Menguak Tabir Politik Identitas

Oleh :
Robeth Fikri Alfiyan
Mahasiswa Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Rakyat Indonesia kembali disibukkan debat kusir pesoalan politik identitas. Politik yang mengatasnamakan rakyat dan politik yang mudah mempengaruhi akal sehat rakyat.Rakyat disini dianggap segalanya, sebagaiaktor utama, aktor pendukung, dan tentunya pelayan elit politik.Hal ini dapat dilihat dan yang masih aktual kuatnya pengaruh kesamaan misikeyakinan yang tergabung dalam aliansi ?reuni demonstran?212? di Monas, Sabtu, 02/12/2017 sebagai manifestasi spirit politik identitas yang tak terbantahkan.
Selanjutnya, bagaimana peran politik identitas mempengaruhi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara? Melihat keadaan yang kian genting dan mudahnya elit politik terlibat dengan bingkai ?identitas? maka kita perlu mendorong pemahaman yang inklusif atas counter penguatan identitas dalam aspek berbangsa, supaya kita tidak terjebak dan terpengaruh dengan manuver yang terus-menerus disuarakan.
Mereka yang dilumpuhkan
Dalam percaturan negara, politik identitas merupakan faktor utama yang membentuk asosiasi dan antagonisme politik. Meski Indonesia mampu menghindari pengkotak-kotakan paska reformasi 1998. Sebelumnya pada tahun 1990-an terjadi sebuah gelombang kritis identitas yang menerpa Indonesia. Hampir setiap orang selalu dihadapkan pada pertanyan-pertanyaan, ?Siapakah kita?? ?Berada di pihak manakah kita?? dan ?Siapakah musuh kita?? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya menghantui rakyat, tetapi juga dapat dijumpai di hampir seluruh pelosok Indonesia.
Mereka dikekang, kritik-kritik membuat dirinya tidak aman, tak sedikit jadi korban karena memiliki pemandangan berbeda. Sebab inilah politik identitas yang kemudian dijadikan roda penggerak kekuasaan, atas rezim yang menimpa di tahun 1998. Maka timbullah anggapan pemerosotan moral dari otoritarianisme ke demokrasi yang belum sepenuhnya dapat diterima di kalangan masyarakat.
Karena kesamaan identitas maka tak sedikit yang kemudian terjebak dalam belenggu kekuasaan. Inilah,politik identitas yang sengajakembali digerakkan dalam proporsional Partai Politik (parpol) beberapa tahun dan bulan terakhir. Fakta yang terjadi adalah dominasinya tokoh parpol dalam penentuan keputusan dan kebijakan, yang berimplikasi pada hancurnya parpol itu sendiri, atau kader, yang mestinya diproyeksikan sebagai pilar terpenting dalam demokrasi. Mereka sengaja dilumpuhkan tokohnya, direfleksikan atas dalih membangun institusionalisasi demokrasi. Padahal baginya demokrasi, hanya mitos belaka, dipuja-puja dalam ruang komunal tetapi dijungkalkan dalam ruang personal.
Parpol cerminan demokrasi kita. Buruknya demokrasi parpol, menandai buruknya demokrasi kita.Tidak heran kalau dominasi tokoh-tokoh sentral dalam parpol belakangan ini mengambil peran-nya menjelang Pilkada 2018. Melakukan konsolidasi politik dengan figur dominan agama. Sejatinya, parpol sebagai dasar dan pilar demokratis pada setiap keputusan dan kebijakan partainya, bukan justru terlibat dalam identitas ruang komunal, dan menjungkalkan ruang domokrasi.
Revivalisme identitas
Dalam konteks ini, disamping keterlibatan tokoh elit politik, merujuk pada hasil penelitian disertasi Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (2007), ada beberapa kelompok yang selalu getol melakukan perubahan secara radikal dengan cara menginstrumentalisasi keyakinannya.
Pertama, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri legal-formal yang menuntut perubahan sistem hukum yang sesuai tata aturan dan tuntunan hukum agama. Kedua, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri doktriner dengan cara memahami dan mempraktikkan agama serba mutlak dan kaku. Ketiga, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri militan dan ditunjukkan melalui sikap keagamaan bersemangat tinggi hingga berhaluan keras. Bahkan, kelompok ini tak segan melakukan penolakan frontal terhadap Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan bersikukuh ingin menjadikan syariah sebagai penggantinya.
Apa yang kita saksikan dalam beberapa bulan ini, di mana pintu masuk paham radikalisme yang digerakkan kelompok revivalis melalui momentum Pilkada DKI, menjadi bukti betapa mereka ingin mereaktualisasi paham radikalisme. Bahkan, gerakan massa yang dilabelisasi dengan 411, 212, 313 dan “reuni 212” menjadi sebuah rejuvenasi radikalisme identitas yang memanfaatkan pergerakan massa yang disulut dengan semangat populisme.
Dengan melibatkan berbagai aktor, baik di kalangan politisi, agamawan, pengusaha, dan tokoh masyarakat lainnya, paham radikalisme kian ditasbihkan sebagai satu-satunya cara untuk melakukan perubahan Indonesia yang lebih baik. Berbagai adagium agama diserukan dalam altar pergerakannya untuk memicu emosi publik-terutama sekelompok orang yang berafiliasi dengan pergerakan ini.
Dengan menggunakan adagium agama, kekerasan yang diselipkan dalam berbagai dimensinya bekerja secara sistematis untuk mencapai sebuah kekuasaan yang diimpikan. Hasilnya, kemenangan pilkada pun sudah diperoleh dan dirayakan sebagai syukuran politik yang diakui sebagai “berkah Tuhan”. Apa yang terjadi di Jakarta, yang menjadi episentrumen kekuasaan nasional, kian memberi gambaran sosial yang cukup memprihatinkan. Bahwa di negara kita radikalisme yang dijadikan sebagai politik identitas sudah sedemikian complicated dalam menggunakan agama sebagai bayang-bayang pergerakan sosialnya.
Dengan kata lain, meminjam istilah Olivier Roy dalam tulisan “Who Are the New Jihadis?”, banyak kelompok revivalis yang menggunakan modus islamisasi radikalisme (islamisation of radicalism) sebagai cara meraih kekuasaan dan merebut pengaruh sosial di kalangan masyarakat.Mereka menggunakan label “islamisasi” untuk memaksakan kehendak radikalnya untuk melakukan perlawanan kepada siapa pun yang dianggap tak sejalan dengan agenda politiknya. Bahkan, adagium “syariatisasi” semakin nyaring disuarakan agar dijadikan sebagai bangunan konstitusi yang selama ini sudah disepakati mengacu kepada UUD 1945.
Ada pula kelompok lain yang sudah lama mensistematisasi gerak perlawanan untuk mengganti sistem negara kita kepada model “khilafah” yang turut memanfaatkan momentum ini. Seperti dalam tulisan Olivier Roy tersebut “terrorism does not arise from radicalisation of Islam, but from the Islamisation of radicalisme”.
Mengantisipasi potret buram paham radikalisme yang secara intensif diresonansikan melalui momentum Pilkada Jakarta, dan tidak mustahil pula paham radikalisme akan dijadikan sebagai mekanisme sosial untuk menggerakkan politik identitas atas nama agama secara frontal, maka pemerintah harus membuat langkah “prevensi in optima forma” yang dituangkan dalam regulasi dan peraturan pilkada yang tegas agar bangunan demokrasi kita tidak semakin dicemari oleh pihak-pihak yang berpikiran politik sumbu pendek, seperti istilah Buya Syafii Maarif.
Langkah ini penting digunakan. Merujuk pada pandangan Sri Yanuarti (peneliti senior LIPI), agar di berbagai daerah tidak mereplikasi model politik identitas buta sebagaimana yang terjadi di Jakarta. Sebab, bila politik identitas yang menggunakan paham radikalisme sebagai modus kapitalisasi isu-isu agama yang dilakukan di berbagai daerah, maka sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita lama-lama akan goyah.
Oleh karena itu, yang perlu direfleksikan secara jernih oleh kita, masih tegakah kita ingin menggadaikan NKRI yang selama ini sudah dibaluti oleh Pancasila dan UUD 1945 dengan paham radikalisme yang menggunakan corak islamisasi sebagai politik identitas untuk memperebutkan kekuasaan? Indonesia milik kita, dan bukan satu golongan yang haus akan kekuasaan. Berhentilah berdalih dengan apapaun instrumennya.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: