalami perluasan makna, meliputi baik persetubuhan diluar nikah yang dilakukan oleh pihak yang terkait dengan perkawinan maupun persetubuhan yang dilakukan oleh pihak yang tidak terikat perkawinan.Perbuatan zina adalah perbuatan tak hanya berdimensi privat, tapi juga sosial, karena dapat menimbulkan kerusakan moral dan sosial masyarakat. Selain itu, semua ajaran agama manapun yang hidup dan berkembang di Indonesia menyatakan berzina adalah perbuatan yang sangat tercela dan terlarang.
Berhukum Tak Cukup dengan Pasal (UU)
Dari pendapat dan argumentasi hukum yang disampaikan hakim MK yang menolak, sangat terlihat bagaimana seorang hakim hanya berhukum dengan pasal yang ada dalam undang-undang atau “hakim pasalistik”. Lima hakim MK lebih berkutat dan bersandar pada peraturan (UU) saja, tanpa berusaha menggali, menangkap, dan meresapi secara lebih mendalam persoalan kehajatan kesusilaan; LGBT dan kumpul kebo. Kejahatan kesusilaan tersebut saat ini sedang mengalami perkembangan yang begitu pesat sehingga Indonesia berada dalam kondisi “darurat LBGT dan kumpul kebo”. Realitas sosial ini nyata-nyata berakibat distruktif bagi kehidupan sosial masyarakat, dan karena itu tidak bisa dibiarkan begitu saja dengan dalih dan atas nama formalisme hukum atau pandangan legalistik-positifistik.
Sebagai seorang negarawan, hakim konstitusi mustinya tidak hanya berhukum dengan pasal (UU) yang lebih mengangung-agungkan formalistisme dan proseduralistimse. Masalah LGBT dan kumpul kebo adalah masalah luar biasa dan bahkan darurat, karena itu tak cukup disikapi dengan pendapat hukum dan putusan hukum yang biasa-biasa saja. Perlu dan bahkan harus disikapi dengan pendapat dan putusan hukum yang luar biasa. Seharusnya majelis hakim lebih berfikir dan menjadi seorang hakim progresif dan responsif. Untuk perkara darurat seperti ini, hakim semestinya tidak lagi hanya bersandar pada teks formal undang-undang semata, tetapi juga selalu menimbang kemanfaatan dan rasa keadilan masyarakat. Teks hukum formal ditangan hakim yang progresif hanyalah dijadikan semacam guide, dan bukanlah satu-satunya alat untuk mengambil putusan hukum.
Di tengah kedaruratan LGBT dan kumpul kebo ini, kita sungguh sangat membutuhkan para penegak hukum yang berpikir progresif dan responsif demi kemaslahatan ummat. Seorang yuris Belanda bernama B. M. Taverne terkenal dengan kata-katanya yang berbunyi: “berikan kepada saya hakim, jaksa yang baik, dan polisi yang baik, maka dengan peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik”. Kata-kata Taverne ini seakan ingin menegaskan kepada kita: bahwa peraturan yang baik dan sempurna sekalipun, jika penerapannya dilakukan oleh orang yang bermental buruk, maka hasilnya pun akan buruk dan mengecewakan begitu banyak pihak.
Umumnya, cara berhukum di negeri kita masih lebih didominasi “berhukum dengan peraturan” (legalistik-positifistik) daripada “berhukum dengan akal sehat dan hati nurani”. Menurut begawan hukum Indonesia Satjipto raharjo (2010), berhukum dengan peraturan adalah berhukum minimalis, yaitu menjalankan hukum dengan cara menerapkan apa yang tertulis dalam teks secara mentah-mentah. Ia berhenti pada mengeja undang-undang. Jiwa dan roh (conscience) hukum tidak ikut dibawa-bawa. Progresivitas hukum dari hakim sebenarnya bisa dilakukan dengan menghayati spirit normative yang ada dalam UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam pasal 5 ayat (1) menyatakan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat. Karena itu, dalam konteks ini, para pengadil tidak hanya dituntut untuk memiliki kecakapan dan pengetahuan hukum yang cukup, tapi juga dituntut untuk memiliki skiil, kreativitas dan terobosan hukum yang positif yang berdampak pada keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.

———- *** ———-

Tags: