Menguatkan Sinergi Pemenuhan Rumah Rakyat

wahyu kuncoroOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Harkat manusia ditentukan oleh terpenuhinya kebutuhan dasar, yaitu pangan, sandang, dan papan. Papan melindungi manusia dari terpaan cuaca dan iklim, menjadi tempat beristirahat, dan berkumpul bersama keluarga. Tanpa tempat tinggal layak, sulit membayangkan manusia dapat mengembangkan akal budinya secara maksimal dan bekerja produktif. Bahkan, papan merupakan hak dasar rakyat yang dijamin konstitusi. Namun sayangnya, penyediaan rumah selama ini tertinggal jauh dari tingkat kebutuhannya.
Tanggung jawab pemerintah dalam penyediaan rumah bagi rakyat tidak main-main, terlebih lagi untuk masyarakat miskin maupun masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pembangunan Permukiman, ditegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain itu, negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah, baik pusat  dan daerah wajib menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.
Tak mudah memang mewujudkan amanat UU tersebut di atas. Ada tumpukan  permasalahan di sektor perumahan yang sudah menanti sekian lama untuk diselesaikan. Tantangan yang dihadapi para pemangku kepentingan sektor perumahan dalam masa pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla (Jokowi-JK) ke depan sungguh berat. Pemerintah harus serius dalam pemenuhan hak asasi setiap warga ini, mengingat data 2014 kemarin, ada kekurangan atau backlog rumah sebesar 13,5 juta unit rumah versi pemerintah atau 15 juta unit rumah versi pengusaha perumahan. Padahal, setiap tahun kebutuhan bertambah 800.000 rumah dan ada 3,4 juta rumah tidak layak huni. Artinya, hingga akhir pemerintahan Jokowi-JK ini, kebutuhan rumah mencapai sekitar 20,9-22,4 juta hunian.
Mengatasi Backlog
Dalam mengatasi persoalan backlog, pemerintah telah mencanangkan program sejuta rumah per tahun selama lima tahun. Diperkirakan program ini membutuhkan dana Rp 400 triliun dalam lima tahun, sedangkan kemampuan APBN hanya Rp 75-90 triliun (Rp 13-15 triliun setahun). Anggaran untuk perumahan ini hanya sekitar 0,75 persen dari RAPBNP sekitar Rp 1.985,7 triliun tahun 2015. Jika dihitung dari produk domestik bruto (PDB) hanya sekitar 0,1 persen, jauh di bawah negara tetangga ASEAN, seperti Thailand yang sudah 2,1 persen dari PDB dan Filipina yang 0,3 persen PDB.
Artinya, ada kekurangan dana Rp 310 triliun sampai Rp 325 triliun yang harus segera dicarikan solusinya oleh pemerintah. Sebab, untuk masyarakat menengah ke bawah, mereka membutuhkan kredit murah yang terjangkau sesuai pendapatannya. Selain bunga kreditnya murah, harga rumahnya harus murah. Agar pengembang bisa membangun rumah murah, tentunya dibutuhkan pendanaan lain di luar perbankan yang bunganya sudah mahal.
Pemerintah perlu mendukung tersedianya pendanaan perumahan yang murah di luar perbankan. Untuk itu, pemerintah harus segera menyelesaikan sejumlah kendala yang menghambat program perumahan. Dari sisi pembiayaan, pemerintah mesti menaikkan bujet sektor perumahan. Fasilitas likuiditas pembiayaan perumahaan (FLPP) harus dilipatgandakan. Sedangkan untuk merangsang swasta membangun perumahan, selain menggenjot kredit kepemilikan rumah (KPR), pemerintah harus aktif mendorong sekuritisasi aset kredit perumahan dalam bentuk efek beragun aset surat partisipasi (EBA-SP). EBA-SP saat ini sedang disiapkan oleh PT Sarana Multigriya Finansial (SMF). Terkait hal ini, pemerintah dan otoritas terkait perlu memberikan insentif guna mendorong EBA-SP, baik dalam bentuk keringanan pajak, subsidi bunga, maupun pemberian garansi.
Di luar negeri, EBA-SP sudah demikian maju dan berkembang. Selain menjadi alternatif pembiayaan perumahan, EBA-SP dapat mendorong pendalaman pasar (market deepening) sektor keuangan. Kita berharap ke depan EBA tidak saja berfungsi sebagai diversifikasi sumber pendanaan, melainkan menjadi sumber pembiayaan jangka menengah-panjang yang potensial, meminimalisasi risiko mismatch pendanaan, maupun sebagai alternatif investasi jangka panjang dan sarana investasi yang aman.
Selain itu, pemerintah harus mengatasi kendala utama yang dihadapi para pengembang, yakni terbatasnya lahan untuk perumahan murah dengan harga terjangkau. Sekarang makin sulit mencari lahan di pinggiran kota besar, di samping harganya selangit. Masyarakat kecil terpaksa mendapatkan rumah yang semakin jauh dari tempat kerja. Kendala serius lainnya adalah birokrasi perizinan yang berbelit, lama, dan mahal, maraknya mafia tanah, kurangnya pasokan listrik, serta tingginya suku bunga pembiayaan konstruksi. Selain itu, subsidi pembiayaan perumahan masih minim, sehingga masyarakat berpenghasilan rendah sulit mendapatkan rumah serta kesulitan para pengembang kecil memperoleh pembiayaan konstruksi.
Itulah sebabnya, pemerintah harus konsisten mengacu pada konstitusi dan undang-undang untuk menyediakan rumah yang layak bagi seluruh warga. Segenap potensi yang dimiliki para pemangku kepentingan di sektor perumahan mesti disinergikan, sehingga defisit rumah bisa diatasi lebih cepat.
Harapan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mengatasi kekurangan rumah pada 2019 bukan sesuatu yang mustahil. Namun demikian, tanpa terobosan pendanaan yang radikal dan insentif, hal tersebut hanyalah lips service. Pemerintahan baru jangan sampai cuma PHP alias pemberi harapan palsu bagi belasan juta keluarga di Tanah Air yang belum punya rumah.
Menguatkan Sinergi
Pemerintah daerah yang menjadi ujung tombak penyediaan rumah bagi rakyat melalui penyediaan tanah harus mendapat insentif. Pemerintah perlu menajamkan fokus pada 40 persen penduduk miskin sebagai prioritas, bekerja sama dan bersinergi antarlembaga serta semua pemangku kepentingan, dan mendorong BUMN perumahan menjalankan fungsinya secara utuh.
Sinergi itu sesungguhnya lebih diarahkan agar BUMN yang berkaitan dengan penyediaan perumahan bisa secara bersama-sama menggarapnya sesuai dengan porsi dan potensi masing-masing. Publik tentu sangat tidak ingin, bila antar BUMN cenderung  menggarap sektor ini semau gue atau sekadar menggugurkan kewajiban saja. Sekadar ilustrasi misalnya, ketika Pemerintah sudah menargetkan penyediaan 1 juta unit rumah per tahunnya, ternyata  Perum Perumnas yang menjadi salah satu pihak yang diharapkan mendukung program tersebut hanya menargetkan pembangunan 25.000 unit hunian dalam setahun. Nah target itu tentu masih jauh dari harapan. Artinya, pemerintah harus memiliki kekuatan agar BUMN ikut secara serius menggarap sektor perumahan sehingga bisa mempercepat proyek 1 juta unit rumah. Sementara itu, pihak Bank BTN selaku BUMN yang bertugas melakukan pembiayaan perumahan diharapkan bisa memangkas bunga kredit rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Saat ini, BTN masih yang terdepan melaksanakan program subsidi bunga dengan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan bunga flat 7,25% selama 20 tahun. Kalau perkiraan selama ini, kan kalau FLPP kan 7,25%. Moga-moga bisa di bawah itu.
Singkatnya, untuk membangun 1 juta unit rumah per tahunnya, pemerintah tentu tidak mungkin mengerjakannya sendiri, sehingga perlu mengerahkan peranan BUMN seperti BTN, Perum Perumnas, BPJS dan pelaku swasta lainnya. Kuncinya ada sinergi di antara stakeholders perumahan untuk bersama-sama memenuhi kebutuhan perumahan bagi rakyat. (bersambung)

                                                                                 ————————– *** —————————–

Tags: