Mengoptimalkan Perlindungan Anak di Masa Pandemi

Oleh :
Gandhung Fajar Panjalu
Pengajar Hukum Keluarga Islam UMSurabaya,
Mahasiswa Doktoral Hukum Keluarga UIN Walisongo Semarang
Pandemi Covid-19 telah menjungkirbalikkan tatanan keluarga dari kehidupan normal sebelumnya. Yang tadinya menjadikan keluarga sebagai tempat berkumpul dan melepas lelah usai bekerja, kini tidak lagi karena masyarakat dituntut untuk bekerja di rumah, bersama keluarga. Jika sebelumnya porsi proses pembelajaran anak banyak dilimpahkan kepada pihak sekolah, kini seiring program Belajar Dari Rumah (BDR), orang tua dituntut untuk turut serta mendampingi proses belajar anak, dengan dipandu secara daring oleh guru dari sekolah.

Dalam kehidupan keluarga, anak adalah subyek yang harus diutamakan. Anak adalah aset masa depan keluarga khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Menurut UU nomor 23 tahun 2012 pasal 1, Anak adalah seorang yang usianya belum menginjak 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Berdasarkan amanat UU no 35 tahun 2014, seorang anak berhak atas perlindungan hidup, tumbuh dan berkembang.

Pada masa pandemi ini, setiap orang wajib mengupayakan keselamatan dirinya agar tidak terjangkit wabah mematikan tersebut. Tidak terkecuali, keluarga wajib mengutamakan anak sebagai subyek yang harus dilindungi. Pasalnya, tidak sedikit anak yang turut menjadi korban Covid-19. Hingga 19 Juli 2020, situs kawalcovid19.id merilis bahwa 8,1% dari total jumlah kasus atau sebanyak 6.630 anak terjangkit virus tersebut.

Pengutamaan terhadap keselamatan anak ini tentu dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari pemberian nutrisi yang cukup, menjaga pergaulan anak, serta melindungi dari berbagai hal yang dapat mengancam tumbuh kembang fisik maupun psikis anak.

Dalam hal pendidikan, kebijakan belajar dari rumah jelas menuai kontroversi. Keterbatasan sinyal, kuota, keampuan software-hardware gadget, dan sebagainya menjadi hal yang sering dikeluhkan. Belum lagi dampak meningkatnya jam penggunaan gadget yang dilakukan oleh anak. Namun tentu pilihan tersebut adalah sangat rasional untuk diambil mengingat kondisi yang belum memungkinkan untuk melaksanakan pembelajaran dengan tatap muka. Beberapa lembaga pendidikan telah melakukan inovasi pembelajaran, misalnya berupa home visiting, penyusunan modul berbasis IT, dan sebagainya.

Tentu kebijakan ini tidak bisa dibandingkan dengan pembukaan pasar sebagai pusat penggerak roda ekonomi.

Kebijakan menutup lembaga pendidikan dan melaksanakan program Belajar dari rumah, sama hakikatnya dengan kebijakan meniadakan shalat berjamaah di masjid dan mengganti dengan shalat bersama keluarga di rumah. Bukan shalatnya yang ditiadakan, namun kegiatan berkumpulnya. Begitu pula dengan aktifitas belajar dari rumah, bukan belajarnya yang ditiadakan, namun metode dan sarana-prasarananya disesuaikan dengan kondisi saat ini.

Hal yang tak kalah penting dilakukan dalam masa pandemi adalah perlindungan dari kekerasan terhadap anak. Sejak awal tahun hingga 20 Juli 2020, berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA), telah terjadi 6.969 kasus kekerasan, dan 56,5% korbannya adalah anak (usia 0-17 tahun), terbesar sebanyak 32,4% pada kelompok usia 13-17 tahun. Dengan adanya skema belajar dan bekerja dari rumah, patut diduga pelaku kekerasan tersebut adalah keluarga anak.

Terlebih, data menunjukkan bahwa dari 6.969 kasus di atas, 46,9% pelaku berada pada rentang usia 25-44, usia paruh baya yang berpotensi besar menjadi orang tua dari anak berusia 13-17 tersebut di atas. Pelaku lain dengan prosentasi besar adalah pada rentang usia 18-24 (15,9%) dan 45-59 (14,7%). Namun demikian, jangan sampai perlindungan kepada anak tersebut menjadi over-protective sehingga berpotensi menghambat proses tumbuh kembang anak.

Bagaimanapun juga, anak bukanlah miniatur orang dewasa, bukan pula obyek dalam kehidupan keluarga. Tujuan dari perlindungan yang dilakukan oleh orang tua bukan untuk mengerdilkan cita-cita anak, namun justru semakin memupuk masa depan. Kemajuan Indonesia dalam sepuluh hingga dua puluh tahun ke depan tergantung pada proses tumbuh kembang anak saat ini.

Maka, hadirnya Hari Anak Nasional yang biasa diperingati setiap tanggal 23 Juli ini baiknya dijadikan sebagai tonggak untuk memaksimalkan perlindungan terhadap anak pada masa pandemi, sembari tetap memfasilitasi proses tumbuh kembang anak. Anak terlindungi, Indonesia maju.

————- *** ————-

Tags: