Judul : Sihir Mantra Antara sakralitas dan Profanitas
Penulis : Maman S Mahayana
Penerbit : DIVA Press
Cetak : Cetakan Pertama, Agustus 2022
Tebal : 256 Halaman
ISBN : 978-623-293-717-8
Peresensi : Iwanus Surur, Mahasiswa (S2) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY)
Sejak dideklarasikannya pilihan kredo puisi presiden penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dengan “Mantra” nya. Boleh dikatakan mantra jika ditarik ke dunia perpuisian Indonesia kini berada dalam posisi antara sakralitas dan profanitas. Ia berada dalam posisi yang sakral kerena hanya bisa dirapalkan oleh orang-orang tertentu, dikatakan berada di posisi profan siapa pun boleh mengujarkannya.
Boleh jadi, Sutardji Calzoum Bachri memilih mantra dalam kredo puisinya lantaran mantra dipercayai mempunyai daya pukau, memesona, dan menyihir. Sebab mantra itu memiliki entitas ajaib. Di luar perkara sakral, musikalitas bunyi dalam mantra kerap memancarkan aura magis. Kuasa mencipta keindahan yang tak diduga-duga, menciptakan suasana mencekam, khidmat, dan sugestif.
Dalam penciptaan puisi, apakah mantra dapat dikatakan puisi? Zuber Usman menyatakan, mantra itu lahir berkat kesaktian dan keterampilan para pawing untuk membujuk, merayu, bahkan mengancam para penghuni benda-benda alam, seperti pohon besar, sungai, dan lain sebagainya. Dengan tujuan agar makhluk halus bisa berbaik-baik. Jika makhluk halus itu tidak mau, baru dilakukan adanya semacam ancaman. (hal.45)
Selain pernyataan itu, bisa dikatakan nyaris semua pengamat atau penulis buku sejarah sastra Indonesia. Mantra dimasukkan sebagai puisi dari khazanah sastra lisan atau sastra lama-sastra tradisional-Indonesia. Dan untuk menjawab pertanyaan yang mendasar tadi, perlu kita menengok lagi konsep puisi itu sendiri, meskipun kita tidak perlu terjebak pada definisi puisi. Namun yang perlu digarisbawahi untuk mengetahui konsep puisi itu diperlukan mengumpulkan banyak pernyataan mengenai rumusan puisi.
Sebagai contoh saja, jika kita mengambil sepuluh kepala dengan sendirinya kita akan menemukan sepuluh rumusan atau definisi. Jadi, definisi itu kita tempatkan sebagai rumusan umum kemudian kita sandingkan dengan rumusan lain sampai pada akhirnnya ada satu rumusan yang dapat disepakati, atau setidaknya, rumusan tersebut dapat mewakili konsep puisi tersebut.
Dalam rumusan Jonathan Culler, “Puisi adalah bahasa yang banyak menggunnakan kiasan, tujuannya untuk membangun kekuatan persuasif” rumusan ini sangat begitu masyhur sebab banyak peneliti mengutip rumusan ini. Berbeda dengan rumusan yang diusung oleh teoretikus, kaum pendukung Kritik Baru (Neo Critisme) Amerika. Dalam rumusannya malah tidak membuat rumusan yang tidak menjelaskan apa-apa. Malah memaksa kita untuk menjadi bahan pemikiran bersama; “Puisi adalah puisi”. Dan kita dipaksa untuk menguraikannya sendiri.
Dari uraian ringkas mengenai definisi, “Apa itu puisi?” Kiranya bisa menjawab atas pertanyaan mendasar, “Apakah mantra dapat dikatan puisi?” dari uraian ringkas di atas kita dapat dengan tegas mengatakan karateristik puisi dan terbuka pula memperlakukan bentuk puisi melanggar konvensi atau kelazimannya. Dengan demikian kita dapat menerima jenis puisi lain, temasuk mantra, syair, gurindam dan seterusnya sebagai puisi.
Menelusuri Mantra dalam Puisi SCB
Sejak Sutardji Calzoum Bachri “meniupkan” mantranya lewat tiga antologi puisinya, sampai detik ini belum ada penyair yang berhasil menenggelamkan, meminggirkan, dan menyalip posisi kepenyairannya. Sihingga ia memperoleh gelar sebagai presiden penyair Indonesia seolah mengukuhkan predikat kepenyairannya.
Klaim predikat dan capaian sebagai presiden penyair Indonesia, tidak ada kaitannya dengan salip menyalip, menenggelamkan, dan meminggirkan. Akan tetapi yang terpenting jejak dan pemberontakan yang radikal SCB dalam perpuisian Indonesia berdampak sangat luas. Setidaknya, bisa menghasilkan terjadinya kebaruan. Dengan sumbangan mantra SCB pada perkembangan dunia perpuisian Indonesia menjadi lebih kaya dilihat dari segi bentuk dan isinya.
Dalam konteks ini, kita akan mencoba menelusuri dan menemukan beberapa hal yang menyangkut mantra SCB dalam khazanah perpuisian Indonesia. Diantanya ada delapan poin penting. Pertama, tipografi dalam perpuisian Indonesia, kita bisa temukan perihal sejumlah tipografi puisi SCB, sangat jelas bahwa tifografi puisinya hendak membebaskan diri dari kerangkeng konsep tipografi yang lazim dan konvensional. Dan pasca-kredo SCB menunjukkan keberbagaian tipografi yang lebih bebas dan lebih kreatif.
Kedua, pegabaian ejaan, tanda baca dan bentuk pungtuasi sebagai persyaratan berbahasa. Kini banyak kita jumpai dalam penulisan puisi tanpa menggunakan huruf capital, tanpa titik, tantapa koma, dan tanda baca lainnnya. Padahal sebelum SCB menerbitkan antologi puisi O, Amuk, Kapak, perkara tekanis dan tanda baca sangat begitu diperhatikan.
Ketiga, adanya penggabungan suku kata atau kata ulang yang tanpa adanya tanda penghubunng. Sebenarnya hal tersebut melanggar ketentuan penulisan yang sesuai dengan pedomaan ejaan yang berlaku. (Hlm, 238) akan tetapi hal itu, puisi-puisi penyair kita saat ini sudah sangat terbiasa dan bisa dikatakan memanfaatkannya.
Keempat, hal ini sering juga dipakai para penyair kita sekarang ini, tentang adanya penekanan dan pengulangan kata atau repetisi dalam berbagai posisi. Dengan anggapan bahwa puisi adalah permainan kata dan keterampilan menempatkan posisi kata. Kelima, mengenai penghadairan aura magis yang kerap kali muncul dalam mantra bukanlah hal baru lagi. Hal ini dapat kita koreksi dalam pembacaan puisi sebagai sebuah pementasan. Sebab dengan demikian diyakini dapat menciptakan suasana magis dan sishirnya.
Keenam, tidak dapat dinafikan bahwa salah sorang pembaca puisi yang sering menyita perhatian publik tidak lain adalah SCB. Meskipun ia tidak bergerak sendiri, setidaknya pembacaan puisi SCB dengan aksesori bir dan hal lainnya tidak kalah menariknya dibandingkan dengan pertunjukan pentas teater. Karena sampai saat ini meskipun tanpa bir ia berhasil menyihir penonton, dengan maksud bukan untuk memahami isi puisi SCB akan tetapi untuk mendengarkan dan melihat aksi baca puisinya.
Ketujuh, dan terakhir, penghidupan kembali mantra dalam puisi kontemporer dan pemberontakan secara radikal yang dilakukan SCB pada perpuisian Indonesia. Dua hal ini, sekiranya menarik para seniman lain untuk mencoba mengkolaborasikan seni ke wilayah puisi dan para penyair Indonesia yang hidup dan lahir dalam lingkungan etnik punya saluran dan kesempatan untuk memperkenalkan tradisi etnik kulutrnya dalam perpuisian kontemporer.
———- *** ———–