Mengkritisi RAPBD Jatim 2020

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Pembangunan FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Saat ini, DPRD bersama Pemerintah Provinsi Jawa Timur sedang membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (R-APBD) tahun anggaran 2020. Sebagaimana yang disampaikan saudara gubernur dalam nota keuangan RAPBD 2020, bahwa Kondisi ekonomi global dan nasional saat ini masih beum stabil, sedang mengalami pelambatan. Melambatnya ekonomi global dan nasional tentu saja berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah, termasuk Jatim.
Dalam empat tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi Provinsi Jatim melambat, yakni di bawah 6%. Pertumbuhan ekonomi Jatim pada Triwulan II 2019 sebesar 5,72%, di mana angka ini lebih tinggi sedikit dari pada pertumbuhan tahun 2018 yang besarnya adalah 5,57%.Capaian pertumbuhan ekonomi Jatim pada Triwulan II 2019 tersebut lebih tinggi dari pada capai pertumbuhan nasional, yakni 5,05%. Kita semua berharap agar sampai akhir tahun 2019 pertumbuhan ekonomi Jatim ini bisa dipertahankan. Syukur kalau bisa ditingkatkan lebih tinggi lagi.
Karena itu, dalam konteks pembangunan daerah, perlu ada strategi kebijakan politik dan ekonomi daerah yang tepat dan antisipatif, sehingga dampak pelambatan ekonomi global dan nasional tersebut tidak terlalu berdampak serius terhadap perekonomian Jatim. Kondisi ini akan menguji sejauhmana pemeritah Provinsi Jatim memiliki kretivitas dan inovasi kebijakan baru agar kondisi perekonomian Jatim tetap stabil atau tumbuh positif. Pelambatan ekonomi ini, justru harus dijadikan peluang bagi kita, yakni mendorong Pemerintah Provinsi Jatim untuk terus bekerja keras dan cerdas.
Salah satunya dengan meningkatkan daya saing produk daerah yang berorientasi eksport dan pada saat yang sama berusaha untuk mengurangi produk import, memberdayakan produk daerah dengan memanfaatkan pangsa pasar domestik yang sangat luas. Salah satunya bagaimana memberdayaan UMKM yang memiliki daya tahan (imunitas) ekonomi yang luar biasa di tengah krisis. Dan yang lebih penting dan strategis adalah bagaimana mengelola keuangan daerah, yakni APBD agar memiliki stimulus fiskal yang kuat dan produktif guna mendukung pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih stabil, inklusif, dan memperkuat fundamental ekonomi daerah sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Terkait dengan perangkaan RAPBD 2020, dengan mempertimbangkan tema RKPD 2020, kondisi ekonomi eksternal, dan kinerja makro sosial-ekonomi yang telah dicapai tahun 2018 dan semester I dan II 2019, Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengajukan proyeksi perangkaannya sebagai berikut; Pendapatan Daerah pada Rancangan APBD Tahun Anggaran 2020 diproyeksikan sebesar Rp 32,264 triliun rupiah yang bersumbe rdari PAD, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan yang saha. Sementara disi belanja daerahnya, direncanakan sebesar Rp 33,749 triliun Besaran belanja daerah tersebut akan digunakan untuk Belanja Tidak Langsung sebesar Rp 23,938 trilyun lebih atau 65,20% dari total belanja daerah; dan Belanja Langsung sebesar Rp 9,810 trilyun atau 34,80% dari total belanja. Dengan melihat struktur perangkaan antar pendapatan dan belanja daerah tersebut diatas, maka diproyeksikan defisit anggaran pada tahun anggaran 2020 diperkirakan sebesar Rp 1,484 triliun yang mana defisit ini yang akan ditutup dengan pembiayaan netto.
Catatan Kritis
Ada beberapa catatan yang perlu dikritisi, pertama, Proyeksi PAD Tahun 2020 adalah sebesar 18,358 triliun rupiah lebih, sementara pada target pada Perubahan APBD tahun 2019 sebesar 18,193 milyar lebih, sehingga terdapat peningkatan sedikit sebesar 1,65 milyar rupiah. Meskipun secara nominal memang ada peningkatan dibanding 2019, tapi dilihat dari segi pertumbuhan (PAD) masih kurang optimal, jika dibandingkan dengan pertumbuhan ideal pada tiga tahun sebelumnya (2016-2018). Kurang optimalnya proyeksi PAD ini, dapat memberi indikasi; ada disparitas/deviasi yang cukup lebar, antara potensi riil pendapatan dan proyeksi yang ditetapkan. Artinya kemungkinan ada lost income atau hidden income yang kurang dimaksimalisasi. Dengan kata lain, deviasi antara potensi, target, dan realisasi pendapatan tidak terlalu besar.
Kedua, Terkait dengan Belanja Daerah. Nampak jelas komposisi antara belanja tidak langsung dengan langsung masih cukup jomplang, yakni sekitar 71% (Rp 23,938 trilyun) berbanding 29% (Rp 9,810). Dalam belanja tak langsung, terdapat peningkatan kapasitas alokasi pada tahun 2020. Belanja tak langsung yang paling menyedot anggaran paling besar adalah belanja pegawai/rutin/operasional.
Ketiga, Pembangunan Sektor pertanian atau visi Jatim Agrobis seharusnya mendapat perhatian serius dari Pemerintah provinsi. Dari data yang disajikan, kinerja pertumbuhan sektor pertanian ini dalam lima tahun terakhir ini (2014-2018) cukup memprihatinan, bahkan pada tahun 2018 pertumbuhan sektor pertanian di bawah 3%. Tentu saja ini sangat memprihatinkan, sektor yang menyangkut hajat hidup masyarakat Jawa Timur (baca: petani), pertumbuhannya sangat minim. Pemerintah Provinsi Jatim perlu untuk mengevaluasi kinerja sektor pertanian ini. Selama ini, anggaran yang dialokasikan relatif kecil, khususnya yang langsung dinikmati petani. Pun demikian pada tahun 2020 dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan hanya mendapat alokasi sebesar Rp 348,501 milyar, jika diz-oom lagi pada belanja langsungnya akan relatif kecil lagi. Padahal sektor pertanian dan kaum petani di Jawa Timur saat ini sedang mengalami masalah krusial akibat kekeringan berkepanjangan, kesejahteraannya masih jauh dari harapan kita semua.
Keempat, perbaikan dan peningkatan alokasi untuk sektor Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (77,153 milyar rupiah) dan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (67,323 milyar rupiah), pada RAPBD 2020 ini juga masih relatif kecil. Kedua sektor tersebut seharusnya mendapatkan alokasi yang lebih tinggi atau proporsional. Di tengah kondisi ekonomi nasional yang melambat, Sektor UMKM dan ekonomi pedesaan harus lebih diperhatikan. Karena UMKM dan ekonomi desa lebih tahan terhadap krisis.
Kelima, Pembangunan Sektor pertanian atau visi Jatim Agrobis seharusnya mendapat perhatian serius dari Pemerintah provinsi. Dari data yang disajikan, kinerja pertumbuhan sektor pertanian ini dalam lima tahun terakhir ini (2014-2018) cukup memprihatinan, bahkan pada tahun 2018 pertumbuhan sektor ini di bawah 3%. Tentu saja ini sangat memprihatinkan, sektor yang menyangkut hajat hidup masyarakat Jatim (baca: petani), pertumbuhannya sangat minim. Pemerintah Provinsi Jatim perlu untuk mengevaluasi kinerja sektor pertanian ini. Selama ini, anggaran yang dialokasikan masih relatif kecil, khususnya yang langsung dinikmati petani. Pun demikian pada tahun 2020 dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan hanya mendapat alokasi sebesar Rp 348,501 milyar, jika diz-oom lagi pada belanja langsungnya akan relatif kecil lagi. Padahal sektor pertanian dan kaum petani di Jatim saat ini sedang mengalami masalah krusial akibat kekeringan berkepanjangan, kesejahteraannya masih jauh dari harapan kita semua.
Selain itu, perbaikan dan peningkatan alokasi untuk sektor Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (77,153 milyar rupiah) dan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (67,323 milyar rupiah), pada RAPBD 2020 ini juga masih relatif kecil. Kedua sektor tersebut seharusnya mendapatkan alokasi yang lebih tinggi atau proporsional. Di tengah kondisi ekonomi nasional yang melambat, Sektor UMKM dan ekonomi pedesaan harus lebih diperhatikan. Karena UMKM dan ekonomi desa lebih tahan terhadap krisis.
Oleh karena itu, Komisi dan Badan Anggaran untuk lebih kritis dan cermat dalam membahas perangkaan potensi dan proyeksi pendapatan daerah dan proyeksi belanja daerah yang lebih rasional dan objektif. Karena target pendapatan yang diproyeksikan masih lebih kecil dari potensi pendapatan yang sebenarnya. Karena dengan akurasi yang kurang tepat pada perencanaan pendapatan dan belanja, akan berdampak pada SILPA yang semakin besar.

———— *** ————

Rate this article!
Tags: