Mengkritisi SILPA APBD Jatim 2018

(LPJ Pelaksanaan APBD 2018)

Oleh :
Irwan Setiawan
Anggota Komisi C DPRD Provinsi Jawa Timur dari PKS

Saat ini DPRD bersama Pemerintah Provinsi Jawa Timur sedang membahas Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2018. Kita patut bersyukur, untuk kedelapan kalinya Pemprov Jatim mendapatkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas APBD tahun Anggaran 2018 ini dengan status opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau (Unqualified Opinion). Ini adalah sebuah prestasi dan menunjukkan bahwa tata kelola keuangan daerah Pemprop Jatim selama ini sudah berjalan sesuai dengan prosedur hukum dan prinsip-prinsip good governance dan clean goverment.
Pemprop Jawa Timur dalam tahun anggaran 2018 lebih menempuh kebijakan pelaksanaan anggaran yang sangat berhati-hati. Ini ditandai oleh terciptanya anggaran yang surplus, yaitu realisasi pendapatan melebihi realisasi belanjanya. Tercatat bahwa, realisasi penerimaan mencapai Rp 31,939 triliyun dan realisasi belanja dan transfer tercatat Rp 30,662 triliyun sehingga tercipta surplus anggaran sebesar Rp 1.277 triliyun. Ini agak mengherankan karena, menurut catatan Anggaran Setelah Perubahan, diperkirakan pada tahun 2018 tersebut akan terjadi deficit anggaran sebesar Rp 3,286 triliyun. Dengan demikian, dari perkiraan defisit sebesar Rp 3,286 triliyun yang kemudian ternyata malah menghasilkan surplus sebesar Rp 1,277 triliyun, ini berarti bahwa ada penghematan/sisa anggaran sebesar Rp 4,563 triliyun.
Penghematan atau sisa anggaran yang sangat besar yang mencapai Rp 4,563 triliyun tidak bisa ditafsirkan semuanya sebagai sesuatu yang positip. Di satu sisi memang baik, karena Pemprop mampu melakukan penghematan tanpa mengurangi program dan kegiatan yang sudah direncanakan. Tetapi di sisi lain, hal ini bisa dipandang sebagai perencanaan anggaran yang kurang akurat. Kalau perencanaan anggaran dilaksanakan secara cermat terjadinya penghematan yang sangat besar itu tidak akan terjadi.
Penghematan yang sangat tinggi menjadi kurang bagus,i mengingat masih tingginya persoalan kemiskinan dan ketimpangan di Jawa Timur. Tren kemiskinan di Jawa Timur dalam beberapa tahun terakhir ini memang mengalami penurunan. Tetapi tingkat penurunan kemiskinan tersebut semakin lemah/lambat, sehingga tingkat kemiskinan di Jawa Timur masih relative tinggi, lebih-lebih tingkat kemiskinan di wilayah pedesaan.
Pelemahan penurunan kemiskinan menandakan bahwa kemiskinan di Jawa Timur merupakan kemiskinan yang structural dan tidak terkait dengan aktivitas ekonomi utama. Sehingga ketika ada perbaikan dalam pertumbuhan ekonomi misalnya, sebagian besar dari mereka-meraka yang miskin itu tidak memperoleh dampak positipnya. Ini menggambarkan bahwa mereka membutuhkan perhatian yang khusus dan perlakuan atau treatment yang khusus pula dan umumnya program yang dibutuhkan adalah program yang bersifat charity seperti bantuan dan perhatian yang bersifat langsung.
Tentu saja program yang bersifat charity ini membutuhkan dana yang cukup banyak. Oleh karena itu, sangat disayangkan terjadinya penghematan atau sisa anggaran yang sangat banyak, sementara pada saat yang sama terjadi kemiskinan yang bersifat structural. Ini masih baru masalah kemiskinan, dan belum memperhatikan memperhatikan persoalan ketimpangan yang buruk di Jawa Timur jika dibandingkan dengan apa yang terjadi sekitar 10 tahun yang lalu.
Makna Silpa yang besar
Penganggaran Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) tahun anggaran 2018 ini masih cukup tertinggi. Akibat surplus anggaran yang cukup besar menjadikan SILPA pun ikut membesar. Tahun anggaran 2018 SILPA sebesar 4 trilyun 565 milyar 392 juta rupiah lebih atau senilai 14,7% dari dana tersedia. Jumlah ini lebih besar atau mengalami peningkatan dibanding tahun anggaran 2017 yang sebesar sebesar 2 trilyun 764 milyar 951 juta rupiah lebih.. Idealnya besaran Silpa tahun berjalan tidak lebih dari 5% dari dana tersedia/Pendapatan + pembaiyaan netto. Hal ini menunjukan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Timur belum menemukan cara yang efektif untuk meningkatkan serapan anggaran untuk akselerasi pembangunan, sehingga potensial dana nganggur (idle money) masih cukup besar.
Berdasarkan arahan dari Permendagri 33 tahun 2017 tentang pedoman penyusunan APBD tahun 2018, disebutkan bahwa : Penganggaran Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya (SiLPA) harus didasarkan pada penghitungan yang cermat dan rasional dengan mempertimbangkan perkiraan realisasi anggaran Tahun Anggaran 2018 dalam rangka menghindari kemungkinan adanya pengeluaran pada Tahun Anggaran 2018 yang tidak dapat didanai akibat tidak tercapainya SiLPA yang direncanakan. Selanjutnya SiLPA dimaksud harus diuraikan pada obyek dan rincian obyek sumber SiLPA Tahun Anggaran 2018.
Untuk mengetahui tingginya angka SILPA ini, F-PKS merekomendasikan agar pemerintahan daerah melakukan tracking (melacak), mengapa sampai terjadi peningkatan SILPA tahun 2018 ini, dan komponen mana atau OPD mana yang kinerja serapan anggarannya rendah dan mengapa. Dengan kata lain, Tim Anggaran Pemerintah Daerah perlu untuk mengevaluasi kinerja masing-masing ODP, apakah memang terjadi efisiensi anggaran, ataukah ada kegagalan program atau kegiatan. Program dan kegiatan apa saja pada TA 2018 yang gagal dilaksanakan? Apa penyebabnya?. Selain itu, mendorong agar Tim anggaran daerah melakukan monitoring dan evaluasi penyerapan sesuai rencana per triwulan serta penerapan bentuk punishment bagi OPD yang tingkat penyerapan anggaran masih rendah.
Karena itu, besarnya besarnya SILPA tersebut perlu untuk dicermati dan dikaji lebih mendalam terkait dengan faktor-faktor penyebabnya, apakah karena faktor efisiensi belanja; tidak terlaksananya program (Program gagal dilaksanakan) atau oleh sebab-sebab administratif/prosedure lainnya? Besarnya dana nganggur sebesar ini, perlu untuk dicari akar masalahnya apakah titik lemahnya ada pada parencanaannya, ataukah pada sisi implementasinya, termasuk eksekutornya/SKPD.
Pemanfaatan SILPA
Dalam konteks APBD Jatim, besarnya SILPA lebih banyak dikarenakan karena lemahnya kapasitas perenacanaan program pemerintahan dan pembangunan, bukan karena efisiensi. Karena itu, kedepan perlu adanya manajemen SILPA yang lebih maksimal dan produktif. Salah satunya yakni dengan memanfaatkan SILPA tersebut untuk kepentingan dan kebutuhan masyarakat riil yang menjadi prioritas pembangunan Jatim. Misalnya untuk peningkatan kualitas pelayanan dasar masyarakat miskin (pendidikan dan kesehatan), pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pedesaan melalui penguatan ekonomi yang didukung pertanian, infrastruktur dan energi serta eformasi birokrasi melalui mengadakan kelembagaan dan kebijakan publik.
Selain itu, juga, anggaran rutin aparatur birokrasi yang terdapat pada belanja langsung maupun tidak langsung yang tidak terserap secara maksimal, perlu ditinjau ulang dan dialihkan untuk alokasi belanja publik. Dengan demikian, “dana nganggur” dan tidak produktif dan APBD bisa ditekan sampai pada titik minimal. Sangat disayangkan, di tengah kondisi kehidupan masyarakat miskin yang masih memprihatinkan dan membutuhkan, pada saat yang sama banyak “dana nganggur” tidak terpakai dalam APBD. Kedepan perlu adanya manajemen pengelolaan program dan anggaran yang lebih baik dan pro rakyat. Salah satunya dengan mengalihkan dana -dana nganggur untuk kepentingan dan kebutuhan masyarakat secara riil.

——– *** ———-

Rate this article!
Tags: